Perwakilan eks Gafatar dan Tim Kuasa Hukum bersama Komisioner dan Ketua Komnas Perempuan (2/6/2016)
Lebih dari 5.000 jiwa anggota eks Gafatar nasibnya terlunta-lunta. Pemerintah hanya memberikan janji-janji kosong. Sementara harta benda warga eks Gafatar sudah habis dihancurkan oleh pengusiran sistematis dari Pulau Kalimantan yang melibatkan aparat negara. Kini mereka pun mengalami kesulitan dalam membangun kembali masa depannya. Selain karena diskriminasi yang tidak putus dari aparat pemerintahan, masyarakat juga terus menstigma dan tidak menerima keberadaan warga eks Gafatar.
Demikian disampaikan salah satu mantan pengurus Gafatar Jefry (35) ketika mengadukan diskriminasi yang terus dialami anggota-anggota eks Gafatar di Komnas HAM, Kamis (2/6), bersama Tim Kuasa Hukum.
“Apa yang kami kerjakan di Mempawah, Singkawang, Ella dan Bengkayang hanya bertani dan beternak. Menjadikan Kalimantan sebagai lumbung ketahanan pangan Indonesia. Itu cara kami mengabdi pada ibu pertiwi. Tapi kami malah diusir paksa dan diperlakukan seperti teroris,” ungkap Jefry di depan Ketua Komnas HAM M. Imdadun Rahmat.
Pelanggaran HAM nyata
Ia juga sangat menyesalkan tidak hadirnya negara paska pengusiran paksa. Bahkan janji Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang akan memberikan jaminan hidup perhari perjiwa sebesar 10.000 tidak kunjung terealisasi.
“Negara tidak peduli nasib kami yang sekarang tidak bisa beraktivitas normal seperti masyarakat lainnya dalam memenuhi hidup. Sebab, kami terus dicurigai masyarakat. Ketika di antara kami dikembalikan ke kampung halaman masing-masing, aparat pemerintah mengumumkan kepada masyarakat sambil melekatkan stigma kepada kami, layaknya teroris yang harus dijauhi. Kami juga dipaksa beribadah sesuai dengan agama yang resmi,” protes Jefry yang pernah menjabat sebagai Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Jawa Barat Gafatar.
Asfinawati selaku Tim Kuasa Hukum tiga mantan elit Gafatar (Ahmad Mushadeq, Mahful Muis Tumanurung, dan Andri Cahya) yang ditahan di Mabes Polri meminta Komnas HAM untuk mendesak kepolisian segera membebaskan mereka.
“Penahanan terhadap ketiganya tidak sah karena tidak ada alasan hukum yang membenarkan penangkapan ini. Pemidanaan terhadap ketiganya oleh kepolisian melanggar hukum karena tidak mempedulikan proses yang tersurat dalam UU No. 1/PNPS/1965 dan SKB dari UU tersebut,” tegas Asfin.
Selain kepolisian menabrak dua instrumen di atas, lanjut Asfin, kepolisian juga melanggar fair trial atau peradilan yang jujur dan adil. Mantan Direktur LBH Jakarta periode 2006-2009 ini menegaskan, “Kepolisian tidak merujuk pada Putusan MK yang mengharuskan penahanan terhadap tersangka dengan minimal dua alat bukti yang cukup yang dijelaskan oleh penyidik kepada tersangka dan kuasa hukumnya. Kepolisian juga lalai karena satu hari setelah ketiga eks Gafatar ditangkap, mereka tidak diperiksa.”
Berangkat dari pengaduan itulah Imdadun Rahmat akan mengagendakan perumusan tindakan yang akan diambil Komnas HAM. Pengaduan ini juga akan diperkuat hasil pemantauan yang telah dilakukan Komnas HAM.
“Telah terjadi bentuk-bentuk pelanggaran HAM dalam kasus pengusiran warga eks Gafatar,” tegasnya memberi kesimpulan.
Perwakilan eks Gafatar dan Tim Kuasa Hukum bersama Ketua Komnas HAM M. Imdadun Rahmat (2/6/2016)
Nasib berat perempuan eks Gafatar
Setelah mengadukan pelanggaran-pelanggaran HAM kepada Ketua Komnas HAM, beberapa warga eks Gafatar kembali mengadukan diskriminasi yang mereka alami ke Komnas Perempuan. Kepada Ketua Komnas Perempuan Azriana dan Komisioner lainnya, Saur Tumiur Situmorang dan Adriana Venny Aryani, salah seorang saksi dan eks Gafatar Bunda Ida (40) mengadukan kondisi yang lebih tragis dialami anak-anak dan perempuan. Situasi penuh intimidasi, kekerasan, dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami warga eks Gafatar membuat perempuan dan anak-anak sulit menghapus trauma. Beberapa di antara mereka sampai sekarang masih sering menangis.
“Anak-anak dan perempuan mengalami langsung dari mulai proses pengusiran paksa oleh RT, RW, Lurah, Camat, Babinsa hingga Bupati, kemudian harus melihat pembakaran tempat tinggal baru mereka, menyaksikan pula tentara yang marah-marah sambil mengokang senjata laras panjang di Bekangdam XII Tanjungpura Kalimantan Barat, sampai cara-cara tidak manusiawi mengangkut kami ke kendaraan-kendaraan untuk dipindah ke pengungsian demi pengungsian,” kisah Bunda Ida yang dalam kepengurusan juga sempat menjabat DPD Jawa Barat Gafatar.
Karena ketidakmampuan negara melindungi warga eks Gafatar, terutama kalangan perempuan, ibu hamil dan anak-anak balita, Ida menceritakan bahwa dari pengungsi Kalimantan Timur ada anak berusia 2,5 tahun meninggal dunia karena tidak tahan selama proses pengusiran yang terus berpindah-pindah. Ada perempuan yang keguguran, ada pula yang melahirkan lebih cepat dari waktu normal karena stres. Anak-anak dan ibu hamil ikut mengonsumsi makanan tidak sehat yang dimasak dengan tidak bersih dan menunya dari hari ke hari selalu sama: mie dan sarden. Akibatnya banyak di antara mereka yang sakit.
Selain trauma yang terus membayangi warga eks gafatar, mereka juga dihantui nasib dan masa depan yang sangat berat. Sebab, di banyak tempat warga eks Gafatar dipersulit mengurus administrasi kependudukan (Adminduk) seperti KTP dan dokumen-dokumen resmi lainnya. Hal tersebut mempersulit mereka sebagai warga negara dalam mengakses hak-hak ekonomi, sosial, kesehatan, dan sebagainya.
“Bagaimana mungkin bisa membuat KTP dan surat-surat resmi lainnya, saya saja ketika pulang tidak diakui sebagai warga tempat saya berasal oleh RT, RW, dan kelurahan,” tutur Rahmat Sunjaya (26) yang pernah menjadi koordinator wilayah Jawa Barat dan kini terpaksa mengosongkan dan meninggalkan rumahnya di Cirebon.
Ia dan istrinya harus menyiasati hidup keluarganya agar bisa bertahan, yang ketika pengusiran terjadi mereka baru sebulan dikaruniai seorang bayi. Sementara selama di pengungsian, Dinas Sosial memberikan susu, pampers dan roti yang kadaluarsa dan tidak mungkin dikonsumsi.
Begitupun aset-aset bergerak dan tidak bergerak milik eks Gafatar yang mereka tinggalkan di Kalimantan tidak bisa atau sangat sulit diambil. Ada yang hancur karena dibakar. Ada pula hilang dijarah. Padahal nilainya tidak sedikit. Rahmat yang mengkoordinir satu kelompok dari beberapa wilayah Jawa Barat saja, belum daerah lainnya, telah mengucurkan 1 sampai 1,5 milyar yang dibawa ke Mempawah sebagai modal untuk membangun hidup mereka dari awal. Lantas seketika ludes!
Menuntut negara
Dengan seluruh pengaduan yang dibuat warga eks Gafatar, Asfinawati mendorong Komnas Perempuan dan Komnas HAM untuk: pertama, segera menuntut negara menjamin dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan (ECOSOC Rights) warga eks Gafatar yang selama ini terampas. Terutama kepada Komnas HAM diharapkan menjadi fasilitator untuk mengembalikan aset-aset, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, milik warga eks Gafatar yang ditinggalkan di Kalimantan.
Kedua, mengingatkan negara bertanggung jawab memberikan pemulihan psikologis atas trauma yang sangat berat menimpa warga eks Gafatar, terutama kalangan perempuan dan anak-anak.
Ketiga, memastikan secepatnya Kemendagri untuk menginstruksikan bawahannya agar mempermudah pelayanan terhadap warga eks Gafatar dalam pembuatan KTP atau Adminduk. Menghapus diskriminasi pelayanan publik.
Keempat, segera menghentikan dan menindak aparat-aparat atau pejabat pemerintahan yang mendorong masyarakat stigmatisasi warga eks Gafatar.
Di penghujung pengaduan, Tim Kuasa Hukum eks Gafatar Febionesta meminta Komnas Perempuan dan Komnas HAM dalam waktu sesingkat mungkin bertindak agar kepolisian segera membebaskan Ahmad Mushadeq, Mahful Muis Tumanurung, dan Andri Cahya. Hal tersebut demi mempertimbangkan nasib keluarganya, terutama anak-anak dan istri. Mahful mempunyai 7 anak yang masih kecil-kecil. Anak terbesar berusia 12 tahun. Andri juga mempunyai dua anak. Yang besar baru berusia 9 tahun. (Thowik SEJUK)