Beberapa peserta Workshop SEJUK menepi dari gerimis di Sinagog, rumah ibadah Yahudi, di Tondano, Minahasa (21/5/2016)
“Anak-anak kami harus belajar agama Kristen di sekolahnya karena tidak ada pelajaran agama yang kami anut di sana,” terang Yulita, salah satu Jemaat Yahudi.
Keberadaan agama Yahudi di Indonesia masih diselimuti misteri yang penuh tanda tanya dan dilekatkan berbagai praduga. Penggalan keterangan Yulita di atas menggambarkan betapa mereka sebagai kelompok minoritas harus mengikuti arus utama masyarakat di negeri ini.
Agama Yahudi oleh publik tidak banyak diketahui selayaknya keberadaan 6 agama besar yang diakui negara, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Padahal, di sudut utara Sulawesi, tepatnya di Tondano, ibukota Kabupaten Minahasa, rupanya menjadi pilihan kaum Musa ini untuk menetap dan bertahan.
Di sana kelompok Yahudi mempunyai anggota sebanyak 33 kepala keluarga yang dipimpin oleh 2 orang Rabbi, Yakoov Baruch (33) dan Yabbi Ensel (42). Mereka juga mempunyai 1 Sinagog (rumah ibadah Yahudi) yang dinamakan Shaar Hasyamayim Synagogue. Bangunan mungil ini berdiri bersanding dengan ratusan gereja yang ada di Minahasa. Sebuah komunitas agama minoritas dengan rumah ibadah yang kecil.
Mengembangkan Toleransi
Komunitas Yahudi di Minahasa ini mengikuti tata cara peribadatan agama Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Selain tidak mendapat pendidikan agama (Yahudi) di sekolah, dalam kesehariannya mereka pun masih melakukan praktik agama lain. Demikianlah yang diakui Yulita.
“Kami berlatar belakang Kristen, jadi beberapa ajaran yang kami ikuti berdasarkan itu,” cerita Yulita Sabtu (21/5/2016). Namun, bagi dia itu tidak menjadi masalah karena ajarannya sendiri tidak menjudge suatu agama itu tidak baik. Sebaliknya, toleransi dibangun dalam ajaran-ajaran Kristen yang mereka ikuti sangat menghargai keberadaan komunitas Yahudi sehingga tercipta kehidupan bersama yang harmonis sebagai warga Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.
Tidak terkecuali jika akan menikah, kaum Yahudi melangsungkannya di gereja Kristen. Tetapi, setelah itu diadakan upacara berdasarkan agama Yahudi. Ini untuk menyiasati agar mereka bisa mendapat dokumen legal dari negara, dalam hal ini Buku Nikah.
Menurut Yulita, ketika tetangga bahkan pendeta yang mengetahui mereka menganut Yahudi, tidak pernah ada penolakan dalam bentuk apapun. Sebab, ajaran yang mereka laksanakan berdasarkan pada gulungan Torah dan tidak menganggu orang lain. “Selagi kita tidak menggangu, maka kita juga tidak akan diganggu,” kata Yulita.
Namun sayangnya, hari besar mereka seperti Pesah, Pondok Daun, Rosasana, Buah Sulung, dan Hari Raya Roti tidak Beragi tidak mendapat pengakuan dari pemerintah. Begitupun hak-hak sipil lainnya. Kendati demikian, Sang Rabbi, Yakoov, pun dapat memakluminya.
“Kami tetap mengupayakan pengakuan soal hari raya kepada pemerintah meskipun sangat sulit didapatkan. Paling tidak ada pengakuan soal perkawinan, kelahiran, dan kematian,” tuturnya.
Karena itu, meskipun kehidupan beragama mereka belum difasilitasi oleh pemerintah sebagaimana agama-agama lainnya, tetapi komunitas Yahudi Tondano ini tetap taat melaksanakan ibadah dan merayakan hari raya. “Kita beribadah setiap Sabbath, hari yang dikuduskan,” tutur Yulita menjelaskan ritual rutin komunitasnya di hari Sabtu.
Artikel terkait: https://sejuk.org/2016/05/28/mengintip-semangat-damai-pemeluk-yahudi-indonesia/
Siapakah Yahudi di Tondano?
“Agama ini berkembang di Indonesia karena ada orang Yahudi dari Belanda, Inggris, dan Portugis yang datang ke Indonesia,” kata Yakoov Baruch di Shaar Hashamayim Synagogue, mengisahkan sejarah keberadaan Yahudi di negeri ini sejak sebelum kemerdekaan Indonesia dan kemudian beberapa bertahan di Tondano hingga sekarang.
Selain menceritakan eksistensi mereka di Indonesia yang berkurang drastis bersamaan dengan diterapkannya kebijakan Pemerintah Indonesia membatasi agama yang sah dianut warga negaranya, sebagai Rabbi yang belajar teologi Yahudi di Israel, ia juga menjelaskan hal-hal yang terkait dengan keyahudian.
“Sinagog Shaar Hashamayim artinya pintu surga yang berfungsi sebagai tempat berhimpun, belajar, dan beribadah,” ujar Yaakov menjelaskan makna dari Sinagog tempat ia bersama jemaatnya menjalani ritual.
Sama halnya dengan agama lain, Yahudi juga memiliki Kitab Suci sebagai acuan ajarannya. “Gulungan Torah merupakan kitab agama Yahudi. Itu berdasarkan kitab Perjanjian Lama (Hukum Taurat),” jelasnya.
Waktu ibadah mereka tidak hanya sekali saja dalam seminggu, tetapi akan ada ibadah lainnya yang dilaksanakan di rumah masing-masing. “Kami juga mempunyai tiga waktu beribadah dalam sehari yaitu setiap pukul 9.00, 15.00, dan pukul 17.00,” terang Yulita.
Demikian perbincangan kami, peserta Workshop Pers Kampus Meliput Isu Keragaman (20 – 22 Mei 2016) sore itu di Sinagog Shaar Hashamayim, dengan komunitas Yahudi di Tondano.
Ketika mendengar kata Yahudi mungkin yang kemudian timbul dalam pikiran kita adalah mereka kurang baik dan segala prasangka buruk lainnya. Sebab, masing-masing dari kita mempunyai penafsiran.
Hal ini pun diakui oleh Yulita karena beberapa waktu lalu ada segelintir orang yang mengatakan bahwa aliran Yahudi itu sesat. “Kami tidak menanggapi, karena yang kami lakukan tidak menggangu orang lain,” tanggapnya.
Keramahan Yahudi terpancar jelas ketika mereka menyambut kedatangan tim kami yang berkunjung ke Sinagog. Senyuman mereka tak pernah redup walau saat itu gerimis melanda daerah kaki gunung Soputan itu.
Sikap terbuka dari mereka menambah hangatnya suasana yang membuka pemikiran kami, para jurnalis kampus dari beberapa daerah di Indonesia yang menganut Kristen, Katolik, Islam, dan Hindu, bahwa penganut Yahudi itu tidaklah seburuk yang kita dengar.
Tim Penulis
Kiri ke kanan: Isa Oktaviani (MIMBAR Universitas Tanjungpura Pontianak), Ayu Lestari (GENTA Universitas Andalas Padang), Kurniawan Muchtar (VOICE OF COMMUNICATION Universitas Negeri Gorontalo), Ahmad A. Gusti Tehuayu (LPM LINTAS IAIN Ambon), dan Defry Sofyan (LPM MERAH MARON Universitas Negeri Gorontalo)
Laporan kunjungan ke Sinagog ini merupakan rangkaian Workshop Pers Kampus Meliput Isu Keragaman yang digelar di Aryaduta Hotel Manado, 20 – 22 Mei 2016, berkat kerjasama LPM Inovasi Universitas Sam Ratulangi Manado, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF)