Permohonan Grasi Bagi Merri Utami
SELAMATKAN MERRI UTAMI DARI EKSEKUSI,
SELAMATKAN BURUH MIGRAN DARI HUKUMAN MATI
Kami, organisasi-organisasi Buruh Migran Indonesia, mantan dan keluarganya yang berada di Hong Kong, Macau, Taiwan dan Indonesia yang tergabung di Jaringan Buruh Migran Indonesia Cabut UU No 39/2004 (JBMI), meminta Presiden Joko Widodo untuk memberi grasi atau pengampunan bagi Merri Utami (MU) dari hukuman mati. Kami juga meminta agar pemerintah terus memperjuangkan pembebasan Buruh Migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri.
Latar belakang dan perjalanan hidup Merri tak jauh beda dari kenyataan sehari-hari yang dialami para perempuan buruh migran. Merri adalah korban kemiskinan, migrasi paksa, perdagangan manusia dan sindikat narkoba yang memanfaatkan ketidakberdayaan para perempuan desa untuk kepentingan bisnis mereka. Merri Utami bukan pelaku kejahatan dan negara tidak sepatutnya menghukum korban.
Berasal dari keluarga miskin di Desa Sukoharjo-Jawa Tengah, Merri Utami adalah korban kekerasan suami yang pemabuk, penjudi dan suka main perempuan. Dia pernah bekerja ke Taiwan selama 2 tahun atas paksaan suami tetapi jerih payahnya dihabiskan oleh suaminya. Di usia 25 tahun, dia nekad berpisah dengan suami dan menghidupi kedua anaknya sendiri, tapi satu anaknya meninggal dunia.
Jerry, anggota sindikat narkoba, yang mengaku warga negara Kanada dan sedang berbisnis di Indonesia sudah mengincarnya sejak dia di Taiwan. Merri Utami bertemu Jerry ketika dia mengurus surat-surat keberangkatan ke Taiwan lagi. Mereka berpacaran selama 3 bulan. Jerry bersikap sangat baik dan perhatian, sering memberi hadiah kepada orangtuanya, melarang dia bekerja lagi ke Taiwan dan berjanji akan menikahinya. Jerry mengajak Merri berlibur ke Nepal. Merri berangkat pada tanggal 17 Oktober 2001 sedangkan Jerry sudah menunggu di sana.
Tanggal 20 Oktober 2001, Jerry pamit balik ke Jakarta untuk mengurusi bisnisnya dan Merri diminta menunggu temannya yang akan menyerahkan titipan berupa tas tangan contoh dagangan. Dua orang bernama Muhammad dan Badru menemuinya dan menyerahkan tas tangan. Merri sempat menanyakan mengapa tas tersebut berat dan mereka menjawab karena tas kulit bagus dan bahan kuat.
Tanggal 31 Oktober 2001, Merri terbang ke Jakarta dan tas tangan ditaruh di kabin pesawat. Waktu landing di Bandara Sukarno Hatta, Merri lupa mengambil tas di bagasi dan akhirnya balik lagi. Ketika keluar dari Bandara, koper dan tas tangan diperiksa di mesin X-Ray. Petugas memeriksa tas tangan dan menemukan narkoba jenis heroin seberat 1,1 kg di dinding tas. Merri ditangkap seketika. Merri menghubungi Jerry dan kedua temannya, tapi HP mereka sudah tidak aktif. Baru akhir-akhir ini Merri menemukan kenyataan bahwa Jerry punya banyak nama samaran.
Tahun 2002, Merri dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Tingkat Pertama. Merri sudah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung tetapi ditolak. Pada tahun 2014, MU mengajukan Peninjauan Kembali tetapi ditolak. Merri diberitahu akan diikutkan dalam hukuman mati gelombang ketiga tahun 2016.
Saat pemeriksaan, Merri juga mengalami kekerasan oleh petugas kepolisian mulai dipukul berkali-kali, dilecehkan secara seksual dan hampir diperkosa. Penyiksaan ini menyebabkan cidera penglihatan pada salah satu matanya. Merri dipaksa mengakui bahwa heroin tersebut miliknya. Pengacara yang ditunjuk membantunya juga ikut memaksanya untuk mengaku bersalah dan hanya datang saat sidang saja.
Lebih tragis, sejak ditangkap, pihak keluarga sudah tidak mau menerima dan menganggapnya sudah mati kecuali anak perempuannya yang masih mengunjunginya. Dia percaya ibunya tidak bersalah.
Kami sangat percaya bahwa Merri Utami hanya korban sindikat narkoba yang beroperasi di Asia Tenggara seperti halnya Mary Jane Veloso, Rita dan puluhan perempuan migran lain yang sekarang dipenjara atau terancam hukuman mati. Lebih dari itu, Merri juga korban buruknya sistem hukum dan peradilan di Indonesia.
Saat ini, ada 209 Buruh Migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri dan 63 orang di antaranya adalah perempuan. Mereka rentan terjebak sindikat karena terjepit kemiskinan dan rasa tanggung jawab yang besar untuk memberi hidup layak bagi keluarga. Mereka tidak hidup dan bekerja bagi diri sendiri tetapi bagi kesejahteraan anak, orang tua dan juga saudara-saudara mereka.
Indonesia telah mempunyai Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan seharusnya korban-korban sindikat seperti Merri Utami dan Mary Jane Veloso dilindungi, bukan sebaliknya dipenjara dan dieksekusi. Kesempatan hidup Merri Utami hanya ada di tangan Presiden Jokowi yang memiliki hak istimewa sebagai seorang pemimpin negara.
JBMI berharap Presiden Jokowi akan mengambil keputusan yang bijaksana dengan memperhatikan kerentanan yang menjebak para perempuan miskin pedesaan. Memberi grasi atau pengampunan bagi Merri Utami berarti memberi harapan hidup bagi Buruh Migran Indonesia korban perdagangan manusia dan sindikat narkoba yang sekarang juga sedang terancam hukuman mati di luar negeri.
Menghukum dan membunuh Merri Utami tidak akan menghentikan gembong sindikat narkoba yang terus aktif beroperasi. Selama kemiskinan dan himpitan ekonomi terus menjerat rakyat miskin, selama itu pula gembong sindikat akan punya target baru untuk ditipu dan dijadikan kurir.
Lapangan kerja layak, memberi hak rakyat atas tanah, menurunkan harga kebutuhan pokok, menjamin pendidikan, kesehatan dan akses publik terjangkau menjadi solusi yang akan mengikis kerentanan buruh migran khususnya dan rakyat miskin umumnya. Solusi yang perlu dan harus ditempuh pemerintah demi menyelamatkan rakyatnya dari pemerasan, penipuan dan perdagangan manusia, sindikat narkoba dan ancaman hukuman mati.
Masih ada waktu untuk menyelamatkan Buruh Migran dari ancaman hukuman mati. Berikan grasi bagi Merri Utami. Beri dia hak hidup.
#Grasi4MU #SaveMU #HapusHukumanMati #SaveMigrantsFromDeathRow
Jakarta, 28 Juli 2016
Kontak: Marjenab (Indonesia) : 081382350491 Sringatin (Hong Kong) : (+852) 69920878