Potret aktivitas etnis Tionghoa Medan di kawasan Pajak Beruang, Medan (24/1)
Oleh: Grace Kolin
Meletusnya Tanjungbalai benar-benar mengusik kekhawatiran saya pada isu pembauran etnis Tionghoa Medan. Sebab, proses dan inisiatif pembauran etnis Tionghoa kurang mendapat perhatian dari pemerintah maupun dari penduduk Kota Medan sendiri. Kesadaran integrasi sosial belum banyak diupayakan dan terbangun dengan baik di masyarakat Kota Medan.
Karena itu, saya memberanikan diri untuk ‘menguliti’ diri saya sendiri sebagai bagian dari Etnis Tionghoa. Selama tujuh tahun menetap di Kota Medan saya merasakan adanya jurang sosial yang lebar antara masyarakat etnis Tionghoa Medan dengan masyarakat etnis lainnya. Hal ini amat terasa berbeda dengan masyarakat etnis Tionghoa yang ada di daerah Sibolga dan Pematang Siantar. Etnis Tionghoa di kedua daerah ini jauh lebih membaur dengan masyarakat setempat.
Gelombang Kedatangan Etnis Tionghoa ke Indonesia
Jika saya tarik ulur waktu mulai dari sekarang, keberadaan masyarakat etnis Tionghoa di Medan sebenarnya memiliki akar sejarah yang cukup panjang. Kedatangan masyarakat tersebut ke Sumatera Utara terhitung dalam tiga kali gelombang. Gelombang pertama terdiri dari kelompok pedagang yang datang dan tinggal menetap di Indonesia jauh sebelum kolonialisme Belanda dimulai. Kemudian pada gelombang kedua, perusahaan-perusahaan Belanda mendatangkan buruh dari Cina untuk menggarap perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang mulai diusahakan sejak abad ke-18, yang waktu itu dikenal dengan sebutan Cina Kebun Sayur.
Dalam kurun waktu yang tidak lama, Deli Maatsschappij, perusahaan perkebunan yang didirikan oleh Jacobus Neinhuys, P.W. Jenssen dan Jacob Theodore Cremer pada tahun 1870, mendatangkan 4.000 buruh Tionghoa dari Singapura. Hingga tahun 1931, jumlah seluruh tenaga buruh di Sumatera Utara membludak menjadi 305.000 orang.
Ketika pemerintah kolonial Belanda angkat kaki dari Indonesia, banyak buruh Tionghoa yang kemudian hengkang dari perkebunan dan mulai merintis usaha dagang, pertukangan dan menjadi nelayan. Karena memiliki sikap ulet dan bakat dagang, banyak warga Tionghoa yang telah keluar dari perkebunan tersebut kemudian berhasil dalam usahanya. Dengan keterampilan dan modal yang diperoleh selama penjajahan, mereka mengambil alih posisi yang ditinggalkan pedagang Eropa dan merambah ke pusat Kota Medan.
Dalam beberapa genarasi selanjutnya, gelombang ketiga menjadi akhir dari migrasi masyarakat etnis Tionghoa ke Indonesia sekaligus menjadi cikal bakal dari masyarakat etnis Tionghoa Medan yang kita lihat pada hari ini.
Berdasarkan statistik yang diperoleh dari Data Kependudukan Kota Medan (Desember 2010), masyarakat etnis Tionghoa menduduki posisi ketiga terbesar dengan jumlah penduduk 202.839 orang di Sumatera Utara (25 persen dari jumlah populasi), khususnya wilayah Kota Medan. Etnis Tionghoa yang banyak dijumpai di Medan adalah suku Hokkien, Teochiu, Khe (Hakka), Canton (Kong Hu) dan Liok Hong yang masing-masing memiliki perkumpulan sosial, profesi, domisili serta logat bicara sendiri, berbeda-beda.
Latar belakang sejarah dan keberagaman ingroup yang dimiliki oleh etnis Tionghoa Medan menjadi keunikan tersendiri, bahkan di mata etnis Tinghoa lain di Indonesia. Di sisi lain, terdapat beberapa problem pembauran yang tidak sengaja dipelihara dalam wacana toleransi Kota “Miniatur Indonesia” ini. Mulai dari etnosentrisme, segregasi, eksklusivisme hingga asimilasi yang terhambat.
Sebelum masuk ke inti masalah, terlebih dulu akan diuraikan sebab-sebab patahnya lempeng pembauran yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat awam Kota Medan. Pada mulanya, etnis Tionghoa gelombang pertama adalah salah satu etnis pendatang yang mampu berbaur mengikuti budaya lokal.
Sejarah Segregasi
Keadaan tiba-tiba mulai berubah ketika Belanda datang dan menguasai areal perkebunan di Indonesia. Di tengah-tengah terbatasnya kebebasan untuk menggarap kebun, etnis Tionghoa mengadakan perundingan win-win solution dengan pihak Belanda dimana pada akhirnya mereka diberikan kebebasan untuk tidak berpatokan pada jenis tanaman yang wajib ditanam pada waktu itu dengan syarat setor hasil bumi secara berkala kepada Belanda. Lambat-laun, privilise itu menguntungkan etnis Tionghoa dari sektor ekonomi.
Selain itu, kebijakan pemerintahan Hindia Belanda yang mengatur tentang susunan kewarganegaraan di Hindia Belanda dalam tiga golongan juga secara tidak langsung memisahkan etnis Tionghoa (yang pada kala itu termasuk dalam golongan Asia Timur) dari golongan pribumi. Dalam hal tempat tinggal, pemerintah kolonial juga membuat blok-blok pemukiman yang terpisah menurut etnik. Sehingga hanya dalam waktu 40 tahun kemudian, terbentuk hunian dengan nama Kampung Cina, Kampung Arab dan Kampung Keling (sebutan bagi kaum Tamil yang datang dari India), serta kawasan milik “Tuan Kebon” asal Eropa. Sedangkan kaum penduduk asli dan pendatang lain tinggal di luar blok yang disebut Pemukiman Rakyat Sultan.
Segregasi paksa itu akhirnya berujung pada pemisahan pemukiman etnis Tionghoa yang kini dikenal sebagai China town-nya Kota Medan. Beberapa China town Medan itu:Taman Asia Mega Emas di Jalan Asia, komplek perumahan Cemara Hijau di kawasan Pulau Brayan, komplek perumahan Sunggal di Kampung Lalang, komplek perumahan Setia Budi Indah di Tanjung Sari, dan komplek perumahan MMTC di kawasan Pancing.
Tidak hanya dalam konteks pemukiman, segregasi juga meliputi tempat perbelanjaan dan sekolah. Dalam memenuhi keperluan sehari-hari, masyarakat etnis Tionghoa Medan lebih memilih untuk berbelanja di pasar Ramai, pasar Sambas, pasar Sunggal, dan pasar Petisah. Begitu pula dalam pemilihan sekolah, anak-anak etnis ini belajar di Sekolah Methodist-2, Nanyang, Piaget, SIS (Singapore International School), POS (Prime One School), Sutomo, WR. Supratman, Wiyata Dharma dan sekolah Budhis lainnya.
Fenomena segregasi ini akhirnya berimbas pada cap “eksklusif” yang melekat pada masyarakat etnis Tionghoa Medan.
Kemudian jika menilik sejarah kasus pembantaian ‘65 yang menjadi titik awal dari rezim Orde Baru-nya Soeharto, jurang segregasi mulai diperlebar dengan bumbu-bumbu komunis yang sengaja ditiupkan terhadap masyarakat etnis Tionghoa Medan.
Tak hanya itu, sistem ekonomi monopolistik yang diarsiteki sejumlah teknokrat pada waktu itu juga turut menyuburkan praktik cukongisme. Praktik ini mengacu pada suatu bentuk kolaborasi antara pengusaha Tionghoa dengan pejabat negara, militer maupun sipil. Kolaborasi tersebut diwujudkan dalam bentuk dukungan modal dan pengelolaan usaha yang diberikan kepada pengusaha Tionghoa. Sebagai timbal-baliknya, pihak birokrat dan militer memberikan dukungan lisensi atau konsesi.
Praktik ini memicu ketimpangan dan kecemburuan sosial. Akibatnya berbagai kritik serta protes yang sangat keras terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap menguntungkan kelompok etnis Tionghoa terus dilancarkan.
Sampai pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, etnis Tionghoa Medan mengalami luka psikologis di titik terendah kehidupan mereka di Indonesia. Banyak di antaranya yang mengalami krisis kepercayaan bahkan juga berujung pada kebencian yang amat mendalam terhadap etnis non-Tionghoa Medan. Pilihan untuk melakukan eksodus besar-besaran pun tidak bisa terhindarkan mengingat situasi keamanan negara yang buruk.
Sayangnya, beberapa masyarakat etnis Tionghoa Medan –untuk tidak menyebutkan semua– yang masih bertahan dan bersikukuh untuk tetap tinggal di Kota Medan hingga detik ini juga masih mempertahankan sikap etnosentrisnya. Hal ini tampak dalam aktivitas berkomunikasi, masyarakat etnis Tionghoa secara umum yang masih menggunakan bahasa ibu mereka meskipun tidak pada konteksnya, misalnya mereka sedang berada di tempat umum. Tidak peduli apakah mereka akan mendapat komentar miring ataupun kesan ‘terlalu kedaerahan’ dari orang-orang sekitar.
Grace Kolin (kanan) bersama kedua rekannya usai Workshop Pers Mahasiswa SEJUK di Jawa Tengah (4/9)
Politik Identitas
Guru Besar Universitas Sumatera Utara Lusiana Andriani Lubis menegaskan bahwa sikap etnosentrisme tidak bisa dihilangkan dan dimusnahkan. Sebab, pada konteks atau forum tertentu, etnosentrisme telah menjadi tradisi yang diturunkan kepada generasi berikutnya.
Karena itu, Profesor yang menekuni bidang Komunikasi Antarbudaya ini menegaskan, “Etnosentrisme sekaligus juga merupakan identitas. Namun begitu, pandangan etnosentris yang tidak luas justru menjadikannya sebagai penghambat proses pembauran.”
Lusiana menggarisbawahi, kendati etnosentrisme tidak mudah dicairkan, tetapi pembauran sosial kemasyarakatan menjadi hal yang jauh lebih penting dalam mendorong etnis Tionghoa di Medan dan masyarakat etnis lainnya bersama-sama menciptakan kehidupan yang bisa saling berjumpa satu sama lainnya. Sebab etnis Tionghoa pun tidak se-eksklusif yang diduga
“Setelah kita turun ke lapangan, ternyata tidak seperti yang kita sangkakan. Selama ini kan persepsi kita mensubtitusi masing-masing etnis itu mempertahankan rasa akunya atau ingroup-nya. Berkomunikasi sesama ingroup, sementara di luar ingroup-nya tidak mau berkomunikasi. Terutama yang saya lihat itu adalah di etnis Tionghoa, karena dia kan lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan pribumi,” ujar Lusiana menyayangkan setiap bentuk stereotipi yang cenderung menggeneralisir dan justru meninggikan sekat-sekat di masyarakat.
Ahli sejarah dan politik etnis Tionghoa Indonesia Leo Suryadinata memandang pengamalan semboyan Bhinneka Tunggal Ika hendaknya menjadi kesadaran bersama. Namun, Leo Suryadinata berpendapat bahwa seolah-olah semboyan luhur itu hanya berlaku bagi non-Tionghoa. Mungkin layak juga dipertanyakan apakah WNI keturunan Tionghoa merasa bahwa kewarganegaraannya hanya semata-mata melengkapi persyaratan administratif dan bukan merupakan penghayatan nasionalisme yang sesungguhnya?
Bagaimana dengan kalangan Tionghoa yang dulu sangat keras melawan kolonialisme Belanda? Masihkah menyangsikan nasionalisme deretan nama atlit bulutangkis etnis Tionghoa yang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional? Terbukanya Reformasi dengan demokrasi yang semakin memberikan banyak ruang bagi anak bangsa, juga meluaskan keterlibatan etnis Tionghoa dalam mengisi pembangunan di segala bidang.
Barangkali sikap-sikap segregatif di kalangan etnis Tionghoa tidak bisa digeneralisir begitu saja. Namun, mengingat jumlahnya yang tampak cukup signifikan, maka seakan ini merupakan representasi yang meyakinkan. Hal ini dipertegas dengan istilah yang biasa digunakan masyarakat etnis Tionghoa Medan dalam menyebut Ho-anna (orang non-Tionghoa Indonesia) dan Tenglang (orang Tionghoa).
Ikhtiar Pembauran dalam Gagasan dan Praktiknya
Harus diakui hubungan antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat non-Tionghoa di Kota Medan dapat diibaratkan seperti api dalam sekam. Dari luar, apalagi kalau dilihat dari jauh sekilas tampak sudah dingin, cair. Tapi begitu dikorek lebih dalam lagi, terlihat percik api yang belum padam. Dan percik api tersebut, suatu waktu mudah tersulut dan disulut (oleh pihak-pihak tertentu) menjadi ‘kobaran api’ rasialisme yang maha besar seperti peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Tanjung Balai.
Telah banyak kebijakan dan kegiatan yang dilakukan pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa sendiri untuk mensukseskan program pembauran. Baik yang dirintis sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi. Secara garis besar, upaya tersebut dapat dipilah menjadi dua doktrin atau aliran yaitu, aliran integrasi dan asimilasi. Aktivis dan politisi yang dikenal sebagai sosok pejuang dan guru bangsa Siauw Giok Tjhan merupakan pencetus doktrin integrasi. Ia meyakini kebenaran dan menghidupkan konsep kemajemukan atau pluralisme bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan para founding fathers dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Menurut Siauw, kecintaan seseorang terhadap Indonesia tidak bisa diukur dari nama, bahasa dan kebudayaan yang ada dipertahankannya. Melainkan tindak-tanduk dan kesungguhannya dalam berbakti untuk Indonesia.
Adapun aliran lain yang masih serumpun dengan doktrin integrasi menyatakan, bahwa dominasi ekonomi oleh masyarakat Tionghoa juga dapat memicu timbulnya kecemburuan sosial dari masyarakat non-Tionghoa. Sehingga kelompok aliran ini percaya, bahwa solusi terbaik untuk mensukseskan integrasi adalah integrasi ekonomi yang disertai dengan distribusi aset.
Sedangkan doktrin asimilasi antara lain ditandatangani Onghokam, H. Junus Jahja dan Mr. Auwjong Pengkoen. Bagi mereka masalah minoritas hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi dari berbagai sektor lapangan secara aktif dan bebas. Para penganut aliran asimilasi ini menginginkan agar pembauran dilaksanakan dalam lima bidang kehidupan, yaitu: politik, kultur, ekonomi, sosial dan kekeluargaan (pernikahan).
Ada juga aliran asimilasi total yang dipelopori Kristoforus Sindhunata yang berpandangan bahwa masyarakat Tionghoa harus melebur dengan warga masyarakat di mana mereka tinggal (melting pot). Dengan melakukan asimilasi total, menurut sosok yang semasa hidup disapa Romo Sindhu dan pernah menjabat ketua Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (BAKOM PKB), maka adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Tionghoa secara perlahan akan melebur dan budaya masyarakat Tionghoa tidak lagi menjadi identitas tersendiri, tetapi mengidentikkan diri dengan warga masyarakat lainnya.
Untuk saat ini, baik doktrin integrasi dan doktrin asimilasi, keduanya masih belum menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada pembauran yang optimal. Dalam praktik lapangan, ada semacam dilema yang tak bisa dipungkiri masyarakat etnis Tionghoa Medan ketika mereka menjalankan model pembauran seperti yang disarankan oleh para pelopor pembauran. Misalnya untuk solusi yang dianjurkan oleh H. Junus Jahja dan almarhum H. Karim Oey kepada masyarakat Tionghoa untuk memeluk agama Islam agar dapat diterima oleh masyarakat non-Tionghoa. Solusi tersebut kurang mendapat sambutan yang cukup baik di kalangan etnis Tionghoa Medan dikarenakan kepercayaan Sinkretisme yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Meski begitu, peran pendidikan tidak boleh dilupakan dalam mensukseskan proses pembauran. Lewat pendidikan, wacana tentang pluralisme atau keberagaman dapat ditransmisikan kepada generasi muda yang relatif masih terbebas dari berbagai cara pandang stereotipi maupun luka-luka sejarah. Pendidikan mempunyai peranan yang efektif untuk menghapus sekat-sekat psikologis yang ada dalam kognisi generasi muda.
Sebagaimana dipahami, generasi muda adalah subjek yang masih menjadi beban psikologis generasi tua masyarakat Tionghoa, khususnya yang mengalami tekanan psikis pasca peristiwa pembantaian 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Trauma psikologis dan politis itulah yang telah banyak memagari warga Tionghoa dalam melakukan proses pembauran.
Salah satu contoh nyata dari aplikasi pendidikan berbasis kebhinnekaan di Kota Medan adalah Perguruan Sultan Iskandar Muda. Perguruan yang terkenal dengan sebutan sekolah pembauran ini didirikan pada tahun 1987 di Kecamatan Medan Sunggal oleh Dr. Sofyan Tan. Sejak 1989, Sofyan Tan mulai merintis program anak asuh.
Diharapkan masyarakat dermawan, baik dari kalangan Tionghoa maupun non-Tionghoa, bersedia untuk menjadi orang tua asuh bagi calon siswa-siswi yang mempunyai potensi untuk berkembang. Sistemnya dibuat menyilang. Orangtua asuh yang berasal dari warga Tionghoa dianjurkan mengambil anak asuh dari keluarga non-Tionghoa. Sebaliknya, orangtua asuh dari warga non-Tionghoa dianjurkan mengambil anak asuk dari warga Tionghoa. Sistem silang seperti itu diharapkan juga ikut mengurangi sekat-sekat psikologis antara generasi tua dengan generasi muda.
Bisa dikatakan, sekolah Sultan Iskandar Muda adalah salah satu langkah awal yang baik menuju pembauran masyarakat etnis Tionghoa Medan lewat jalur pendidikan. Diperlukan lebih dari seratus sekolah Sultan Iskandar Muda untuk mengalirkan kembali paham-paham pluralisme dan multikulturalisme yang telah lama usang, tergantikan oleh paham yang etnosentris.
Pengamat ekonomi Sumatera Utara Vincent Widjadja Khong menegaskan, “Sekarang kalau mau terjadi suatu pembauran yang alami, ya jangan dipaksakan. Satu mau memberi, satu mau menerima. Jangan satu mau memberi, yang lainnya enggan terima, gitu gak bisa jadi.”
Selaku mantan pengurus BAKOM PKB ia juga mengakui bahwa dalam konteks Medan, proses pembauran agak unik dan juga tidak begitu mulus. Dalam catatannya, hal tersebut banyakdirasakan bagi generasi yang pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang tidak enak. Ada luka dan trauma.
Sementara Vincent Widjadja Khong sangat optimis bahwa generasi yang lahir di tahun 2000-an sebenarnya sudah bagus. Mereka udah tidak merasakan perbedaan. Bahasa Indonesia sudah bagus dan komunikasi sehari-harinya dengan Bahasa Indonesia. Baginya, proses pembauran selalu memerlukan waktu.
“Misalnya dari generasi pertama mereka mengalami peristiwa. Yang kedua mulai bagus, yang ketiga dan keempat mereka akan makin-makin bagus,” ujarnya dengan nada optimis.
Saya sebagai generasi yang tidak mempunyai ingatan tentang trauma atau mengalami secara langsung luka-luka yang ditanggung etnis Tionghoa Kota Medan memiliki keyakinan, meskipun dalam waktu dekat belum ada kebijakan resmi pemerintah yang diciptakan untuk mengintegrasikan masyarakat etnis Tionghoa Medan dengan masyarakat etnis non-Tionghoa, proses pembauran akan tercipta dengan sendirinya.
Kerinduan untuk membaur, seperti yang diungkapkan Lusiana di atas sebetulnya telah ada. Tinggal bagaimana caranya waktu untuk menyembuhkan luka sejarah yang masih membekas.
Sehingga, di masa yang akan datang benang pembauran yang tadinya kusut akan terurai satu-persatu. Masa di mana tragedi seperti yang meletus di Tanjung Balai mampu dihindari dan tidak pernah akan terjadi di Kota Medan. Sebagai penutup saya harus menerbitkan optimisme dengan meminjam ungkapan peraih Asian Literary Price tahun 2008 dari Filipina Miguel Syjuco: As we all came to discover the limitations of assimilation, we grew closer as family.
**Grace Kolin adalah jurnalis di Lembaga Pers Mahasiswa PIJAR Universitas Sumatera Utara