Anak-anak dibully dan dimusuhi karena dituduh bagian dari kelompok sesat dan pelaku makar. Beberapa ibu hamil sampai keguguran. Mereka juga diinafis aparat layaknya pelaku kriminal. Setelah harta bendanya ludes karena dibakar, dijarah dan dihancurkan, mereka ditentang masyarakat untuk bisa kembali ke desa dan tempat tinggal semula.
Eks-Gafatar. Warga negara Indonesia yang ketika tragedi Mempawah, Kalimantan Barat, tahun lalu (2016), menjadi sasaran persekusi yang berakibat 734 jiwa mengalami pembakaran tempat tinggal yang berlanjut kepada lebih dari 8.000 orang kehilangan aset-asetnya di Kalimantan. Mereka juga mengalami kriminalisasi, intimidasi dan ujaran kebencian selama proses pengusiran paksa – hanya karena diduga melakukan penyebaran pemahaman baru, Millah Abraham, dan berlaku makar.
Sejak awal Januari 2016 hampir seluruh pemberitaan media tentang eks-Gafatar bernada menyudutkan dan “memprovokasi” publik. Bermula dari berita-berita tentang perginya dokter Rica yang dikemas media seolah eks-Gafatar bertanggung jawab atas kasus “kehilangan”, “penculikan” dan “cuci otak” terhadap orang-orang yang sejatinya sudah dewasa dan bisa menentukan jalan hidupnya untuk masa depan yang lebih baik bagi dirinya. (Bagaimana mungkin disebut korban-korban cuci otak dan penculikan jika mereka adalah orang dewasa yang memilih ke Kalimantan sampai berjumlah ribuan?)
Pada pemberitaan dr. Rica, media terus-menerus mengutip narasumber resmi seperti kepolisian dan pemerintah daerah maupun pihak-pihak yang “memvonis” eks-Gafatar sebagai kelompok “sesat” dan “makar.” Dari nada pemberitaan yang demikian, masyarakat dibuat panik dan marah. Sampai 19 Januari 2016 tragedi kemanusiaan itu terjadi. Tak satu pun media yang sempat melakukan verifikasi atas kejahatan apa yang berlaku sehari-hari di kalangan komunitas eks-Gafatar di Mempawah, sehingga mereka layak dipersekusi.
Sudah menjadi korban, pemimpin mereka pun dikriminalisasi. Negara memenjarakan tiga elit eks-Gafatar.
Lantas, setelah nyaris dua tahun tragedi persekusi, bagaimana nasib ribuan anggota eks-Gafatar kini? Apa yang ditempuh negara untuk memulihkan hak-hak mereka dan bagaimana tanggung jawab negara atas kerugian material dan non-material (mental atau psikis) mereka ?
Mari dengan kerendahan hati atas pembiaran ataupun tindakan diskriminasi kita semua, masyarakat dan pemerintah, terhadap warga eks-Gafatar, untuk bersama-sama “sembuhkan” ingatan publik Indonesia dengan menengok video di atas yang berjudul “Stop Kriminalisasi Atas Nama Agama”
Berikut sinopsis pendekanya:
Wajah dunia peradilan dan kebinekaan Indonesia serta janji Nawacita Presiden R.I. terus ternodai dengan masih terjadinya persekusi, tindakan kekerasan, diskriminasi dan kriminalisasi yang dikhususkan kepada anak-anak bangsa yang memiliki pemikiran berbeda, kritis dan bahkan inovatif, diiringi dengan wajah institusi peradilan yang tidak independen selalu dijadikan sebagai ladang pembantaian bagi mereka yang minoritas dan tertindas.
Hampir 2 tahun yang lalu, Indonesia digemparkan oleh peristiwa Deportasi Massal kepada mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara atau Eks Gafatar yang sedang menggarap proyek pertanian di Kalimantan. Puncak insiden tersebut terjadi pada 19 Januari 2016 di Mempawah, Kalimantan Barat yang sebelumnya diawali dengan hilangnya dr. Rica dari Jogjakarta.
Sebagian besar penduduk Indonesia tidak pernah mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, siapa saja yang menyerang mereka dan apa sebenarnya yang mereka alami. Timpangnya berita tentang Eks Gafatar di media adalah bagian dari pembentukan opini nasional. Apakah betul mereka hendak mendirikan negara? Apakah betul mereka menodai agama Islam?
Film pendek berdurasi 8 menit ini menjelaskan singkat tentang 6 tahun perjuangan mereka sejak berdirinya sampai ke meja hijau yang berujung kepada hukuman penuh 5 tahun penjara atas pasal penodaan agama kepada para petingginya, dan stigma sesat serta makar yang akan selalu menempel pada setiap Eks Gafatar di seluruh tanah air.
Video dan sinopsis dibuat Eks Gafatar/pengikut Millah Abraham. []