Panas canting dan malam akrab sekali melepuhkan tangan dan jemari mungil pembatik perempuan Magelang kelahiran 30 tahun lalu. Namanya Dwi. Tingginya tidak sampai 1 meter. Fisiknya yang terbatas ini, menggunakan tongkat penopang untuk berjalan, bertekad mandiri.
Jika dulu membantu orang tuanya yang petani untuk berjualan pulsa, kini ia mahir menggambar motif dan membatik. Penghasilannya kisaran 750.000,- perbulan.
“Alhamdulillah sekarang bisa menabung,” ujar Dwi yang pernah kursus jahit 3 minggu, tetapi tidak bisa dikembangkan.
Ia pun memilih merantau jauh dari kampung halamannya ke Bantul, Yogyakarta, di sebuah rumah workshop membatik khusus para penyandang disabilitas dalam naungan PT. Zola Permata Indonesia.
Dwi dan rekan-rekannya tengah membatik (12/10/’17)
Koleganya, Andika (30) adalah penyandang cerebral palsy. Lelaki asal Cirebon pengguna kursi roda lulusan SD ini bersama Dwi dan 8 orang lainnya tinggal di sebuah rumah yang disediakan PT. Zola Permata Indonesia.
Faktor motorik yang terganggu sehingga membuat lengannya tremor, bergetar dan tegang, tidak menyurutkan semangat Andika membatik. Sejak SD dia sudah jualan es lilin. Tekadnya untuk meneruskan SMP waktu masih tinggal di Cirebon tidak didukung orang tuanya.
Sebelum membatik, Andika pernah jualan puzzle, buku-buku gambar dan cerita. Ia menjajakan dari satu TK ke TK lainnya.
“Waktu menggelar jualan puzzle di depan TK-TK, saya kepanasan atau kehujanan,” kenangnya.
Di rumah neneknya, Andika menunjukkan puzzle milik kawannya sesama disabilitas yang masih berjualan
Batik-batik Andika, Dwi dan kawan-kawannya kerap diikutkan dalam fashion show dengan kategori karya disabilitas. Sebab, dalam proses produksi, setiap disabilitas mempunyai kekhususan dan kompleksitas motif maupun tantangan membatik. Ada yang mampu membatik dengan motif rumit. Tetapi, semakin tinggi tingkat tremor atau rendah sensor motoriknya, maka motif batik yang digarapnya semakin sederhana.
Hartono (36) yang satu kakinya diamputasi karena mengalami kecelakaan kerja di Malaysia tahun 2010 dan Agus (23) penyandang tuli adalah dua pendesain motif-motif batik, yang kemudian hasil gambarnya diserahkan mereka kepada rekan-rekannya untuk diwarnai dengan malam yang mendidih.
Mereka bersyukur ada perusahaan yang memberi ruang buat para difabel (istilah yang dipakai Andika dan rekan-rekan disabilitas di Yogyakarta dari singkatan different ability) untuk berkreasi dan mandiri. Selain menyediakan seluruh bahan dan peralatan membatik, PT. Zola juga membayar sewa rumah dan listrik serta memenuhi kebutuhan makan dan minum para pembatik disabilitas.
“Saya sangat berharap agar lebih banyak lagi perusahaan yang memberikan perhatian kepada kami, para penyandang difabel, untuk dapat hidup mandiri dan membuat kami bisa sejahtera,” kata Andika mewakili keinginan rekan-rekannya.
Dwi, Andika, Hartono ,dkk. di depan rumah sekaligus workshop yang mereka tinggali
Tak lupa, Andika mengajak publik yang di Jakarta untuk meluangkan waktu mengunjungi karya-karyanya maupun kawan-kawan pembatik disabilitas lainnya yang akan dihadirkan dalam Inacraft 25-29 April 2018 di Jakarta Convention Center: The 20th Jakarta International Handicraft Trade Fair.[]