Ratusan santri Garut ikut mendeklarasikan upaya pencegahan pernikahan anak. Pembacaan “Deklarasi Pernyataan Sikap Tokoh Agama dan Ulama Garut untuk Cegah Pernikahan Anak” dilakukan para santri dalam acara Malam Seni Santri, Kamis (10/5) di GOR Balewangi, Cisurupan, Garut, Jawa Barat.
Beberapa rekomendasi deklarasi ditujukan kepada pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat agar mencegah praktik pernikahan anak. Pembacaan deklarasi dilakukan Dian Agus dan Fika Siti Rohmah mewakili santri-santri dari 16 pesantren Garut. Kepada pemerintah, deklarasi ini menuntut agar dilaksanakannya UU No. 1 Tahun 1974 yang benar-benar dapat memastikan bahwa kedua calon mempelai dalam kondisi sudah dewasa (21 tahun).
“Pemerintah hendaknya melakukan sosialisasi dan penegakan hukum bila ditemukan petugas negara yang melanggar hukum, membantu atau melakukan pembiaran atas kasus pernikahan anak,” kata Fika membacakan deklarasi di penghujung Kampanye Publik Suara Santri Cegah Pernikahan Anak.
Sebelum digelar Malam Seni Santri, Kampanye Publik ini menyelenggarakan: Lomba Pidato Santri, Lomba Poster Karya Santri, dan Lomba Kampanye Kreatif Karya Santri yang mengusung tema Stop Pernikahan Anak!
Gifar Abdal Gani (17) salah satu santri di Pesantren Nurulhuda Cisurupan, Garut, dengan fasih menyampaikan bahwa bahaya pernikahan anak berdampak buruk terutama bagi pihak perempuan. Ia mencontohkan persoalan kehamilan muda yang tidak jarang menyebabkan kematian ibu bayi.
“Memang agama memperbolehkan pernikahan di usia anak, tetapi kita tetap memegang kaidah ushul fiqih, dimana menolak kemudaratan itu harus diutamakan,” kata Gifar memberikan dasar argumentasi penolakannya pada pernikahan anak, di sela-sela kegiatan lomba.
Menurutnya, tujuan syariah itu ada dua. Pertama menolak kemudaratan dan kedua menarik kemaslahatan.
“Sekarang kita lihat saja bagaimana fakta-fakta pernikahan anak,” lanjutnya, “pasti lebih banyak yang menderita ketimbang yang bahagia.”
Sementara itu salah seorang santriwati, Syifa Susilawati (16) dari Madrasah Aliyah Persis Tarogong mengungkapkan ketertarikannya terlibat dalam kampanye publik yang diikuti 16 pesantren dari wilayah Garut. Kehadiran Syifa pada acara ini diakuinya untuk berkontribusi mencipatakan generasi emas Indonesia dengan cara-cara yang sangat kreatif, sebagiamana yang dilakukan pada acara kali ini.
Karena itu, bagi Syifa pernikahan anak bisa menyebabkan putusnya cita-cita yang ingin dicapai anak-anak Indonesia.
“Harusnya pemerintah memberikan edukasi yang baik kepada anak, orang tua dan masyarakat untuk mencegah agar pernikahan anak tidak terjadi,” harapnya.
Ia pun menguatkan sikapnya ini dengan mengacu pada aturan yang pernah dibacanya, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan, pernikahan anak boleh dilakukan pada usia 16 tahun atas izin orang tua.
“Nah, harapan saya harusnya pemerintah memberikan perhatian bagi kesiapan usia seseorang untuk menikah” imbuh Syifa.
Kampanye publik yang diikuti sekitar 300 santri se-Kabupaten Garut ini juga dihadiri Duta Besar Kanada untuk Indonesia H.E. Peter Mac Arthur. Dalam sambutannya Duta Besar Kanada menyampaikan bahwa pernikahan anak mengancam kehidupan anak-anak perempuan di Indonesia maupun di dunia.
“Dampak negatif dari pernikahan anak ini adalah kehamilan di usia yang sangat muda dimana tidak ada kesiapan fisik dan mental yang akibatnya berisiko pada kamatian. Selain itu, anak-anak juga akan mengalami drop out dari sekolah,” ungkap Peter.
Sebagai lembaga penggagas kampanye Suara Santri Cegah Pernikahan Anak, Rahima menganggap mendesak sekali kegiatan ini dilakukan di Jawa Barat, karena kasus-kasus pernikahan anak marak terjadi di provinsi ini. Direktur Rahima Ade Eridani memaparkan fakta, berdasarkan temuan UNICEF yang mengacu pada Survey Demografi dan Kependudukan Indonesia 2008 – 2012 kasus pernikahan anak di bawah usia 18 tahun mencapai 340 ribu dan Jawa Barat menjadi salah satu provinsi penyuplai angka pernikahan terbesar, termasuk Garut.
“Acara ini rangkaian dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang digelar tahun lalu, 2017, yang merekomendasikan agar ulama perempuan dan pesantren-pesantren berperan dalam mengakhiri praktik pernikahan anak. Jadi kegiatan ini untuk mengukur sejauh mana pesantren dan ulama perempuan memberikan pemahaman kepada para santri agar menolak pernikahan anak,” pungkas aktivis perempuan yang akrab disapa Dani. []
Penulis: Rifah Zainani
Editor: Thowik