Oleh: Eva Ardlillah Daulati
Keberagaman adalah suatu hal yang tak dapat dielakkan dari kehidupan di muka bumi ini. Banyak sekali perbedaan dan keberagaman yang sering kita temukan di sekeliling kita. Terutama bagi kita yang hidup dan tinggal di Negara Indonesia, negara yang memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika; Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.” Dari semboyan ini kita tahu bahwa Negara Indonesia memiliki banyak sekali keberagaman. Keberagaman inilah yang membuat masyarakat Indonesia disebut sebagai masyarakat yang majemuk.
Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 memiliki jumlah penduduk sebesar 236.641.326 juta jiwa, menjadikan negara ini negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah sehingga diproyeksikan pada tahun 2019 penduduk Indonesia berjumlah 268 juta jiwa, dan mencapai 305 juta jiwa pada tahun 2035.
Dari banyaknya penduduk tersebut tentunya terdapat banyak sekali keberagaman yang dimiliki baik agama, suku, ras, etnis, bahasa, dan budayanya. Dari keragaman itulah yang terkadang memunculkan konflik yang diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan ideologi kelompok semata. Sikap intoleransi dan diskriminasi juga kerap kali terjadi, terutama berkaitan dengan agama. Mengingat Indonesia memiliki banyak sekali keragaman agama seperti, Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Chu. Seperti pada akhir 1990-an, Indonesia dikejutkan dengan tragedi Ambon berdarah, isu agama kemudian dijadikan sebagai pemicu terjadinya tragedi ini (Sindonews.com, 18/04/2018). Hingga Bulan Mei tahun 2018 telah terjadi pengeboman di tiga Gereja di Kota Surabaya (Tempo.co, 30/05/2018).
Dilansir dari Tempo.co (12/02/2018) Jaringan Gusdurian mencatat aksi intoleransi dan kekerasan yang berhubungan dengan agama makin meningkat pada tahun 2018. Belum lama ini, Gereja di Bantul dilarang menggelar bakti sosial dengan tudingan Kristenisasi. Pada 28 Januari 2018, kekerasan dialami oleh pemimpin Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH. Umar Basri. Dan pada Kamis, 1 Februari, Komando Brigade PP Persis diserang oleh seorang pria hingga meninggal dunia. Dari banyaknya kasus intoleransi di antara umat beragama di Indonesia ini tentunya mengganggu kenyamanan masyarakat untuk beribadah dan memunculkan kebencian yang dapat memecah belah persatuan Bangsa Indonesia.
Peristiwa ini tentu saja seperti menjadi peringatan kepada Bangsa Indonesia bahwa persoalan kerukunan dan toleransi umat beragama masih menjadi kebutuhan pokok. Untuk menjadikan negara yang aman, damai, serta menjunjung nilai toleransi yang tinggi, perlu kiranya seluruh elemen masyarakat baik dari pemerintah, ulama, tenaga pendidik, aparat keamanan, dan masyarakat lainnya saling bekerjasama untuk mewujudkannya. Namun, sebelum menggerakkan seluruh elemen masyarakat tersebut, sebaiknya dimulai dari diri kita masing-masing.
Pentingnya Menumbuhkan Sikap Toleransi Antar Umat Beragama
Toleransi merupakan hal yang sering digaungkan dan diimpikan oleh banyak orang dari berbagai pihak, baik pemerintah, tokoh agama, aparat keamanan, bahkan seluruh masyarakat Indonesia, khususnya diri kita sendiri. Namun, toleransi akan menjadi mimpi belaka jika kita tak mau berusaha untuk mewujudkannya.
Langkah pertama yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan atau menumbuhkan sikap toleransi pada diri sendiri adalah kita mengetahui serta memahami apa itu toleransi. Toleransi secara luas adalah sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari nilai atau norma-norma agama, hukum, budaya, di mana seseorang menghargai atau menghormati setiap yang orang lain lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan dalam istilah konteks sosial budaya dan agama yang berarti sikap dan perilaku yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat (Wikipedia.org).
Dari definisi di atas kita tahu bahwa sikap toleransi merupakan sikap yang mampu dan mau menerima serta menghargai segala perbedaan yang ada. Dalam hal ini juga sikap menerima dan menghargai akan keragaman agama.
Terdapat sebuah hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ditanyakan kepada Rasulullah SAW. “Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?” maka beliau bersabda: Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran).” Makna As-Samhah dalam konteks ini mengandung afinitas linguistik dengan tasamuh atau samaha, sebuah terminologi arab modern untuk merujuk pada toleransi. Hadits ini seringkali dipakai sebagai rujukan islam untuk mendukung toleransi atas agama-agama lain. di mana beliau diutus Allah SWT, untuk menyebarkan ajaran toleransi tersebut.
Selain itu, dalam kitab suci Umat Islam terdapat Quran Surat Al-Kafirun ayat 6, yang berbunyi “Lakum diinukum wa liyadiin,” yang artinya adalah “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Dalam surat ini sudah cukup untuk menunjukkan bagaimana toleransi dalam beragama. Ini mencerminkan bagaimana untuk menghormati hak berkeyakinan sesama manusia. Tidak memaksakan kehendak, pun tidak memkasakan seseorang untuk memeluk suatu agama tertentu dan tidak mendeskreditkan agama lainnya.
Menumbuhkan Rasa Nasionalisme
Selanjutnya, setelah memahami apa itu toleransi, perlu kiranya kita menumbuhkan rasa nasionalisme dalam diri. Sebagai bagian dari warga Negara Indonesia, baiknya kita tidak hanya sekadar tahu dan hapal isi pancasila, namun juga paham makna dari setiap silanya. Seperti dalam sila pertama Pancasila, aspek agama disebut pertama kali. Hal ini merupakan pertanda bahwa agama merupakan salah satu kebebasan manusia untuk meyakini apa yang diyakininya.
Selain itu, kita sebagai warga Negara Indonesia harus berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila di setiap kegiatan yang kita lakukan. Mengingat bahwa Pancasila merupakan dasar dan ideologi negara. Selain memahami Pancasila, mengingat semboyan Negara Indonesia yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika” itu juga dirasa sangatlah perlu. Semboyan tersebut bermakna bahwa dengan segala perbedaan yang ada tak lantas membuat kita terpecah-belah begitu saja. Berbeda-beda namun tetap satu.
Perlu kita ketahui pula bahwa tak hanya Pancasila yang turut mengatur soal agama, negara pun turut mengatur tentang agama ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 1 berbunyi, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dan pasal 2 berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dari situ jelas sudah bahwa Undang-Undang yang dibuat oleh negara kita tak hanya sekadar dibuat, tetapi juga untuk dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dan tujuan dari dibuatnya Undang-Undang tersebut juga sudah jelas bahwa Negara Indonesia memberi jaminan kemerdekaan atau kebebasan untuk setiap warganya menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Bijak dalam Bermedia
Bijak dalam bermedia pun perlu, tidak mudah menyerap segala informasi dan isu-isu yang beredar sebelum ditelisik kebenarannya. Apalagi berita hoax masih marak terjadi dan beredar di mana-mana. Terkadang ada saja berita atau isu-isu yang mengandung ujaran kebencian, menyulut amarah masyarakat, serta memojokkan atau menuduh kelompok atau oknum tertentu. Menanggapi hal ini, Faris Khairul Anam dalam bukunya yang berjudul Fikih Jurnalistik; Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam (2009) menyampaikan beberapa hal yang bisa kita lakukan ketika menerima sebuah berita.
Hal pertama yang kita lakukan ketika mendapat berita adalah menelisik apakah berita itu benar? Jika tidak atau belum pasti benar, maka jangan disebarkan. Faris Khairul Anam mendasari hal ini berdasarkan sebuah hadits yang berbunyi :
“Barangsiapa tergesa, akan salah.” (THR. Al-Hakim).
“Cukup seseorang dinilai berbohong, dengan mengatakan setiap yang ia dengar.” (THR. Muslim).
Jika benar, langkah selanjutnya adalah memastikan apakah berita tersebut bermanfaat? Jika tidak, maka jangan disebarkan. Jika berita itu bermanfaat, maka barulah kita menyebarkan berita tersebut. Dalam hal ini, Faris Khairul Anam juga melandasinya dari sebuah hadits yang berbunyi :
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, katakanlah kebaikan atau diamlah.” (THR. Bukhari-Muslim).
Menjalin Silaturahmi Antar Umat Beragama
Selanjutnya, perlulah kiranya kita untuk saling menjaga silaturahmi antar umat beragama supaya tidak saling curiga. Saling berkomunikasi anatar satu umat Bergama satu dengan umat beragama lainnya. Berdiskusi juga penting. Supaya kita tahu seperti apa ajaran dari agama-agama lainnya. Dari situ wawasan dan pikiran kita terbuka luas. Dengan begitu, rasa saling curiga, perilaku menghakimi orang atau kelompok lain, serta sikap intoleransi tak terjadi.
Masih banyak hal baik lainnya yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan sikap toleransi. Menumbuhkan sikap toleransi sangatlah diperlukan oleh umat beragama. Jika tidak, maka yang terjadi adalah timbulnya perpecahan dan permusuhan. Jangan sampai karena adanya perbedaan, Indonesia menjadi terpecah belah. Karena pada hakikatnya negara Indonesia adalah negara yang tidak hanya memiliki banyak sekali keragaman agama, namun juga budaya, bahasa, suku, dan ras.
*** Eva Ardlillah Daulati adalah jurnalis LPM Solidaritas UIN Sunan Ampel, Surabaya, peserta workshop pers mahasiswa SEJUK di Semarang, 1-4 Februari 2019.