Kondisi moda transportasi darat, laut dan udara serta fasilitas publik lainnya masih belum aksesibel bagi penyandang disabilitas. Hal ini tampak dari audit yang dilakukan para peserta program Mudik Ramah Anak dan Disabilitas (MRAD) 2019 ke wilayah Sumatera dan Jawa.
Berikut adalah tiga fakta diskriminasi yang ditanggung warga disabilitas di Indonesia:
Penyandang polio dan low vision pengguna kursi roda Aulia Amin (36) beruntung Minggu malam (02/6) bisa mudik ke Medan. Pasalnya, ia langsung mendapat tiket pesawat Garuda pulang-pergi dari Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Hal tersebut bermula dari perjumpaannya dengan Budi Karya tahun lalu ketika Amin mendampingi rekan-rekannya disabilitas dalam MRAD 2018. Budi Karya yang melepas MRAD saat itu menjumpai Amin yang tidak bisa mudik ke Medan kemudian menjanjikan Amin untuk mudik tahun depannya (2019).
Demikian Amin bercerita Senin pagi (03/6), setelah sampai rumahnya di Medan. Tahun ini ketika MRAD bisa memfasilitasi disabilitas yang mudik ke Sumatera (Lampung dan Palembang) dengan moda transportasi darat dan laut, ia juga dapat mudik ke Medan dengan pesawat.
“Alhamdulillah cita-cita saya dikabulkan saat dibutuhkan. Pemerintah, melalui Pak Menteri Perhubungan Budi Karya, mengamanatkan kepada saya untuk membantu mengecek fasilitas transportasi udara,” ungkapnya.
Angkasa Pura II dan Garuda belum Ramah Disabilitas
Amin menuturkan, ketika sampai di gate 5 terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta dan turun dari mobil akses milik Kementerian Sosial, ia kesulitan naik tanjakan penghubung dari jalan raya menuju bandara untuk check-in, sebab bidang kemiringannya cukup tinggi untuk dinaiki pengguna kursi roda secara mandiri. Meja-meja check-in maskapai Garuda tidak ada yang buat disabilitas seperti kursi roda, semua meja tinggi.
Amin pun menegaskan bahwa aturan dan standar moda transportasi dan fasilitas publik yang menjamin hak-hak disabilitas termaktub dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 98 Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus, UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Meskipun secara umum fasilitas bandara dan maskapai Garuda bisa diakses disabilitas, tetapi menurut Amin dari pengalaman mudiknya, belum ada kepekaan dalam memberikan pelayanan khusus yang standar dari penyelenggara layanan publik dalam hal ini Angakasa Pura II dan maskapai Garuda. Sejak pemesanan tiket yang tidak menginformasikan bagi penumpang atau pengguna jasa yang punya kebutuhan khusus lalu memasuki terminal 3, check-in sampai menaiki pesawat, lanjut Amin, mereka tidak menjalankan standar operasional prosedur (SOP).
“Sebagai peserta MRAD kami juga bisa dikatakan membantu dalam mengedukasi, komplain dan terus menghimbau semua stakeholder bagaimana mereka menjalankan aturan yang berlaku,” kata Amin yang sedang menunggu jadwal operasi jantung setelah lebaran.
Melalui MRAD, lanjut Amin, kami juga membantu sektor swasta untuk patuh kepada aturan dan ikut mensosialisasikan pelayanan mereka yang ramah disabilitas kepada publik secara luas dan terutama kepada para anggota keluarga penyandang disabilitas.
Jika sebelumnya hanya memberangkatkan anak dan disabilitas ke wilayah Jawa, MRAD 2019 mulai bisa memberangkatkan ke Sumatera. Total peserta MRAD tahun ini 183 dengan rincian: netra 25, tuli 3, kursi roda 17, daksa non-kursi roda 35, anak-anak 26 dan pendamping atau keluarganya 77 orang.
Pendukung MRAD 2019 adalah Kementerian Sosial, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bank Syariah Mandiri, Lasizmu, YBM PLN, Satgas Perlindungan Anak, Persekutuan Pelayanan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia (Pelkesi), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan Demokrasi.id.
Kapal Merak-Bakauheni tidak Aksesibel
Perjalanan mudik dari Jakarta ke Lampung bagi penyandang polio dan pengguna kursi roda, Fitriyarah (19), bukanlah pengalaman yang mudah. Fitri yang mudik Kamis (30/5) sangat kesulitan ketika hendak buang air kecil di toilet Kapal Motor Penumpang (KPM) Batumandi milik Kementerian Perhubungan. Lokasi toilet KPM Batumandi yang berada di lantai penumpang, menjadikan Fitri tidak bisa secara mandiri menjangkau dan duduk di ruang penumpang kapal ini. Ia harus keluar dari mobil yang ditumpanginya dan melewati parkiran. Untuk mencapai ruang penumpang, beberapa orang harus mendampingi dan membantu mengangkat Fitri bersama kursi rodanya melewati undakan-undakan tangga besi yang tinggi dan sangat curam.
“Untuk ke ruang penumpang dan toilet kapal ini saya tidak bisa sendiri, karena itu saya berharap kepada pemerintah untuk menyediakan kapal-kapal yang bisa diakses disabilitas sehingga saya dan disabilitas lainnya bisa memakai toilet,” harap Fitri.
Meskipun KPM Batumandi menyediakan toilet dengan stiker akses disabilitas, tetapi untuk memasukinya Fitri harus melewati beberapa rintangan, sebab lantai menuju ruang penumpang dihalangi portal yang tinggi, begitu juga saat hendak memasuki toilet. Selain itu, kamar toilet tidak ada pegangannya.
Rest Area KM 39 Cikarang tidak Akses Disabilitas
Pungki (44) dan Widodo (37) yang mudik ke Jawa Timur serta Faisal Namin (42) ke Solo punya pengalaman hampir serupa dengan Fitri. Ketiganya adalah pengguna kursi roda dan harus ikut MRAD karena belum tersedia moda transportasi seperti bus atau kereta api yang akses untuk disabilitas.
Ketika mereka berhenti di rest area KM 39 tol Jakarta-Cikampek pada Sabtu (01/6), jalan dari tempat parkir menuju toilet sangat tidak akses karena mesti melalui tanjakan, undakan dan tidak ada ramp. Dari tiga lokasi toilet rest area di KM 39 hanya satu yang ada tanda akses disabilitas. Satu ruang toilet yang ada pun sulit sekali dijangkau karena kontur tanah dan bangunan yang naik-turun dengan kemiringan yang tidak bisa ditempuh sendiri oleh pengguna kursi roda, sementara tangganya juga sangat tinggi.
Namin yang mencoba menjangkau toilet akses kesulitan karena padatnya mobil yang berebut parkir dan lalu-lalang di rest area. Untuk naik di jalan tanjakan menuju bangunan yang tersedia toilet akses Namin harus bersaing dengan banyak mobil yang terhenti mengantri parkir dan mesti melewati undakan-undakan lantai yang tidak kalah curam dan tinggi. Hal ini yang membuat Namin memilih pindah lokasi toilet lainnya yang tidak akses yang jaraknya ratusan meter.
Meski jalannya relatif landai, bangunan toilet yang sama dipakai Pungki dan Widodo ini pun tidak mudah diakses Namin. Ketiganya harus didampingi dan dibantu orang lain. Seluruh pintu kamar mandi di toilet ini tidak bisa dimasuki kursi roda. Akibatnya di depan pintu Namin harus mengeluarkan plastik untuk menampung dan membuang air kencingnya dalam posisi menghadap kamar mandi. Sementara Widodo harus turun dari kursi rodanya merangkak ke dalam kamar mandi ukuran 90 cm x 1,15 meter dengan pintu tetap terbuka. Begitu juga di toilet bagian perempuan Pungki harus turun dari kursi rodanya.
“Saya berharap pemerintah sangat memperhatikan para penyandang disabilitas dengan menyediakan transportasi yang bisa diakses. Di setiap rest area juga disediakan toilet akses agar kami tidak basah-basahan. Sebab, toilet ini tidak bisa kami gunakan dan pasti sangat sulit buat penyandang paraplegia dan cerebral palsy,” ujar Widodo yang selain sebagai peserta mudik juga ikut mengaudit transportasi dan fasilitas publik bersama program Mudik Ramah Anak dan Disabilitas (MRAD) 2019.
Sementara Pungki yang merasa senang karena pertama kali bisa mudik bersama MRAD yang sebenarnya sudah digelar tahun keempat ini juga menyayangkan kondisi toilet di rest area KM 39.
“Ruang kamar mandi tidak bisa dimasuki kursi roda, terpaksa saya harus turun,” keluhnya. []