Yerusalem dan Palestina-Israel, terutama, selalu dipotret dari lensa konflik. Padahal, sampai hari ini terbangun cukup kukuh jejak-jejak perdamaian Islam-Kristen di Yerusalem.
Tetapi emosi manusia beragama lebih terbius berita-berita kekerasan ketimbang perdamaian.
Salah seorang kawan dari Bandung, Jawa Barat, menunjuk sebuah bangunan masjid yang berdiri di samping Gereja Makam Kudus di Kota Tua Yerusalem, “Itu Masjid Umar.”
Sontak saya merasa bingung dan tidak percaya mengapa di Tanah Suci tiga agama (Yahudi, Kristen dan Islam) yang berabad-abad saling berkonflik menumpahkan darah ini bisa bersanding bangunan gereja dan masjid?
Di dalam Gereja Makam Kudus itu saya menyaksikan terbujur sebuah papan atau lempengan batu yang tidak putus-putusnya para penganut Kristen Ortodoks dari berbagai negara dengan sangat khidmat bersimpuh dan mencium serta mengusap-usapnya. Beberapa publikasi National Geographic menggambarkan, meskipun lempengan batu ini belum 100 persen terbukti menjadi tempat jasad Yesus Kristus pernah dibaringkan, tiga hari sebelum kebangkitan-Nya, tetapi para arkeolog dan sejarawan hampir memastikan bahwa di atas batu itulah Yesus terbaring setelah disalib. Sebab, secara ilmiah tidak satu pun peneliti menemukan situs lainnya yang lebih meyakinkan.
Umar bin Khattab Hormati Gereja Pembaringan Terakhir Yesus
Setelah salat Jumat di Masjid al-Aqsa dan menyantap hummus dengan roti, siang itu (13/9) kami berziarah ke Gereja Makam Kudus yang diimani sebagian besar umat Kristen dan Katholik sebagai pembaringan terakhir Yesus.
Kawan Muslim yang tidak mau disebut namanya ini secara singkat berkisah bahwa ketika Yerusalem jatuh di tangan Islam (637 M), pada suatu siang Khalifah Umar bin Khattab pernah mengunjungi gereja yang dibangun pada abad keempat tersebut.
Ketika masuk salat Duhur, Uskup Yerusalem sekaligus pimpinan Gereja Makam Kudus ini menawarkan kepada Umar agar salat di dalam gerejanya. Dengan halus Umar menolaknya dan memilih salat di luar gereja. Di lokasi khalifah kedua salat itulah kemudian dibangun Masjid Umar.
Ternyata ada maksud mulia dari tindakan Umar ini. Dikisahkan, Umar mengatakan kira-kira begini, “Jika aku salat di gereja, kelak umat Islam akan berkata bahwa di sini Umar bin Khattab pernah salat, sehingga di kemudian hari mereka akan mengubah gereja ini menjadi masjid.”
Kuncen Gereja dari Muslim Yerusalem Kuno
Kepemilikan gereja ini berada di tangan enam denominasi kuno: Ortodoks Yunani, Ortodoks Armenia, Katolik Roma, Ortodoks Syiria, Ortodoks Koptik Aleksandria-Mesir dan Ortodoks Etiopia Tewahedo.
Konon, kekhawatiran munculnya pertikaian di antara keenam komunitas gereja tersebut tentang siapa yang paling berhak memegang kunci, diputuskanlah supaya kunci gereja diserahkan kepada keluarga Muslim Nusseibeh.
Ada juga yang menceritakan, kunci itu justru diberikan pimpinan Gereja Makam Kudus kepada Umar dalam kunjungan siangnya. Sahabat Nabi Muhammad inilah yang menyerahkan kunci gereja langsung ke Nusseibeh.
Memang, gereja ini pernah dihancurkan oleh Dinasti Fatimiyah, Al Hakim, pada 1009. Tetapi oleh putra Al Hakim, Gereja Makam Kudus dibangun kembali pada 1128.
Yang lainnya mengisahkan, keluarga Nusseibeh ini diberi tugas oleh Salahuddin al-Ayubi atau Saladin, seorang sultan yang merebut Yerusalem dari tentara Salib pada 1187. Dengan menyerahkan kunci gereja ke orang Islam, Saladin ingin memastikan agar Gereja Makam Kudus itu tidak dirusak umat Islam lagi.
Sampai saat ini, keluarga Muslim dari Yerusalem kuno inilah yang secara turun-temurun dipercaya oleh keenam denominasi kekristenan menjadi “kuncen” Gereja Makam Kudus.
Saya pun lantas berharap semoga doa-doa para peziarah Masjid Al-Aqsa, Dome of the Rock, Gereja Makam Kudus, Masjid Umar dan Tembok Ratapan di Kota Tua Yerusalem yang lestari dan disucikan tiga agama Ibrahim mampu merekatkan umat beragama dan menebarkan damai ke seluruh manusia dan semesta raya.[]