
Dari seberang telpon seorang kawan bertanya, seberapa kuat aura agama di tengah hempasan corona? Sudahkah diturunkan mukjizat Tuhan tentang kekebalan utusan maupun penyembuhan bahkan kekuatan menghidupkan kembali para korban pandemi Covid-19, terutama di tengah era keterbukaan dan kebebasan informasi?
Karena terkejut, aku gagap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Membaca kebingunganku, ia lantas mencoba menyampaikan alasan mengapa pertanyaan-pertanyaan itu muncul.
Fakta dan pengalaman hidup manusia merasakan pahit, sakit bahkan menghadapi ancaman mematikan seperti wabah dan bencana alam, menurutnya, mengharuskan mereka mencipta penghiburan dan sistem daya tahan tentang imaji kekuatan kebaikan, keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan dan kedamaian yang paripurna.
Diciptakanlah kapitalisme atau ihwal “beruf” dan kemakmuran, sosialisme dengan mimpi kesejahteraannya, komunisme lewat jargon utopis keadilan tanpa kelas, pula libertarianisme perihal kebebasan dari segala bentuk tekanan, pembatasan dan penindasan, sampai sistem demokrasi.
Perihal Tuhan, agama, spiritualisme, kapitalisme, sosialisme hingga demokrasi adalah imaji. Mimpi. Mitos.
Ialah konstruksi manusia pada masa depan lebih baik dan damai paripurna. Semua adalah pemberhalaan maupun fetisisme akan imaji beserta kemewahan karena kedaifan manusia.
Karena itu, tuturnya, Tuhan dan agama bisa sangat memabukkan sekaligus menjanjikan ketabahan, menentramkan dan memberikan penghiburan. Berkat semua imaji itulah manusia menjadi spesies yang bertahan hingga sekarang.
Maka, demitologisasi terhadap tuhan dan agama bersama mukjizatnya dan isme-isme beserta daya pikatnya di era post-truth sangatlah penting, sesignifikan pula jika manusia tetap mempertahankan aura ideologi-ideologi tersebut yang sejatinya karangannya sendiri agar semangat dan ukhuwah atau solidaritas tetap terjaga dalam terjangan badai corona.
Aku pun semakin dibikin bingung dengan motif kawanku, mengapa tiba-tiba semangat sekali membahas serius corona, Tuhan dan agama. Dan, aku hanya mampu membatin: mari hormati keragaman imaji, hargai perbedaan mimpi atau ide dan keyakinan.
Ya, tak boleh memonopoli mitos-mitos dengan kekuasaan politik apalagi kekuatan senjata. Dalam diam, ketika kawanku menyampaikan gagasan demitologisasi, aku teringat analisa semiologi Roland Barthes pada berita-berita di media: mythologie.
Ah, di masa semua manusia di muka bumi ini “tirakat” dan “bertaruh” hidup, semoga kawanku tetap sehat dan terhindar dari paparan Covid-19.