Naskah-naskah kuno tokoh pendiri Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Pangeran Madrais adalah di antara manuskrip masyarakat adat yang pernah dikejar-kejar untuk dimusnahkan.
Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Oman Fathurrahman, M. Hum, menjelaskan ancaman kepunahan artefak budaya nusantara disebabkan bukan hanya dimakan usia atau rusak dan musnah dibakar, juga oleh cara beragama yang tidak toleran. Manuskrip Pangeran Madrais, ungkap Oman yang aktif di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, adalah salah satu contoh manuskrip yang pernah dituduh isi atau ajaran dan pedoman hidupnya keluar dari agama mainstream dan menjadi target pemusnahan.
Merekam keragaman dan keberagamaan manuskrip atau naskah-naskah kuno, menurut Oman yang sudah puluhan tahun berjuang bersama komunitas dan berbagai pihak untuk melestarikan manuskrip kuno, bertujuan untuk mengedukasi dan mengajak bangsa ini menyadari pentingnya mengharmonisasi agama dengan budaya. Sebab, bercermin dari konten-konten manuskrip masyarakat adat, kehidupan relasi agama dan budaya berjalan beriringan.
“Agama dan budaya jangan dibenturkan! Justru dari upaya menjaga, melestarikan, dan terus mengangkat (nilai-nilai) manuskrip, kita belajar tentang relasi beragama dengan keragaman budaya,” kata Oman saat Seminar Manuskrip di Gedung Marapat Lima Paseban, Cigugur, Kuningan (8/7).
Karena itu, Oman pun tidak lelah mengajak semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, untuk bersama-sama menyelamatkan kemudian mentranskrip keberadaan puluhan ribu manuskrip di Indonesia. Membangun kesadaran dan sikap dengan terus menggali sumber nilai pada naskah-naskah kuno akan mengantarkan Indonesia yang masyarakatnya tidak bisa lepas dari agama tetapi senantiasa mampu menghargai yang berbeda.
Oman menegaskan bahwa merawat keberagaman adalah amanat bangsa yang harus dijaga bersama-sama, termasuk dengan merekam manuskrip yang jumlahnya puluhan ribu di Indonesia, yang sebagiannya sudah ada sebelum Islam datang, pra-Islam (abad ke-15 sampai 16).
“Manuskrip dengan aksara, bahasa atau dialek, budaya, dan isi yang sangat beragam menggambarkan juga agama di Indonesia yang jumlahnya tidak hanya enam, tapi ratusan,” papar Oman.
Dewi Kanti mewakili tokoh dan pejuang AKUR Sunda Wiwitan menjelaskan bahwa melalui kegiatan Seminar Manuskrip yang digelar bersamaan Seren Taun 22 Rayangung 1956 Saka (2023) bertema Merawat Budaya Nusantara ini adalah komitmen AKUR Sunda Wiwitan mendukung dan mengapresiasi nilai-nilai dalam kebudayaan tulis dan tutur yang diterjemahkan lewat tari, tembang, batik, dan bentuk-bentuk kebudayaan lainnya.
Rangkaian Seren Taun 22 Rayagung 1956 Saka AKUR Sunda Wiwitan, 6-11 Juli 2023, di Cigugur, Kuningan ini juga menggelar Pameran Manuskrip dengan menampilkan naskah-naskah kuno dari beberapa masyarakat adat daerah lainnya, seperti Kalimantan, Osing (Banyuwangi), dan Indramayu, selain dari Paseban, Cigugur. Beberapa naskah yang dipamerkan juga ditembangkan pada Sabtu malam (8/7).
Emmy Ratna Gumilang Damiasih, menurut Dewi Kanti, dengan ulet telah mentranskrip Manuskrip Pangeran Madrais yang menjadi pedoman hidup masyarakat AKUR Sunda Wiwitan yang dikenal merawat alam dan meninggikan martabat kemanusiaan.
“Dari 100.000-an halaman manuskrip Pangeran Madrais, Ratu Amy (Emmy Ratna Gumilang Damiasih) telah mentranskrip 75.000 halaman,” terang Dewi Kanti.
Dalam seminar sehari ini hadir dan berbagi pengalaman para penyelamat, perawat, dan pelestari manuskrip kuno masyarakat adat. Mereka adalah Wiwin Indiarti (Osing, Banyuwangi), Husnul Fatimah Ilyas (Pusat Riset Manuskrip, Literatur dan Tradisi), yang menyampaikan kerja-kerjanya di Sulawesi Selatan, Aditia Gunawan (Perpusnas RI), yang meneliti manuskrip wilayah Sunda atau Jawa Barat dari masa pra-Islam, Agung Zainal Muttakin (Universitas Indraprasta PGRI Jakarta), yang mendigitalisasi dan memvisualisasi naskah-naskah kuno agar menarik bagi anak-anak dan orang muda, dan, tentu saja, Emmy Ratna Gumilang Damiasih pelestari Manuskrip Pangeran Madrais.
Berbagai tantangan dan keteguhan pengalaman para pelestari yang berkarya dengan hati didiskusikan bersama para pengunjung dan akademisi, guru-guru, dan pegiat pelestarian manuskrip nusantara lainnya.
Pada kesempatan inilah, dengan pengalaman panjang menyelamatkan dan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai manuskrip, Oman Fathurrahman menguatkan, “Yuk, berbeda, saling menghormati, tetapi jangan merusak (keberagaman)!”