Umat Katolik di Labuan, Banten, melakukan peribadatan dengan ketiadaan gereja. Masifnya penolakan masyarakat dan pemerintah menyebabkan hak-hak mereka terabaikan.
“Tolak pembangunan Gereja!”
“Selama tanah ini masih milik suku Banten, tidak akan ada izin untuk pembangunan Gereja”
Jemaat Katolik Stefanus Hartoyo, menceritakan ulang pengalamannya di tahun 2012 silam menjadi saksi dari demonstrasi penolakan pembangunan “rumah singgah” umat Katolik di Labuan, Banten. Sembari mengingat-ingat lelaki yang akrab disapa Toyo itu menyebut demonstrasi dilakukan sekitar 12 orang menggunakan seragam pakaian putih dengan membawa banner penolakan.
Para demonstran membawa banner penolakan pendirian bangunan yang saat itu mereka anggap sebagai gereja. Selain membawa banner, Toyo juga sempat mendengar riuh-riuh ancaman bahwa selama tanah yang digunakan milik suku Banten maka tidak akan diizinkan berdiri gereja.
Selain banner, demonstran membawa sekitar 50 tanda tangan warga sebagai bukti penguat bahwa masyarakat menolak pembangunan Gereja Katolik.
“Umat Katolik di Labuan tidak memiliki gereja. Pada tahun 2012 kami didemo masyarakat dituduh akan mendirikan gereja, padahal itu hanya rumah singgah. Mereka (demonstran) juga beralasan di daerah Labuan sudah terdapat gereja Protestan. Mereka berpikir kami sama dengan umat Protestan, padahal kami adalah dua agama yang berbeda,” ungkapnya.
Rumah singgah yang rencanaya akan dibangun di Labuan dengan gereja adalah dua peruntukan yang sangat berbeda. Rumah singgah di Labuan, Pandeglang, dibutuhkan, salah satunya, sebagai tempat sementara bagi romo atau imam Katolik (pastor) yang ditugaskan Paroki Rangkasbitung Gereja Katolik Santa Maria Tak Bernoda untuk memimpin doa atau aktivitas ibadah lainnya di tingkat Stasi Labuan, seperti ibadah para jemaat di SD Mardi Yuana.
Sebelum terjadi demonstrasi, sempat ada beberapa orang mendatangi Toyo, mengaku bagian dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Orang-orang itu meminta biaya “jasa” keamanan pembangunan dengan imbalan berupa sejumlah uang tunai. Permintaan itu pun langsung ditolak oleh Toyo. Tak berselang lama, demonstrasi menolak pembangunan gereja pun pecah.
“Mereka bilang kalau mau aman tolong ini pembangunan kami yang melaksanakan, saya jawab, ‘saya tidak punya wewenang dan saya hanya melihat’, dia jawab, ‘kalau bukan kami yang melaksanakan nggak aman, akan tidak aman’. Dan benar, terjadilah demo itu,” tutur Toyo.
Gereja Tak Layak Umat Katolik Labuan
Hujan yang mengguyur sejak pagi tak menyurutkan perjalanan kami untuk berkunjung ke sebuah tempat peribadatan umat Katolik. Sekolah dasar (SD) berwarna putih merah yang terletak di Labuan, Pandeglang, salah satu ruang kelasnya menjadi tempat ibadah bagi ratusan umat Katolik yang tinggal di Labuan dan wilayah Pandeglang lainnya.
Sesampainya di SD Mardi Yuana, Minggu (25/2) itu kami disambut hangat oleh para jemaat umat Katolik yang sedang mempersiapkan peribadatan. Ruangan kelas berukuran 7×8 meter dengan sebuah kipas angin menyala di dindingnya adalah saksi bagi umat Katolik menjalankan ibadah.
Beberapa waktu berselang, jemaat berdatangan. Ruang ibadah kian ramai, pertanda peribadatan akan segera dimulai. Kegiatan diiringi tangisan anak-anak dan jemaat yang dewasa mengipas-ipas kertas imbas suhu ruangan dan sekitar yang semakin memanas lantaran banyak jemaat berhimpit di dalam bangunan kelas tertutup tersebut.
Selepas kegiatan peribadatan, kami melakukan dialog keberagaman dengan umat Katolik. Salah seorang umat Katolik perempuan, Amsi Sidauruk, mulai mengungkapkan suka duka selama menjalani peribadatan di SD Mardi Yuana. Perempuan asal Rangkasbitung itu mengaku sedih dengan ketiadaan Gereja Katolik setiap menyambut perayaan Paskah maupun Natal.
“Sedih sekali dengan keadaan seperti ini. Mungkin jika ibadah biasa tidak masalah, namun saat kegiatan besar seperti Natal atau Paskah kami membutuhkan ruang yang lebih besar dan layak. Pada beberapa kegiatan keagamaan kami membutuhkan altar untuk beribadah namun karena keterbatasan ruang, altar itu tidak bisa kami sediakan,” ungkap Amsi dengan nada yang lirih.
Selain itu, Amsi juga beranggapan bahwa bangunan sekolah tersebut sudah tidak mendukung lantaran berukuran kecil dan panas. Hal itu mengakibatkan beberapa umat Katolik melakukan ibadah di luar kelas karena ruangan tidak mampu menampung seluruh umat yang berjumlah 125 orang.
Berharap pada Keadilan Pemerintah
Meskipun mengaku sedih, Amsi tetap merasa bersyukur masih terdapat tempat bagi umat Katolik Labuan untuk beribadah. Tetapi, ia terus berharap bahwa ke depannya umat Katolik dapat memiliki gereja agar kegiatan peribadatan bisa dilaksanakan semestinya.
Umat Katolik di Labuan, Pandeglang, sudah sejak lama menggunakan bangunan sekolah Mardi Yuana sebagai tempat peribadatan. Bahkan, bangunan itu sudah digunakan sejak tahun 1950.
Penatua Stasi Labuan, Herman, mengungkapkan kekecewaannya akan nasib yang menimpa umat Katolik di Labuan. Berdasar pada pengalaman inilah ia melihat bahwa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah yang seharusnya menjamin umat beragama untuk dapat menjalankan kegiatan keagamaan, dalam praktiknya tidak berjalan.
Herman menyayangkan sikap pemerintah, terutama pemerintah daerah, yang tidak mencoba turun langsung ke masyarakat untuk membantu umat beragama mendapat hak sebagai warga negara. Selain karena memang masyarakat yang belum sepenuhnya memahami agama minoritas.
“Pemerintah mengatakan bahwa boleh membangun, itu adalah hak umat beragama, namun nyatanya kan tidak semudah itu. Pemerintah hanya menyuruh saja bilang menjamin, tapi tidak pernah terjun langsung ke masyarakat memberikan pemahaman bagi mayoritas tentang kami umat agama minoritas juga berhak mendirikan tempat ibadah,” jelas Herman.
Herman mengaku bahwa ia menginginkan kesetaraan hak bagi semua umat beragama. Menurutnya, hak untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing sudah diatur undang-undang. Konstitusi menjamin semua umat beragama beribadah di tempat yang semestinya, yang nyaman dan aman.
“Bagaimana bisa konstitusi yang seharusnya menjadi rujukan bisa di bawah kedudukannya? Pemerintah daerah pun pada akhirnya selalu memberikan pernyataan diserahkan kepada masyarakat sekitar. Padahal, seharusnya aturan tetap ditegakkan agar semua mendapatkan haknya untuk bisa melakukan kegiatan peribadatan di tempat yang memang semestinya,” pungkasnya.[]
Tim liputan: Zahra, Taufik, Chika Wati, dan Saep
Laporan ini adalah bagian dari kegiatan workshop “Pemilu Serentak 2024 dan Tantangan Menerapkan Jurnalisme Keberagaman di Kalangan Pers Mahasiswa Banten” yang didukung oleh Internews dan USAID dan bekerja sama dengan LPM Sigma UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, LPM Institut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Aliansi Pers Mahasiswa Serang (APMS) yang digelar di Carita, Pandeglang, Banten, 23-26 Februari 2024.