oleh Darius Lentera (Komunitas Sahabat Yesus)
Penggunaan agama sebagai penegasan kekerasan terhadap orang ragam gender seksualitas adalah salah satu bentuk dari stigma dan diskriminasi. Ini mempengaruhi pengalaman keseharian iman bagi mereka. Bahkan, menyisakan luka religius dan mengundang krisis eksistensial yang mendalam. Meskipun demikian, orang ragam gender seksualitas mengalami kemajuan dalam perkembangan agama dan spiritualitas pada akhirnya. Menemukan ruang iman yang inklusif adalah impian dari orang-orang dengan ragam gender dan seksualitas yang beragama (queer people of faith), mengilhami bahwa mungkin dan bisa merangkul kedua identitas iman dan seksualitas.
Pertemuan keempat Aksi Puasa Pembangunan telah diselenggarakan oleh Sahabat Yesus pada Minggu, 16 Maret 2024. Sahabat Yesus adalah kelompok doa di bawah Keuskupan Agung Jakarta yang diperuntukkan bagi orang ragam gender seksualitas. Ini merupakan secercah harapan yang akhirnya menjangkau orang ragam gender seksualitas Katolik di sekitar Jakarta. Bagi saya dan yang lainnya, ini merupakan kali pertama menyaksikan renungan iman yang dikelola dan disampaikan oleh orang-orang ragam gender dan seksualitas. Kegiatan ini pun inklusif bagi orang dengan identitas iman yang berbeda.
Kegiatan dimulai sejak pukul 17 WIB. Kami menyaksikan film “A Man Called Otto”. Diceritakan seorang kakek bernama Otto yang hidup dengan OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Dalam satu kisahnya, ada seorang transpria yang telah kabur dari rumah dan minta izin tinggal menumpang di rumah Otto. Setelah menonton film, seorang frater memandu doa.
Kegiatan dilanjutkan pukul 8 setelah makan malam. Indra, pengelola Sahabat Yesus, memberikan sambutan. Ia menjelaskan mengenai film yang sudah ditayangkan, “Otto mengalami OCD. Dari kelemahan dia, justru yang menyelamatkan dia… Jadi berkat untuk sesama.”
Topik refleksi pertemuan 4 adalah “Berdamai dengan Diri Sendiri: Dare to Contribute. Solidaritas dan Subsidiaritas dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Renungan dibagikan oleh Jovina Jodiputri. Ruangan kelas penuh, peserta dari sekitar Jakarta hadir. Peserta dari berbagai wilayah Indonesia dan bahkan dari Jerman turut hadir melalui Zoom.
Jovina membuka renungan, “keunikan kita yang tidak dipandang sebelah mata. Ada tantangan tersendiri yang unik dan khas (dialami orang ragam gender seksualitas). Membuat diri bergumul… respon masyarakat yang tidak menerima. Lingkungan abusive menciptakan luka dalam diri. Kita merasa sedang berperang. Lebih parahnya, kita tahu kita berbeda dan memerangi perbedaan itu, alih-alih kita terima.”
Refleksi dilanjutkan dengan pembacaan Kisah Para Rasul 9: 1 – 19a. Saulus selamat dan Ananias menaruh iman kepercayaan kepada Tuhan, sehingga mereka bisa berdamai dengan ketakutan, keraguan, dan pergumulan nya. Jovina menambahkan, “(penerimaan ini) membawa perubahan bagi diri sendiri dan sesamanya.”
Bunda Mayora, yang dikenal sebagai transpuan pertama yang memegang jabatan publik di Indonesia, bergabung dalam percakapan setelahnya. Ia menjelaskan bagaimana ia melihat dirinya dan perjuangannya. “Saya juga mengalami ketidakdamaian. Saya meng-coming out (melela) diri saya sebagai transpuan. Hidup di Indonesia yang tidak aman… Pengalaman itu memberi luka untuk aku,” jelas Bunda Mayora.
Bunda Mayora menghadapi kesulitan dengan menjadi diri sendiri dan terbuka kepada masyarakat. Ia memperoleh ancaman dan dikucilkan. Banyak hak-hak warga negara yang tidak terpenuhi meskipun ia memiliki semua dokumen yang diperlukan. Penerimaan diri itu sulit, akhirnya ia mengakui identitas gender dan menganggapnya sebagai anugerah Tuhan.
“Aku sebagai transpuan, ini adalah kodrat. Ini adalah bagian dari anugerah Tuhan. Berani ke gereja. Nilai cinta kasih saya tanamkan dalam hidup saya sebagai waria. Itu melahirkan kredo kepercayaan masyarakat terhadap transpuan. Karena mereka gak tahu. Saya bersyukur menemukan Tuhan dalam ketranspuanan ku. Masyarakat melihat gender seseorang, adalah orang yang beragam,” cerita Bunda Mayora.
Bunda Mayora mendobrak stigma dan diskriminasi dengan inklusi dan karya. Tidak salah bahwa seorang trans perempuan menjadi seorang pemimpin. Membuka ruang perjumpaan itu penting. “Orang bisa melihat kebaikan dan keutamaan kristus dalam diri kita. Kemudian kita adalah sahabat Yesus, gembala yang terbaik,” tegas Bunda Mayora.
Bunda Mayora menyarankan penerimaan diri dan tubuh kita sebagai bagian dari citra Allah. Hidup sebagai orang ragam gender seksualitas adalah suatu anugerah, karena sesungguhnya menjadi queer transpuan, secara pribadi, bukan kita minta dan kita inginkan. Namun ini bagian yang tak terpisahkan dari jiwa dan raga kita. Banyak sahabat Yesus yang bisa menguatkan hati kita. Jujur itu mahal ketika kita jujur pada identitas diri yang masih dianggap salah dan tidak normal dalam konstruksi sosial, dengan cara pandang yang patriarki. Coming in adalah sebuah nilai kejujuran yang memberikan kebaikan untuk menyatakan dengan jujur bahwa kita orang yang berbeda dan bermartabat.
Jovina kemudian mengundang peserta melakukan refleksi bersama. Pertanyaan refleksinya adalah sebagai berikut:
- Apa yang anda bayangkan ketika mendengar kata “berdamai dengan diri sendiri dan lingkungan” dalam konteks sebagai kelompok queer? Apakah Anda telah mencapai keadaan tersebut?
- Hal apa saja yang menghambat Anda dalam proses berdamai dengan diri sendiri maupun lingkungan?
- Dengan kedamaian dalam diri Anda sebagai Queer, aku dampak positif apa yang telah/ingin Anda salurkan kepada diri sendiri dan lingkungan?
aksi dan komitmen nyata peserta.
Seorang peserta berbagi pengalaman pribadinya dalam melakukan transisi. Ternyata itu adalah proses yang panjang, bahkan diawali sejak usia 3 tahun. ia mengalami penyangkalan diri dan berusaha mengikuti norma gender yang berlaku. Namun, itu berdampak pada kerusakan mental. Setelah ia melakukan transisi, ia justru tidak pernah di-catcall. “Orang pada suka sama aku. Berteman hampir dengan banyak orang dan menjadi percaya diri,” tambahnya.
Ia melakukan aksi dengan merencanakan yayasan untuk penyembuhan trauma. Meskipun tidak mampu menyelesaikan studi sarjana, ia kini menjadi konselor. Ia mengingatkan bahwa “dengan hadir jadi manusia biasa aja, tunjukan dirimu sendiri. Potensi muncul, orang melihat itu. Tidak usah mengubah pikiran orang, menjelaskan diri. Hanya cukup menjadi diri sendiri”.
Jovina kemudian mengundang peserta menuliskan komitmen dan aksi nyata. Umpan balik peserta ditampilkan di layar. Jika dibaca sekilas, terungkap “saya menerima diri.”
Refleksi ditutup oleh Romo Uut, disambung doa spontan dari peserta, termasuk orang tua dari orang muda dengan ragam gender seksualitas. Ini merupakan pertemuan terakhir untuk Aksi Puasa Pembangunan di tahun ini.
Seorang orang tua menyampaikan, “komunitas Ini masih sebuah dunia yang berbeda dengan keseharian kita. Bersyukur karena ada jalan di komunitas ini. Proses kita mencari jati diri, ada proses dari Tuhan yang berjalan sendiri-sendiri. Saling mengisi dan saling menyapa.”
Kemudian disambung oleh seorang peserta, “kita sudah punya komunitas. Kita berjuang dalam komunitas. Selalu ada Generasi baru anak-anak muda yang menemukan identitas mereka. Ini menjadi PR besar untuk kita. Menerima dan menghargai tubuh kita. Membangun ruang perjumpaan untuk anak-anak itu.”
Bunda Mayora berbagi “Cinta kasih dalam ruang perjumpaan mampu merobohkan tembok-tembok kebencian. Kita bersatu dalam kasih Tuhan. Salam damai dan cinta dari Maumere.”
Pertemuan ini telah mengingatkan kita tentang pentingnya komunitas dan perjuangan bersama dalam menerima dan menghargai identitas diri, khususnya dari komunitas agama. Ini pun menekankan bahwa penting untuk membangun ruang pertemuan untuk generasi baru yang menemukan identitas mereka. Orang dengan ragam gender seksualitas pula berhak untuk meyakini dan merangkul ekspresi agama mereka sekaligus identitas gender seksualitas mereka. Tidak lagi sebagai sesuatu yang terpisah dan bertolak belakang.