Pemeluk agama minoritas di Indonesia masih dihadapkan persoalan sulitnya beribadah dan membangun rumah ibadah. Mereka rentan alami persekusi dan kekerasan ketika sedang beribadah, juga mengalami penolakan pembangunan bahkan penghancuran rumah ibadah. Tidak hanya minoritas, pemeluk agama mayoritas pun terancam dipersekusi dan dikriminalisasi jika melakukan praktik keagamaan yang berbeda dari kelompok mayoritas. Hal ini terbukti dari laporan tahunan SETARA Institute yang menunjukkan kasus pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) terus naik. Pada 2021 terjadi pelanggaran KBB sebanyak 171, 2022 ada 175, dan 2023 mencapai 217 kasus.
Gugus Tugas Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Task Force KBB) telah melakukan monitoring, pengaduan, dan pendampingan sejak Maret sampai bulan Agustus 2024, terdapat 32 kasus diskriminasi, intoleransi, persekusi, bahkan kekerasan atas nama agama atau keyakinan. Ada beberapa kasus yang mengalami peristiwa (intoleransi, diskriminasi, dan persekusi) lebih dari sekali. Selain gereja, yang menjadi korban pelanggaran KBB juga vihara, pura, bahkan masjid Ahmadiyah.
Aktor yang paling banyak melakukan pelanggaran KBB adalah negara, dari mulai aparat atau pejabat pemerintahan tingkat provinsi, kabupaten atau kota, sampai aparat desa/kelurahan, dan RT. Tindakan yang dilakukan ada yang aktif melakukan kekerasan (crime by commission) dan membiarkan kekerasan terjadi (crime by omission), tidak menindak massa atau kelompok mayoritas dan dominan menjadi pelaku intoleransi dan persekusi.
Beberapa upaya tengah dilakukan oleh Task Force KBB, pada 4 September 2024, Task Force KBB menyusun daftar inventaris masalah (DIM) Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Ranperpres PKUB). Penyusunan tersebut bertujuan untuk merumuskan strategi bersama untuk advokasi regulasi diskriminatif Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 2006 tentang pendirian rumah ibadah dan Ranperpres PKUB. Pada 26 September 2024, Task Force KBB kembali melakukan pertemuan dengan pembahasan penyusunan standar operasional prosedur (SOP) Task Force KBB.
“Korban dan penyintas (pelanggaran KBB) memiliki harapan. Dari SOP task force melalui data-data yang yang kita punya (kedepannya) bagaimana database ini akan terhubung dengan komunitas maupun pemerintah daerah sehingga bisa memengaruhi kebijakan daerah terutama yang mempraktikkan diskriminasi,” ujar Thowik dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
Kegiatan penyusunan SOP Task Force KBB ini didukung oleh Internews dan USAID. Erwien Temasmico dari Internews kemudian memaparkan format database pelaporan pelanggaran KBB. Database yang komprehensif akan menjadi acuan Task Force KBB untuk bergerak mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran KBB. Selain itu, pertemuan ini juga menyepakati mekanisme kerja Task Force KBB yakni: rapat bulanan untuk melakukan update kasus masuk dan kasus berjalan, rapat darurat, dan konsolidasi dengan jaringan lembaga KBB di luar Jakarta.
Adapun lembaga-lembaga yang tergabung dalam Task Force KBB adalah: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Satu Keadilan (YSK), SETARA Institute, Imparsial, Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), SALT Indonesia/Open Doors, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), The Indonesian Institute (TII), dan Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI) dan jaringannya di Nusa Tenggara Timur (NTT), Yogyakarta, Aceh, dan Jakarta.