Senin, Mei 12, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Agama

Tolak Presiden Jokowi Tanda Tangani Rancangan Perpres PKUB

by Redaksi
04/10/2024
in Agama
Reading Time: 7min read
Tolak Presiden Jokowi Tanda Tangani Rancangan Perpres PKUB
Share on FacebookShare on Twitter

“Negara harusnya hadir untuk menjamin, melindungi, dan memfasilitasi hak-hak warga minoritas yang selama ini terhambat, bukan malah menerbitkan peraturan yang justru semakin mempersulit mereka untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah,” ujar Lola Marina Fernandez Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB.

Saat ini, menurut Lola yang aktif di Cis Timor, NTT, Indonesia memiliki Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No 9 dan No 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Celakanya, sambung Lola, peraturan ini kemudian menjadi legitimasi bagi kelompok-kelompok tertentu untuk menghambat pemenuhan hak tempat beribadah, terutama melalui kewajiban dukungan persetujuan dari 60 warga non-pengguna rumah ibadah yang sulit untuk dipenuhi.

“Jadi atas dasar aturan PBM tahun 2006 ini dapat kita lihat bahwa melalui kebijakan, negara malah hadir untuk memfasilitasi berbagai kasus intoleransi dan kekerasan berbasis agama,” sesal Lola Fernandez.

Yang kemudian sangat mencemaskan kalangan penganut agama atau keyakinan dan kepercayaan minoritas dan organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan isu kebebasan beragama atau berkepercayaan (KBB) adalah pemerintah yang sedang merencanakan untuk meningkatkan status kebijakan yang diskriminatif tersebut, dari PBM menjadi Rancangan Peraturan tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama Raperpres PKUB).

Awalnya, perubahan kebijakan ini diharapkan kalangan minoritas agama atau keyakinan dan kepercayaan maupun para penggerak KBB sebagai peluang untuk memperbaiki kondisi intoleransi dan diskriminasi beragama, terutama dalam pemenuhan hak untuk beribadah.

Namun, pada kenyataannya Rancangan Perpres PKUB ini masih rentan dengan ketentuan-ketentuan yang diskriminatif dan tidak inklusif. Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB melihat rancangan yang ada masih memuat syarat dukungan 90 (dari pengguna rumah ibadah) dan 60 (dari masyarakat sekitar) ketika hendak membangun rumah ibadah.

“Seharusnya hal ini dikaji lebih dalam, mengingat ini merupakan persoalan utama terkait dengan hak atas tempat beribadah. Begitu juga dengan hak bagi masyarakat yang menganut penghayat kepercayaan, perlu dijamin dalam Perpres tersebut yang seharusnya dapat berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016,” ujar Jesse Adam Halim dari Human Rights Working Group (HRWG) yang tergabung dalam koalisi ini.

Penolakan GKJ Banyuanyar Surakarta (Solo)

Jesse mengungkapkan bahwa penyusunan rancangan perpres ini juga dilakukan tidak sepenuhnya partisipatif, karena pada draft perpres yang terakahir, yang sekarang sudah berada “di meja” Presiden Jokowi tidak melibatkan masyarakat sipil, terutama terhadap penganut atau organisasi agama atau kepercayaan yang selama ini terdampak.

“Kami kesulitan mengakses draft terakhir Rancangan Peraturan Presiden ini dan tiba-tiba sudah ‘di meja’ Jokowi. Jadi pemerintah tidak membuka ruang diskusi dan konsultasi draft terakhir Perpres PKUB yang masih sangat restriktif dan diskriminatif, terutama terhadap komunitas/masyarakat yang terkena dampak,” kata Jesse.

Sementara, Manager Program dan Riset The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, menyampaikan bahwa PBM 2006 memiliki banyak pasal problematik.

“Dengan substansi yang sedemikian rentan dipolitisir dan dimanipulasi, PBM 2006 akan bermasalah jika dinaikkan menjadi Ranperpres. Apalagi dengan proses kebijakan yang tidak transparan dan partisipatif, serta tidak akuntabel tersebut,” papar Arfianto.

Lebih jauh, Arfianto juga menegaskan bahwa terkait permasalahan ini, TII juga selalu mengadvokasi dan menekankan kepada pemerintah akan pentingnya proses kebijakan yang inklusif dan tidak diskriminatif, serta dibuat secara partisipatif.

Is Werdiningsih Sekjen Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) memaparkan bahwa selama ini penghayat kepercayaan tidak terlibat dalam keanggotaan FKUB, karena di PBM 2006 tidak ada pasal-pasal untuk melibatkan para penghayat.

“Memang, mulai ada cerita baik, seperti yang dipraktikkan di FKUB Cilacap yang menyertakan penghayat kepercayaan sebagai anggotanya. Tetapi, kalau Ranperpres PKUB ini disahkan kami tidak bisa lagi dan semakin sulit terlibat di FKUB” tutur Is Werdiningsih dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB yang digelar di kantor HRWG di Jakarta Selatan, secara offline dan online.

Untuk itu, Is Werdiningsih menuntut Presiden Jokowi untuk menunda menandatangani Ranperpres PKUB. Selain itu, lanjut Is, Ranperpres PKUB juga ini kontradiksi dengan Putusan MK tahun 2016 yang memutuskan bahwa Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa wajib mendapatkan hak sosial dan politik yang sama dengan para penganut agama lainnya.

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB memonitoring dan beberapa lembaga di dalamnya mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran KBB yang trennya tidak menurun, Di akhir tahun 2015, di ujung barat Indonesia kebencian memuncak yang berujung pada penyerangan tempat beribadah. Satu gereja di Kabupaten Aceh Singkil Provinsi, Aceh, dibakar massa, kelompok mayoritas yang mengatasnamakan agama. Peristiwa itu berlanjut dengan kerusuhan yang menelan korban jiwa. Semenjak itu, ribuan jemaat kehilangan tempat ibadah karena keputusan pemerintah setempat secara sepihak membongkar belasan gereja di Singkil. Jemaat terpaksa beribadah di tenda-tenda darurat, hingga kini. Sementara pada tahun 2017, sekelompok massa membakar pertapakan Masjid Taqwa Muhammadiyah yang sedang dibangun di Kabupaten Bireuen, Aceh. Berbagai hambatan telah memaksa pembangunan masjid tersebut tak lagi dapat dilanjutkan sampai saat ini.

Di ujung Timur Indonesia hal yang sama berlaku. Intoleransi kalangan mayoritas agama kerap memicu aksi penolakan pembangunan hingga pengrusakan tempat ibadah. Pada tahun 2013 terjadi pengrusakan terhadap Gereja Betlehem (GMIT) di Desa Bijeli, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Provinsi NTT. Dengan alasan tidak memenuhi syarat dukungan, sampai saat ini pembangunan GMIT tidak dapat dilanjutkan.

Pulau Jawa juga demikian. GPdI Tanggul, Kabupaten Jember, Jawa Timur, dilarang menggunakan tempat ibadahnya sampai hari ini. GKJ Banyuanyar Surakarta, Jawa Tengah, didemo dan dilarang digunakan untuk beribadah. Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka tidak menerbitkan izin GKJ.

Di Bandung dan wilayah Jawa Barat lainnya gereja-gereja sulit mendapatkan izin, sehingga ibadah-ibadah terpaksa dilakukan di rumah-rumah, yang rentan mendapat larangan dari kelompok mayoritas. Cerita tentang benang kusut izin mendirikan rumah ibadah di Kabupaten Bandung datang dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) Dayeuhkolot. Dibangun di atas tanah yang telah dimiliki sendiri sejak 1994 di Jalan Sukabirus, Desa Citeureup, gereja
ini tak kunjung memperoleh izin. Yang justru datang bergelombang adalah ragam penolakan. Di Purwakarta, Jawa Barat, Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB), Huria Kristen Indonesia (HKI), dan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) sampai sekarang sulit mendapat izin.

Banten juga menjadi provinsi yang diskriminatif karena banyak menolak pendirian gereja. Anak-anak, remaja, dan jemaat perempuan POUK Tesalonika, Tangerang, mengalami persekusi menjelang Paskah 2024. Intimidasi dan demonstrasi kerap dialami jemaat POUK Tesalonika. Rumah doa POUK Tesalonika pun disegel pemerintah. Di Cilegon tidak boleh ada satu pun gereja berdiri, seperti yang dialami HKBP Maranatha. Sedangkan umat Katolik di Labuan, Pandeglang, harus ibadah Minggu di ruang kelas SD yang sempit karena tingginya resistensi mayoritas terhadap gereja.

Begitupun di Kalimantan Timur, Ibu Kota Nusantara, puluhan gereja mengalami diskriminasi dan intoleransi, seperti yang dialami GPMII Pos PI Sidorejo, Petung, Penajam Paser Utara, GSJA Kutai Kartanegara, Gereja Toraja di Samarinda, termasuk pernah yang dialami GKII hampir 28 tahun di Samarinda. Di Jakarta, pusat pemerintahan Indonesia, GBKP Runggun Pasar Minggu sampai saat ini terpaksa beribadah di GOR Pasar Minggu, Jakarta Selatan, karena gerejanya dilarang untuk ibadah Minggu dan hari besar seperti Natal dan Paskah.

Penolakan Gereja Toraja Sungai Keledang, Samarinda, Kalimantan Timur

Kasus-kasus tersebut di atas sebagian besar terpublikasi. Masih banyak kejadian serupa terjadi dan tanpa kepastian penyelesaian yang adil dan setara. Kasus serupa terjadi di banyak daerah Indonesia lainnya, seperti menimpa GBI Gihon Pekanbaru, Riau, GKKD Lampung, dan Gereja St. Yoseph di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, yang sempat dilarang pembangunannya, serta pelarangan pendirian gereja-gereja oleh Ninik-Mamak di berbagai daerah di Sumatera Barat seperti di Pesisir Selatan, Pasaman Barat, dan sebagainya, yang fakta-fakta tersebut tidak tersentuh media, miskin akses, sehingga para korban terpaksa pasrah atas kondisi ini.

Menurut Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Pada tahun 2023, SETARA Institute mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia. Angka peristiwa ini naik signifikan dibandingkan dengan temuan pemantauan pada tahun 2022, yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan. Dari seluruh pelanggaran ini, tren pelanggaran pada 2023 menunjukkan kasus gangguan tempat ibadah masih terus mengalami kenaikan yang signifikan dalam tujuh tahun terakhir. Sepanjang tahun 2023, terdapat 65 gangguan tempat ibadah. Temuan ini adalah angka yang cukup besar bila dibandingkan dengan gangguan yang terjadi dalam lima tahun terakhir, yaitu 50 tempat ibadah (2023) 44 tempat ibadah (2021), 24 tempat ibadah (2020), 31 tempat ibadah (2019), 20 tempat ibadah (2018) dan 16 tempat ibadah (2017).

Dari 65 tempat ibadah yang mengalami gangguan pada tahun 2023, sebanyak 40 gangguan menimpa gereja, 17 menimpa masjid, 5 menyasar pura, dan 3 menimpa Vihara. Mayoritas penolakan pendirian tempat ibadah didasarkan pada belum terpenuhinya atau deviasi pemaknaan syarat pendirian tempat ibadah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006, yang mensyaratkan 90 pengguna tempat ibadah dan 60 dukungan dari warga setempat.

Atas kondisi ini, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB mendesak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk tidak menandatangani Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama ini, sebelum dilakukan pembahasan kembali dengan memastikan keterlibatan masyarakat sipil serta diakomodirnya jaminan hak kemerdekaan beragama/berkepercayaan serta hak beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu (Sesuai jaminan Pasal 28 E ayat 2, Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Jika ini tetap dilakukan, apalagi di akhir masa jabatan presiden yang hanya hitungan bulan, maka Presiden Joko Widodo akan menyumbang kebijakan yang akan memperkuat konflik antaragama dan keyakinan atau kepercayaan di Indonesia.

Karena itulah Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB meluncurkan petisi online “Desak Jokowi untuk Tidak Menandatangani Rancangan Perpres PKUB” di platform Change.org berikut ini, https://chng.it/96JCCN2MyC.

“Masih banyak ketentuan-ketentuan yang harus direvisi dalam Rancangan Peraturan Presiden terkait skema 60 (dukungan warga) dan 90 (pengguna rumah ibadah), FKUB nasional dan keanggotaan atau perekrutan FKUB, tidak diakomodirnya penghayat kepercayaan, dan sebagainya yang mengharuskan rancangan perpres ini ditolak, sebelum ada revisi,” pungkas Lola Fernandez.

Jakarta, 4 Oktober 2024.

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB terdiri dari: CIS TIMOR, YKPI, Task Force KBB, SEJUK, Sobat KBB, KOMPAK, SETARA Institute, YLBHI, AJI Indonesia, Imparsial, SALT Indonesia, Yayasan Satu Keadilan (YSK), The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Task Force KBB, GEREJA HKI, ALIANSI ADVOKASI KBB KALTIM, Pelita Padang, MLKI, BPW-GBI Kapupaten Belu, LKIS, Koalisi Lintas Isu (KLI), YIP.Center, YLBHI – LBH Yogyakarta, KOALISI NGO HAM, KontraS Aceh, YLBHI-LBH Banda Aceh, SP Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Flower Aceh, YouthID, Asia Young People Action (AYA), Youth Forum Aceh (YFA), AJI Yogyakarta, Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKAT), Huuman Rights Working Group (HRWG).

Tags: #TaskForceKBB#TolakRanperpresPKUB
Previous Post

Penyusunan SOP Task Force KBB: Upaya Advokasi Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Berbasis Database

Next Post

Raja Najasyi: Pemimpin tanpa Hegemoni

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Diskriminasi Beragama Kian Mencemaskan, Elemen Masyarakat Sipil Menggelar Konsolidasi Kebebasan Beragama di Provinsi Riau

Diskriminasi Beragama Kian Mencemaskan, Elemen Masyarakat Sipil Menggelar Konsolidasi Kebebasan Beragama di Provinsi Riau

17/11/2024
Masyarakat Adat, Pemimpin Agama, Akademisi, dan Media Bersama Atasi Perubahan Iklim

Masyarakat Adat, Pemimpin Agama, Akademisi, dan Media Bersama Atasi Perubahan Iklim

24/10/2024
Ilustrasi Istimewa

Raja Najasyi: Pemimpin tanpa Hegemoni

09/10/2024
Penyusunan SOP Task Force KBB

Penyusunan SOP Task Force KBB: Upaya Advokasi Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Berbasis Database

27/09/2024
Next Post
Ilustrasi Istimewa

Raja Najasyi: Pemimpin tanpa Hegemoni

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Jangan Toleran-Toleran Amat, Nanti Kebablasan!”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In