SOLIDARITAS Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Sobat KBB) menyimpulkan sejumlah kasus diskriminasi dan kekerasan atas nama agama yang marak di Indonesia merupakan kombinasi antara tirani mayoritas dan ketidaktegasan negara menjalankan amanat konstitusi.
“Ada daerah di mana gereja dilarang, tapi ada daerah di mana masjid dilarang. Jadi ada tirani mayoritas, tapi lebih lagi karena tidak ada ketegasan dari pemerintah. Ini yang jadi faktor utama,” kata Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Nia Sjarifuddin, dalam konferensi pers Sobat KBB, di Jakarta, Kamis (27/3).
Di Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT), umat muslim mengalami kesulitan membangun masjid lantaran muncul penolakan dari warga. Hal itu menimpa Masjid Nur Musafir di Kelurahan Batuplat, Kecamatan Alak, Kota Kupang NTT. Panitia pembangunan masjid, Abdul Gaos, menuturkan, masyarakat muslim Batuplat harus memindahkan lokasi pembangunan masjid saat bangunan sudah mencapai 50 persen. Hal itu lantaran tiba-tiba muncul penolakan dari warga sekitar. “Wali Kota Bapak Daniel Adoe lantas menyuruh camat dan lurah untuk mencarikan lokasi lain, bukan di tempat yang sama,” ucap dia mengisahkan.
Setelah menemukan lokasi baru, panitia lantas memulai proses pembangunan. Saat peletakan batu pertama, hadir pula perwakilan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan pendeta gereja terdekat. Namun pada Juli 2013, pembangunan dihentikan sementara atas instruksi wali kota yang baru terpilih, Jonas Salean. “Beruntung” pembangunan baru mencapai sekira 20 persen. “Alasan penghentian, kami disuruh melengkapi syarat-syarat administratif, tetapi setelah dilengkapi ternyata hingga kini juga belum ada perkembangan,” kata Abdul Gaos
Sementara di Kabupaten Aceh Singkil Nanggro Aceh Darussalam, 17 Gereja dilarang beraktivitas lantaran muncul penolakan dari masyarakat sekitar gereja. Pdt Erde Berutu, menuturkan, 17 gereja tersebut, 10 di antaranya adalah Gereja Kristen Pak-Pak Dairi (GKPPD), 2 Gereja Katolik, 2 Gereja Misi Injil Indonesia (GMII), 1 Gereja Parmalim (Pambi), 1 Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI), dan 1 Jamaat Kristen Indonesia (JKI).
Sedangkan, Nasruddin, jamaah Ahmadiyah Lombok Nusa Tenggara Barat yang selama 8 tahun tinggal di lokasi pengungsian lantaran diusir oleh warga kampungnya, mengeluhkan sejumlah hak kependudukan yang tak bisa diakses oleh dirinya dan rekannya. Hak seperti jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan Persalinan (Jampersal) tidak bisa mereka nikmati lantaran ketiadaan kartu tanda penduduk (KTP). “Beberapa bulan lalu kami didatangi KPU NTB. Mereka menegaskan bahwa kami memiliki hak pilih pada Pemilu nanti. Tapi ini ironis, kami diberi hak pilih, tetapi hak-hak yang lain tidak,” ujarnya.
Sumber: http://www.kabar3.com/news/2014/03/ketidaktegasan-negara-hambat-kebebasan-beragama#.UzoXy6iSyes