Meski keberhasilan di bidang ekonomi layak diapresiasi –sebagian pihak mungkin tidak setuju–pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) banyak dinilai gagal dalam penegakan hukum, khususnya terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Dalam dua periode masa pemerintahannya, kasus-kasus kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok intoleran atau (meminjam istilah Buya Syafi’i Maarif) kelompok preman berjubah semakin marak. Survei-survei yang dilakukan Wahid Institute dan Setara Insitute menunjukkan semakin meningkatnya kekerasan berbasis agama dari tahun ke tahun pada era SBY.
Banyak kasus-kasus kekerasan tidak pernah tuntas diselesaikan. Sebut saja kasus penyerangan dan pembunuhan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Alih-alih menindak tegas seluruh yang terlibat pembunuhan, aparat malah menangkap pengikut Ahmadiyah dan membawanya ke pengadilan dengan tuduhan sebagai provokator serta menghukumnya. Kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah ini juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia, seperti di Mataram, Nusa tenggara Barat, yang sampai sekarang pengikutnya masih mengungsi di Wisma Transito selama lebih dari tujuh tahun setelah diusir dari dari desanya. Pengikut Ahmadiyah di Bogor, Ciamis dan Kuningan, Jawa Barat juga mengalami kekerasan.
Hal serupa dialami kelompok Syiah di Sampang, Madura. Penyerang dan pembunuh pengikut Syiah Sampang tidak mendapatkan hukuman setimpal, bahkan pimpinan Syiah Sampang, Tajul Muluk, dihukum dua setengah tahun penjara dengan tuduhan penistaan agama Islam. Baru-baru ini, lebih dari seribu orang berkumpul di sebuah masjid di Bandung dan mendeklarasikan Gerakan Nasional Anti-Syiah. Meski tidak hadir walau diundang, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dilaporkan mengirimkan utusan dan memberikan kata sambutan.
Kekerasan terhadap kelompok minoritas Kristen juga meningkat selama pemerintahan SBY dan belum mendapatkan penyelesaian, terutama kasus penutupan gereja, sebagaimana dialami jemaat GKI Yasmin Bogor, HKBP Filadelfia, Bekasi, dan di beberapa tempat lain.
Tidak hanya pengikut agama-agama ‘formal’, namun penganut kepercayaan local juga mengalami kekerasan oleh kelompok-kelompok intoleran, sebagaimana yang dialami kelompok kepercayaan di Jawa Tengah.
Dari berbagai tindak kekerasan di atas, beberapa nama kelompok kekerasan sering muncul: Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI). Meski pemimpin dan alamat kelompok ini jelas, sejauh ini tidak ada tindakan hukum atas kekerasan yang dilakukan oleh orang dan yang terlibat dari kelompok tersebut.
Pembiaran oleh aparat keamanan atas tindak kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok intoleran tersebut dipercaya berkonstribusi atas semakin maraknya aksi kekerasan berbasis agama. Sehingga ada semacam ungkapan: kalau anda ingin tidak ditangkap ketika melakukan aksi kekerasan gunakanlah baju agama dan sedikit dukungan massa!
SBY bukannya tidak pernah menunjukkan sikapnya terhadap kekerasan berbasis agama ini. Beberapa kali Presiden mengungkapkan keprihatinannya atas terjadinya kekerasan yang dilakukan kelompok intoleran. Namun ungkapan keprihatinan presiden ini tidak ditangkap bawahan dan aparatnya sebagai instruksi untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan. Pembiaran oleh aparat yang terjadi berulang kali bahkan seolah memberi semangat dan kepercayaan diri pada pelaku untuk mengulang aksinya.
Pembiaran terhadap pelaku kekerasan dan syiar kebencian (hate speech) memperkuat citra SBY sebagai presiden yang peragu dan tidak tegas. Latar belakang militer seakan tidak bisa mengubur penggambaran sebagai presiden yang tidak tegas, terutama terhadap pelaku kekerasan berbasis agama.
Masyarakat yang kecewa akan ketidaktegasan SBY seolah mencari figur pemimpin yang mampu bersikap tegas. Dan menjelang Pemilihan Presiden seperti sekarang ini, sebagian dari masyarakat melihat sosok Prabowo sebagai pemimpin yang tegas.
Dari berbagai survei, Prabowo menempati urutan kedua, setelah Jokowi sebagai calon presiden yang paling tinggi elektabilitasnya. Prabowo dikesankan sebagai pemimpin yang kuat dan tegas. Benarkah?
Dalam kaitannya dengan pelaku kekerasan atas nama agama, ketua dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ini tampaknya tidak akan melakukan tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan atas nama agama. Bahkan pernyataannya yang dikutip berbagai media beberapa waktu lalu, dia setuju untuk bekerjasama dengan FPI. Dikhawatirkan, jika Prabowo terpilih menjadi Presiden, kelompok-kelompok intoleran ini akan semakin mendapat angin untuk memojokkan kelompok minoritas agama dan kepercayaan.
Dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerindra bidang agama (halaman 40) disebutkan:”…. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.”
Penjelasan manifesto setebal 50 halaman, khususnya di bidang agama ditutup dengan kalimat:”… Menyadari pentingnya agama dan kerukunan antar umat beragama, Partai GERINDRA bersikap senantiasa menjamin kebebasan beragama, menjaga kemurnian ajaran agama, dan membina kerukunan antarumat beragama.
Kata “pemurnian” dan “penistaan” inilah yang sering dijadikan alas an kelompok-kelompok intoleran untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Kelompok yang mempunyai tafsir yang berbeda bisa dianggap melakukan penistaan dan penyelewengan ajaran agama. Tidak hanya kelompok-kelompok intoleran, Negara berpotensi melakukan kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas yang dianggap melakukan penistaan dan penyelewengan agama.
Sementara itu, akun twitter resmi Partai Gerindra baru-baru ini mendapat pertanyaan apa sikap partai terhadap kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyah dan Mormon? Akun ini menjawab partai akan membentuk lembaga untuk menampung kelompok-kelompok tersebut dan mampu membuat jera.
Meski kabarnya, tweet itu sudah dicabut setelah mendapat kecaman dari banyak pihak, tetap saja penggunaan ungkapan “membuat jera” seolah menyatakan pengikut agama minoritas itu adalah penjahat yang harus dibuat jera dan tidak lagi melakukan kejahataannya. Kembali, jika sikap ini dijalankan oleh partai ketika memerintah, akan berpotensi Negara melakukan pelanggaran HAM.
Belajar dari pengalaman dua periode SBY, penguasa baru nantinya, seharusnya mampu bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama. Presiden baru justru harus mampu membuat jera pelaku-pelaku kekerasan. Ibarat wasit dalam sebuah pertandingan sepak bola, Presiden baru harus tegas dan berani memberikan kartu kuning, bahkan kartu merah, bagi pemain yang melakukan pelanggaran. Kalau hal ini dilakukan maka akan tercipta masyarakat yang damai dan penuh toleransi antar umat beragama dan kepercayaan serta antar umat dalam satu agama yang memiliki perbedaan penafsiran. Semoga!
Ahmad Junaidi
Koordinator Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)