Kamis, Juli 3, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Indonesianis Tim Lindsey: Jangan Fobia pada Fenomena Jilbab Indonesia

by Redaksi
28/09/2015
in Uncategorized
Reading Time: 3min read
Indonesianis Tim Lindsey: Jangan Fobia pada Fenomena Jilbab Indonesia
Share on FacebookShare on Twitter

Islam & Diversity Festival

Pakar hukum Indonesia dari University of Melbourne Professor Tim Lindsey memandang tidak ada alasan untuk fobia terhadap maraknya pemakaian jilbab di Indonesia. Hal itu disampaikannya dalam diskusi panel tentang Australia-Indonesia bertema Islam and Diversity in Contemporary Indonesia yang diselenggarakan di Adelaide Festival Centre, Australia Selatan, Sabtu sore (26/9/2015).

“Kecenderungan makin banyaknya perempuan muslim dari kelas menengah memakai jilbab tidak perlu dikhawatirkan. Sebab motivasi mereka berjilbab tidak melulu karena keyakinan atau ideologi,” ujar Tim Lindsey yang thesis doktoralnya mengambil Indonesian Studies.

Baginya, gaya hidup yang ditunjang komodifikasi atau industri juga ikut melatari meningkatnya fenomena jilbab.
Pendapat Tim tersebut merespon pengamatan Dosen Senior Fakultas Humanities Flinders University F. Firdaus perihal perubahan perempuan muslim di Indonesia yang dari tahun ke tahun makin bergairah dalam berjilbab.

Dosen Bahasa Indonesia yang akrab disapa Firda ini melihat kecenderungan seperti itu dimulai sejak tahun 80-an karena pengaruh Revolusi Iran.
“Rezim Orba membatasi dan melarang pegawai negeri kerja memakai jilbab. Setelah Suharto turun tiba-tiba sekarang semakin banyak kelas menengah yang berjilbab,” sambung Firda.

Narasumber dari Jakarta Ayu Arman punya pengalaman tersendiri tentang jilbab. Sebagai penulis gender dan Islam yang merekam khazanah keberagaman Nusantara dari Papua, Maluku, Kalimantan, hingga berbagai wilayah Sulawesi, ia sangat optimis dengan dinamika kearifan lokal di Indonesia dalam menghidupkan harmoni dan toleransi.

Tetapi dia terkejut sekali ketika sampai di daerah terpencil di Sulawesi Barat. Lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini tidak bisa mengenali perempuan-perempuan di sana. Pasalanya, dari anak-anak sampai dewasa, para perempuan di sebuah wilayah Mamuju itu menggunakan burqa yang menutup seluruh badannya dan hanya menyisakan mata.

Dari perjalanan panjang kerja kreatif penulisan itu Ayu mendapatkan kesimpulan bahwa Islam Indonesia sama sekali bukan Islam Arab. Islam di Indonesia punya kemampuan membangun harmoni dengan kearifan lokal di masing-masing daerah.

Ia pun berpandangan sama dengan Firda yang melihat Islam Indonesia tidak statis, bukan konsep tunggal. Dari Aceh, Jawa, Lombok, hingga Papua, Islam Indonesia sangat beragam.

“Islam Indonesia terus berkontestasi dalam memaknai kehidupan beragama dan keberagaman. Pergumulan terjadi dalam menafsir agama yang tekstual dengan yang kontekstual,” papar Ayu.

Karena itu, Ayu menganjurkan pentingnya meletakkan isu gender dengan menggunakan tafsir Islam yang kontekstual dan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap perempuan.

Pada kesempatan yang sama, Dosen Senior Fakultas Hukum Monash University sekaligus Ra’is Syuriah Pengurus Cabang Istimewa NU di Australia dan New Zealand Nadirsyah Hosen membuat perumpamaan tentang Islam Nusantara yang sangat mengakomodir keberagaman lokalitas di Indonesia tersebut dengan produk KFC yang mengglobal.

“Di Australia Anda tidak akan pernah mendapat KFC dengan nasi. Agar bisa diterima, KFC hadir di Indonesia dengan citarasa lokal juga, menyuguhkan nasi dengan ayam. Namun, substansinya sama, tetap saja ayam goreng,” terangnya.

Kegiatan diskusi ini ditaja Program Jembatan Flinders University dan merupakan bagian dari gelaran OzAsia Festival, agenda tahunan yang menyuguhkan karya seni internasional setiap musim Semi di Adelaide, Australia Selatan. Festival tahun ini mengambil fokus Cultural Delights of Indonesia 24 September – 4 Oktober 2015.

Eko Supriyanto (Cry Jailolo), Teater Garasi (The Street), Melati Suryodarmo, seniman-seniman disabilitas Yogyakarta, Nani Losari (Topeng Cirebon), Samba Sunda, serta beberapa seniman Indonesia lainnya turut ambil bagian dalam festival yang melibatkan audiens dengan berbagai latar seni, tradisi, dan sejarah yang berasal dari panorama kebudayaan seluruh negara kawasan Asia. (Thowik SEJUK)

Tags: Headline
Previous Post

Australia harus Belajar Toleransi pada Indonesia

Next Post

Kronologi Penyerangan Gereja di Aceh, Singkil

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Kasus Pelarangan Shalat Jumat di Bukit Duri

Kronologi Penyerangan Gereja di Aceh, Singkil

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hotspace Privat Event Jakarta, Bukan Tindak Pidana!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Alasan Mengapa LGBT Diterima Gereja Ini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In