Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) orientasi seksual LGBT bukan penyakit. Sebab, orientasi seksual itu sendiri tidak masalah, kecuali pada aktivitas-aktivitas atau prilaku seksual yang mengganggu dan membahayakan orang lain.
Hal tersebut disampaikan pakar neurologi Dr Roslan Yusni Hasan atau yang akrab disapa Ryu Hasan ketika diminta memberikan tanggapan pemaparan hasil survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) tentang LGBT dalam diskusi yang digelar di kantor SMRC, Jakarta (25/1/2018).
“Bahkan, ditegaskan dalam PPDGJ-III bahwa orientasi seksual jangan sekali-kali dipandang sebagai penyakit,” ungkap Ryu Hasan sambil memberi penekanan bahwa sejak revisi kedua, PPDGJ telah mengeluarkan orientasi seksual dari kelompok penyakit.
Berangkat dari ketentuan PPDGJ yang merupakan campuran dari DSM (buku panduan diagnosis dan statistik psikiatri)-IV dan International Classification of Diseases (ICD) yang telah ditetapkan oleh Depkes, dalam melihat isu LGBT Ryu Hasan berupaya membagikan pemahaman yang benar terhadap publik agar dapat membedakan biologi dari kedokteran.
Ryu menjelaskan, secara biologi jenis kelamin dengan orientasi seksual yang berbeda bukan penyakit, semata keberagaman atau varian yang tidak tunggal dalam tubuh manusia. Dan kalau ditanya apakah LGBT menurut kedokteran itu sakit atau tidak, LGB-nya tidak, tetapi T-nya yang sakit. Soalnya, sambung Ryu, lesbian, gay, dan biseksual adalah orientasi seksual, sementara transjender adalah orang yang tidak nyaman dengan identitas seksualnya.
Jadi, dalam kedokteran LGB bisa disebut sakit apabila orang tersebut merasa tidak nyaman atau terganggu dengan orientasi seksualnya. Sehingga yang dihilangkan adalah rasa tidak nyaman tersebut, bukan orientasi seksualnya.
Sementara dalam kaitannya opini publik Indonesia terhadap LGBT, Direktur Media Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Dr. Ade Armando memaparkan kesimpulan dari 3 survei nasional (surnas) mereka yang dilakukan pada Maret 2016, September 2017, dan Desember 2017 dengan melibatkan jumlah sampel sebanyak 1220 responden pada masing-masing survei.
“Walau mayoritas publik berpandangan negatif tentang Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT), tapi publik tetap menganggap LGBT berhak hidup di Indonesia dan pemerintah harus melindungi LGBT,” kata Ade Armando.
Pakar dan pengajar komunikasi Universitas Indonesia ini menyodorkan fakta-fakta, kendati publik berpandangan negatif terhadap LGBT dan bersikap diskriminatif dengan menolak orang LGBT bila menjadi pejabat publik, tapi publik tidak bersikap diskriminatif terhadap orang LGBT sebagai warga negara biasa.
Surnas SMRC menunjukkan 57,7 persen publik berpendapat bahwa LGBT punya hak hidup di negara kita. Adapun yang berpendapat sebaliknya hanya sebesar 41,1 persen.
Hal tersebut mendorong Ade mengajak kepada para jurnalis dan yang hadir dalam diskusi SMRC (yang rencananya akan digelar rutin setiap bulan), agar memandang data-data itu secara optimis, mengingat bangsa ini sebagian besar warganya tetap berpandangan dan bersikap toleran terhadap LGBT.
Dari realitas yang masih cukup positif ini pula Ade melihat kesempatan yang baik bagi para politisi dan pengambil kebijakan agar lebih optimis dalam mendorong perlindungan hak-hak warga negaranya, dalam hal ini LGBT. Data ini pula sepatutnya menjadi pertimbangan Komisi III DPR RI agar fair ketika merumuskan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), sebagai revisi dari KUHP sebelumnya, supaya tidak mendiskriminasi atau malah overkriminalisasi.
“Kecenderungan publik yang berpendapat bahwa LGBT punya hak hidup di Indonesia tersebar di antara semua kelompok publik berdasarkan kategori gender (pria-perempuan), tempat tinggal (perkotaan-pedesaan), agama, etnis, usia, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, dan pekerjaan,” papar Ade dengan nada optimis.[]
Penulis: Thowik, Steffi & Felicia