Paul Marshall dari The Media Project dalam seminar “Journalism, Political Identity and Religious Freedom in Indonesia” di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta Timur (22/10)
Pakar kebebasan beragama di dunia Paul Marshall mengemukakan tantangan kebebasan beragama di Indonesia. Menurutnya masih banyak orang Indonesia yang tidak bisa mengekspresikan agama atau keyakinannya. Sehingga, bangsa ini masih perlu berproses dalam membangun harmoni dan kebebasan dalam beragama.
Hal itu disampaikan Paul Marshall yang merupakan pengurus teras The Media Project dalam seminar “Journalism, Political Identity and Religious Freedom in Indonesia” di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta Timur (22/10/2018).
Ketegangan dan konflik 20 tahun terakhir setelah runtuhnya Orde Baru terus meningkat. Di antara pangkal masalahnya adalah dampak fatwa-fatwa MUI dan Perber 2006 tentang pendirian rumah ibadah.
Selain itu, pengakuan terhadap 6 agama juga memunculkan masalah yang tidak mudah. Sebagai contoh, rumah ibadah Yahudi, sinagog, di Surabaya dirusak dan ditutup. Pun aliran kepercayaan yang masih harus dipastikan pemenuhan kebebasannya dalam mengakses hak-hak publik seperti pendidikan, kesehatan dan seterusnya, meskipun ada langkah maju dengan putusan MK November tahun lalu (2017) yang artinya memberikan pengakuan kepada selain 6 agama yang resmi.
Bahai, misalnya, cukup baik mulai diterima pemerintah (Kementerian Agama), tetapi secara umum situasi hak dan kebebasan beragama Syiah, Ahmadiyah dan eks-Gafatar masih buruk. Mereka terus mengalami diskriminasi dalam mengamalkan keyakinannya.
Tim The Media Project, akademisi Universitas Kristen Indonesia dan SEJUK di UKI (22/10)
Dalam konteks Kekristenan, banyak orang cenderung melihat bahwa Kristen (dan Katolik) identik dengan Barat dan kulit putih. Faktanya, tidaklah demikian, papar Paul Marshall dalam seminar yang dikerjasamakan King’s College dan The Media Project dengan UKI dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
“80 persen penganut Kristen yang aktif adalah masyarakat belahan bumi luar Barat. Bahkan, lebih banyak warga Cina, yang merupakan negara komunis, yang hadir ke gereja ketimbang orang-orang Eropa,” tutur pengarang buku Religious Freedom in the World (2000 & 2008).
Namun begitu, kasus-kasus persekusi dengan kekerasan yang sangat berdampak pada gereja tidak hanya dialami oleh umat Kristen di Indonesia. 100 jutaan umat Kristen di sekitar 35 negara didera persekusi. Dan, sambung Paul Marshall, aksi persekusi tertinggi terjadi di negara-negara komunis dan post-komunis seperti Cina, Vietnam, Laos, Korea Utara, Kuba, Turkmenistan, Uzbekistan, Belarusia, di mana kontrol negara yang sangat kuat terhadap Kristen.
Setelah itu persekusi terhadap gereja banyak dialami di negara-negara penganut nasionalisme religius Asia Selatan.
“India, Burma, Sri Lanka, Nepal, dan Bhutan yang merupakan negara-negara dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha banyak melakukan persekusi terhadap gereja,” ujarnya.
Urutan berikutnya di negara-negara Islam. Gereja mendapat tekanan dan umat Kristen mengalami kekerasan dari kelompok Islam radikal seperti ISIS.
“Selain persekusi dengan kekerasan oleh kelompok masyarakat sebagaimana terjadi di Pakistan, umat Kristen juga banyak yang dijebloskan penjara dengan delik Penodaan Agama di negara-negara Islam seperti Afganistan”, ungkap punggawa senior Pusat Kebebasan Beragama di Hudson Institute.[]