
Mulut I Wayan Sutama merapal doa persembahyangan. Sambil menata canang sari lengkap dengan dupa yang menguar asap, ia berjalan berpindah-pindah. Ada tujuh posisi bagian luar pura untuk sesajen sederhana ini.
Wayan adalah Pinandita Pura Agung Jagatnatha Pekanbaru. Sulinggih, pemangku pura yang disucikan melalui upacara Hindu, ini berpakaian serba putih, kwaca. Destar bertengger di kepalanya. Kwaca atau baju lengan panjang sepadan dengan saput yang mengikat pinggangnya teruntai sampai atas mata kaki.
Setiap hari, umat Hindu melaksanakan tiga kali persembahyangan. Saat pagi menjelang matahari terbit, siang dan sore.
“Setiap hari saya mendoakan dunia ini damai,” ujar Wayan.
Dupa dan canang sari ialah sepaket sesajen sederhana yang wajib ada di setiap persembahyangan. Dupa jadi lambang pertemuan antara umat dan Tuhannya. Sedangkan canang kata Wayan sebagai wujud rasa syukur terkecil yang bisa dilakukan.
“Kita di sini tidak punya saudara, itulah jadi saudara kita,” tegas Nengah Sujati, istri Wayan, mengisyaratkan bahwa masyarakat Pekanbaru yang mayoritas muslim adalah saudara barunya.
Bagi perempuan yang sibuk sebagai Bina Masyarakat Hindu di Kementrian Agama Pekanbaru ini, upaya untuk bisa dihargai warga mayoritas ialah meleburkan diri dengan menjalin persahabatan. Ia menuturkan bahwa dirinya sudah dipercayai dua periode jadi ketua arisan di kawasan rumahnya. Padahal, hanya keluarga Nengah yang menganut Hindu.
Tak hanya itu, jamuan Nengah ini disambut hangat tetangganya. “Astungkare puji Tuhan, Alhamdulillah, kalau saya masak, temen tu mau makan,” ujarnya.
Sama halnya umat Islam berhari raya Idul Fitri mengundang makan keluarga Nengah, jika nyepi Nengah juga mengundang tetangganya untuk makan. Begitu pula dengan warga yang Kristen.
Dewi Kholisoh, pemilik rumah sekitar Pura Jagat mengatakan bahwa keadaan interaksi sosial di kawasan ini sangat toleran. “Ya dengan mereka biasa aja, tak ada perbedaan,” ujarnya.
Lima tahun sejak menikah Dewi menetap berjiran dengan pura belum pernah ada konflik serius dalam berinteraksi. Satu konflik pernah terjadi. Sepasang suami istri beda agama, yaitu Islam dengan Hindu. Konflik diselesaikan secara keluarga.
Setiap kegiatan sosial umat muslim seperti pesta pernikahan dan upacara kematian, selalu mengundang umat Hindu sekitar. Gayung bersambut, undangan selalu dipenuhi.
Demikianpun, jika acara digelar dalam pura, selama ini selalu ada undangan disampaikan kepada pihak tertentu. Seperti Ketua Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT).
“Yang diundang sebagian aja sih, RT dan RW misalnya,” kata Dewi menggambarkan kehidupan warga di sekitar pura yang saling bersolidaritas.
Di Riau, jumlah penganut Hindu menduduki urutan kedua paling rendah setelah Konghucu. Dilansir dari data jumlah pemeluk agama menurut kabupaten di tahun 2015. Update terakhir oleh Badan Pusat Statistik Riau pada 23 Januari 2017, di Pekanbaru, umat Hindu mencapai 4.020 jiwa.

Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF)
Cerita kondisi toleransi di kalangan pemuda juga memberi kabar baik. I Wayan Mahardika dan Nyoman Adi Setiyo membenarkan adanya kondisi interaksi yang saling menghargai satu sama lain di daerahnya masing-masing.
Keduanya aktif di organisasi kepemudaan Hindu tingkat nasional. Organisasi yang dideklarasikan 11 maret 1984 memiliki nama Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Indonesia.
DPP Peradah Riau sudah terdaftar di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Di pengurusan Peradah Riau, Dika menampuk jabatan sebagai seksi komunikasi. Sedangkan Adi selaku Humas.
Adi menjelaskan bahwa kegiatan-kegiatan bakti sosial seperti mempersiapkan helat tujuh belasan Agustus jadi hal yang tak terlewatkan. “Kami sebagai pemuda ikut serta mempersiapkan,” tambahnya.
Menyoal bagaimana keamanan pura, Made katakan sangat aman. Sejak rencana pembangunan pura kemudian diresmikan 6 Agustus 2001 oleh Gubernur Riau sampai saat ini situasi pura dan lingkungan sekitarnya sangat aman. Tidak ada gangguan sama sekali.
Itu semua tercipta karena kesadaran umat Hindu untuk bisa menyatukan diri terhadap mayoritas dan penerimaan yang baik dari umat Islam.
“Kami berdiri di masyarakat mayoritas, kami harus bisa membawa diri,” tegas Made yang diberi tugas sebagai keamanan pura..
Untuk menciptakan keadaan ini, perlu dipahami dulu makna rasa aman itu apa. Yaitu kondisi yang terlepas dari kecemasan. Sehingga dituntut untuk tidak hanyut dalam perbedaan.
“Keadaan yang damai perlu diciptakan bersama,” tutupnya.
Penulis: Raudatul Adawiyah Nasution, LPM Bahana Mahasiswa, Universitas Riau
Tulisan ini adalah hasil kunjungan lapangan dalam Workshop dan Fellowship Jurnalisme Keberagaman Menghidupkan Toleransi untuk Pers Mahasiswa di Pekanbaru, 26-29 Juli 2019, kerja sama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF), Kementerian Hukum dan HAM RI, Media Mahasiswa AKLaMASI Universitas Islam Riau dan Lembaga Pers Mahasiswa Gagasan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau.
Media partner: IDN Times & Magdalene.co