“Tuhan itu ajaib, loh!”
Kalimat tersebut muncul dari Direktur Eksekutif Ardhanary Institute RR. Sri Agustine ketika memaparkan fakta gender maupun bentuk dan karakteristik seksualitas yang sejatinya banyak sekali ragamnya kepada para jurnalis Sumatera Utara, Aceh, Riau dan Sumatera Barat.
Agustine sangat meyakini, bukti betapa luar biasa kuasa Tuhan adalah dengan menciptakan bermacam-macam identitas, orientasi dan karakteristik seksual pada mahluknya. Sehingga ketika menemukan fakta yang berbeda pada diri ciptaan Tuhan, tidak boleh dinilai manusia sebagai produk gagal, kelainan atau tidak sempurna dari Sang Maha Pencipta.
Karena itu, fenomena interseks yang secara lahir mempunyai kelamin dengan bentuk dan karakteristik seksualnya beragam, bagi Agustine, bukanlah suatu kelainan atau ketidaknormalan. Sebab, sambungnya, hal serupa juga terjadi pada hewan maupun tumbuhan yang dulu kerap disebut sebagai hermaprodit dan ada juga yang memakai istilah mandul.
Maka, fakta-fakta gender dan seksualitas yang bermacam-macam adalah bukti kemahakuasaan Tuhan.
Dari realitas itulah Agustine menegaskan, media memiliki peran yang krusial dan strategis dalam pembentukan pemahaman masyarakat luas terkait sexual orientation, gender identity and expression, and sex characteristic (SOGIESC).
“Saya mendapat informasi baik dan baru terkait SOGIESC dan LGBT ya dari media. Tapi lebih banyak lagi pemberitaan yang tidak baik bagi komunitas LGBT sehingga masyarakat mendapat informasi yang tidak tepat,” ungkap Agustine.
LGBT tak Identik dengan Homoseksual
“Kalau ingin bicara tentang SOGIESC, jangan langsung bicara tentang LGBT. Tapi mari bicara tentang diri sendiri terlebih dahulu, bagaimana konsep ketubuhan itu,” lanjut Agustine yang juga berprofesi sebagai pengacara publik.
Ia menyebutkan bahwa orang-orang, termasuk jurnalis, kerap salah memahami karena langsung mengaitkan istilah LGBTIQ dengan homoseksual. Padahal, ada konsep ketubuhan yang harus dipahami dan juga berkaitan dengan heteroseksual. Tapi pemikiran dan konteks sosial budaya yang sudah dibangun dan turun temurun menjadikan seseorang langsung berpikiran negatif saat mendengar istilah LGBTIQ atau SOGIESC, apalagi berinteraksi dengan komunitasnya.

Demikian pemaparan materi awal Workshop & Fellowship Meliput Keberagaman Seksual di Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) yang dihelat Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) pada 6-8 Maret 2020, di Medan.
Keprihatinan senada disampaikan salah satu pendiri SEJUK Awigra. Ada banyak fobia (ketakutan) terhadap komunitas dikarenakan ketidaktahuan tentang SOGIESC dan LGBTIQ. Deputy Director Human Right Working Group (HRWG) ini menjelaskan bahwa pendapat orang terkait LGBTIQ bisa saja berbeda-beda dan menjadi personal, namun akan menjadi masalah saat pemerintah kemudian turut tidak memberikan perlindungan karena stigma orang-orang yang menganggap menyimpang.
“Mereka (komunitas LGBTIQ–red) semakin tidak memiliki akses pekerjaan dan sekolah yang layak, juga penerimaan di masyarakat yang kurang. Tidak ada ruang,” ujar Awigra.
Menurutnya negara wajib melindungi dan tidak seharusnya memberikan perlakuan yang beda kepada warga negaranya apapun orientasi seksualnya. Negara harusnya paham bahwa dalam konstitusi tidak mengenal mayoritas dan minoritas.
Liputan Berperspektif Korban
Dina Listiorini yang sedang menempuh S3 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dalam materinya, Dosa-dosa Media, memaparkan bahwa ada banyak sekali pemberitaan yang menyudutkan komunitas LGBTIQ.
“Mulai dari penggunaan diksi yang tidak tepat, hingga porsi pemberitaan yang tidak berimbang,” ujar Dina.
Disampaikan Dina, kerap komunitas LGBTIQ tidak dimintai konfirmasi terkait isu yang bersangkutan dengan mereka. Sehingga beritanya menjadi satu sisi dan memengaruhi penilaian masyarakat terhadap komunitas LGBTIQ.
Sementara Direktur SEJUK Ahmad ‘Alex’ Junaidi menegaskan bahwa jurnalis seharusnya menanggalkan identitas yang melekat pada dirinya saat sedang meliput suatu pemberitaan, apalagi meliput kelompok minoritas seperti komunitas LGBTIQ. Jurnalis juga tidak boleh melibatkan keyakinannya ketika meliput. Hal tersebut diperlukan agar tidak ada bias yang kemudian malah memojokkan komunitas LGBTIQ.

“Kalau kamu memang tidak sepakat, tanggalkan dulu. Kamu tidak boleh membawa opini pribadimu terhadap pemberitaan tentang LGBT. Beri ruang yang sama, beri porsi pemberitaan yang sama dan sejujur-jujurnya,” tambah editor The Jakarta Post ini.
Fellowship Meliput Isu Keberagaman Seksual
Selain narasumber-narasumber di atas turut hadir Amek Adlian dari Cangkang Queer dan Rere dari PETRASU (Persatuan Transpuan Sumatera Utara). Di hadapan 11 jurnalis perempuan dan 10 laki-laki, mereka berkisah pengalaman pribadi tentang penerimaan diri dan penerimaan orang lain terkait identitas diri sebagai seorang transpuan (transwoman) dan transpria (transman). Tidak luput juga keduanya bercerita tentang bagaimana pemberitaan media, khususnya di Sumatera Utara, dalam menulis tentang kelompok LGBT dan apa saja harapan mereka.
“Kita kan berharapnya kalaupun ada kejahatan yang dilakukan oleh teman-teman komunitas (LGBT –red) jangan dikaitkan dengan orientasi seksualnya yang kemudian menjadi penyerangan terhadap komunitas,” sahut Amek.
Zulia Yandani, reporter Radio Classy FM Padang, yang mengikuti kegiatan workshop ini merasa sangat senang mendapat kesempatan bergabung, belajar dan mengenal secara langsung teman-teman transgender.
“Awalnya berpikir bahwa kesetaraan gender hanya terkait laki-laki dan perempuan saja, padahal ada lebih banyak dari itu. Jadi belajar juga bagaimana meliput dan menulis pemberitaan terkait komunitas LGBT sehingga tidak malah memojokkan,” sambung Zulia yang juga menjadi kontirbutor Kantor Berita Radio (KBR) di Padang.
Minimal, kalaupun belum setuju dengan keberadaan LGBTIQ, sebagai jurnalis tidak memberitakan kelompok marginal ini dengan tone yang menyudutkan dan merendahkan kemanusiaannya, sebaliknya harus memegang prinsip-prinsip jurnalistik dan, setelah mengikuti workshop ini, tidak menyakiti mereka. Ini disampaikan Khairunnisak Lubis dari Harian9.com, Medan.

Para jurnalis yang terlibat dalam workshop mengirim proposal liputan keberagaman seksual ketika mendaftar serta menerima kesempatan untuk coaching proposal langsung dari Ahmad ‘Alex’ Junaidi, Dina Listiorina dan Truly Okto Purba selaku Editor Tribun Medan (Tribunnews) pada hari ketiga.
Dari proses itu, ketiga mentor memilih 10 proposal untuk diteruskan menjadi liputan-liputan keberagaman yang akan menerima beasiswa terbatas masing-masing Rp 7.000.000,-
Berikut adalah 10 proposal yang mendapat program Fellowship Meliput Isu Keberagaman Seksual di Sumbagut:
- LGBTIQ di Panggung Seni Tari Riau (Syahrul Ramadhan – Tribun Pekanbaru)
- Melihat Kehidupan Transpuan di Pematangsiantar (Leonardo Purba – Harian Metro Siantar)
- Kisah Inspiratif Lesbian dan Gay di Kota Medan (Mei Leandha – Tempo.co)
- Nasib Narapidana Transpuan di dalam Penjara (Virda Elisa – IDN Times Kontributor Pekanbaru)
- Waria Juga Taat Beribadah (Zulia Yandani – Radio Classy FM Padang)
- Nasib Pekerja Transgender di Aceh (Habil – Acehkini.id)
- Legeda Boru Natinjo: Melihat Keberagaman Seksual dalam Silsilah Raja Batak (Lia Anggia Nst – Suaramahardika.co.id)
- Coming Out di Tengah Diskriminasi (Masdalena Napitupulu – IDN Times Sumut)
- Melihat Kehidupan Interseks di Sumatera Barat (Teja Alone – TVRI Sumbar)
- Hidup Kreatif, Kamuflase Keterasingan (Damai Mendrofa – Rakyatsumut.com)
Penulis: Yuni Pulungan
Editor: Thowik SEJUK