
Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Andy Budiman optimis memandang masa depan Indonesia pascapandemi korona. Secara tidak sadar, pandemi Covid-19 membuat politik identitas atau politik sektarian secara umum menurun. Sekalipun masih ada, menurutnya, di masa pandemi relatif tidak punya ruang gerak.
Harapan lainnya, sambung Andy, wajah agama menjadi lebih rasional. Sehingga, ia merasa senang terhadap reaksi kalangan agama yang menyikapi Covid-19 dengan bersandar pada ilmu pengetahuan.
“Sikap politik tokoh-tokoh agama kini mendukung saran-saran ilmu pengetahuan terkait cara-cara menghadapi pandemi Covid-19 ini,” ujar mantan wartawan yang pernah bekerja di Deutsche Welle, SCTV, Kantor Berita Radio (KBR) dan salah satu pendiri Serikat Jurnalis untuk Keberagman (SEJUK).
Andy juga menyaksikan, dalam menghadapi pandemi, semangat persatuan dalam kemanusiaan melampaui sekat-sekat agama, ras, atau yang biasa disebut SARA.
Kendati begitu, dalam webinar “Masa Depan Politik Agama Paska Pandemi” yang digelar (19/5) oleh SEJUK dan Internews ini Andy tetap mewanti-wanti. Ia memandang, jika ruang ketidakpastian yang dirasakan masyarakat dalam kesehatan, ekonomi dan politik semakin besar, karena kekurangtanggapan pemerintah, maka makin besar pula tingkat religiusitas seseorang yang disebabkan pandemi. Akibatnya, religiusitas meningkat setelah pandemi berakhir.
Hal yang sama dikhawatirkan Firliana Purwanti dari Partai Demokrat yang mempertanyakan pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, tampak tidak konsisten dalam menjamin kesehatan publik dan bagaimana mengatasi perekonomian warganya yang terdampak Covid-19. Menurut Firli, program yang dijalankan pemerintah bias kelas, bias gender dan tidak tepat sasaran, sehingga kelompok-kelompok rentan tidak mendapat perhatian.
“Program-program pemerintah tidak menyentuh perempuan yang banyak bekerja di wilayah informal, sebagai pekerja rumah tangga,” ungkap Firli yang menjabat Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak DPP Partai Demokrat.
Ia merujuk data Komnas Perempuan dan LBH Apik terkait kasus kekerasan terhadap perempuan (KDRT) yang lebih intens selama Covid-19. Sayangnya, pemerintah masih abai pada kelompok perempuan yang saat ini sangat marginal, lantaran beban pekerjaannya selama Covid-19 menjadi berlipat.
Hal senada disampaikan anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) M. Nasir Djamil. Baginya, aksi-aksi ketidakpatuhan masyarakat dalam menerapkan aturan pemerintah bisa jadi karena melihat inkonsistensi penguasa dalam menyikapi pandemi.
“Seperti beberapa hari lalu saya ke pasar di Ciawi, masih banyak yang tidak menggunakan masker,” kata Nasir Djamil sambil menyampaikan pesan agar kepada masyarakat yang tidak tahu atau tidak peduli tersebut tidak dilihat sebagai pembangkangan sosial.
Untuk itu, ia pun menganjurkan umat Islam Indonesia agar mematuhi protokol kesehatan, menjaga disiplin, karena hal itu, menurutnya, obat untuk mengatasi pandemi. Sedangkan terhadap pemerintah, ia menuntut agar kebijakan dengan aturan-aturan yang diterbitkan dijalankan konsisten. Pemerintah juga diminta lebih bersimpati kepada masyarakat yang terpapar korona.
Nasir Djamil tidak lupa menghimbau umat Islam agar mematuhi fatwa MUI dengan menggelar salat Idul Fitri di rumah. Jadi, lanjutnya, cara beragama umat Islam selama pandemi mestinya berubah dari ekstrinsik ke perilaku intrinsik.
Apa yang dipaparkan Andy Budiman, Firliana Purwanti dan Nasir Djamil di atas menjawab pertanyaan-pertanyaan Ilham Khoiri, editor Budaya Harian Kompas, selaku moderator webinar, seputar respon partai-partai politik terhadap ketegangan antara agama dan ilmu pengetahuan (medis) dan masa depan politik seperti apa yang hendak mereka tempuh pascapandemi.
Ilham memberi latar, betapa selama pandemi Covid-19, terjadi politisasi agama dan pengagamaan (proses-proses) politik. Covid-19 juga menghadapkan secara keras antara agama dengan sains, yang di dalamnya juga tercampur komponen-komponen politik.
Ilham menyebut, misalnya, Covid-19 membuat semua pihak melihat data-data sains kesehatan dijadikan dasar pertimbangan bagi pemerintah untuk memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pada satu sisi, namun, narasi-narasi dari kalangan umat beragama, seperti, bahwa ajal itu ada di tangan Tuhan juga tidak kalah gencar, di sisi lainnya.
Ikut menanggapi pertanyaan Ilham, koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid berbagi kecemasannya perihal masyarakat agama yang mengalami kegagapan menghadapi situasi Covid-19. Banyak dari masyarakat agama yang menurut Alissa menyerahkan 100 persen pandemi ini kepada Tuhan.
Karena itu, hanya kelompok agama yang kuat memegang prinsip “menghindarkan kerusakan dan keburukan daripada mengambil dan mendapat manfaat” dalam situasi pandemi yang akan membantu mempercepat Covid-19 berlalu.

Kekhawatiran Alissa bukan tanpa sebab. Putri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid ini berpendapat bahwa Indonesia kategorinya sosio-centric society. Kepentingan kelompok lebih utama daripada kepentingan individu. Maka, pemimpin-pemimpin sosial lebih tinggi pegaruhnya. Sayangnya, kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi melupakan mereka.
“Pemerintah harus melibatkan pemimpin sosial dalam upaya mengatasi Covid-19,” saran Alissa yang juga menjadi salah seorang dinamisator gerakan moral tokoh-tokoh agama dan bangsa yang beberapa kali menyambangi Presiden Jokowi di Istana Merdeka.
Ia mengkritik partai-partai politik yang di masa pandemi justru show off dan mengejar kepentingannya sendiri. Ia mencontohkan parlemen yang ‘kekeh’ membahas beberapa undang-undang yang banyak mendapatkan penentangan dari publik. Ulah ini justru mempertebal distrust masyarakat terhadap parlemen.
“Saat pandemi, DPR menyalip di tikungan,” sesalnya.
Melihat inkonsistensi pemerintah dalam menangani Covid-19, ketidakpercayaan publik terhadap parlemen dan kecenderungan cara bergama masyarakat Indonesia yang semakin konservatif, intoleran, Alissa Wahid memprediksi politik agama pascapandemi lebih parah dari sekarang.[]
Penulis: Thowik dan Yuni Pulungan