Selasa, Juli 1, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Etnis

Kebebasan Pers dan Informasi Senjata Ampuh Lawan Rasisme

by Redaksi
11/06/2020
in Etnis
Reading Time: 3min read
Sumber: medium.com
Share on FacebookShare on Twitter
Sumber: medium.com
Sumber: medium.com

[Jakarta, 10 Juni 2020] – Kebebasan pers dan informasi adalah senjata paling ampuh untuk melawan rasisme. Hal itu harus disertai dengan jaminan tidak adanya kriminalisasi dan intimidasi untuk memberi ruang percakapan yang adil untuk siapa saja. Hal itu dikemukakan Nathanael Gratias Sumaktoyo, Postdoctoral Fellow, Center for the Study of Religion and Society University of Notre Dame, AS, dan Tantowi Anwari dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dalam diskusi bertema “Membongkar Akar-Akar Rasisme”, Rabu, (10/6).

“Masalahnya ada di UU ITE. Langkah paling konkrit adalah membuka informasi yang tidak hanya bersumber dari negara. CSO, aktivis harus tetap punya channel. Sayangnya, ini harus kita perjuangkan. Ini sangat esensial. Dan hal ini tidak ada di Papua karena censorship sangat kuat di sana. Kebebasan pers dan kebebasan informasi adalah senjata paling ampuh melawan rasisme,” ujar Nathanael.

Victor Mambor, jurnalis senior Jubi Papua melihat ada impunitas terhadap pelaku rasisme di luar Papua. Ia membandingkan pelaku di Amerika dituntut 40 tahun penjara.

“Rasisme terus berlanjut sampai sekarang. Ini bukan soal rasisme saja tapi politik. Integrasinya bermasalah. Yang terbaru di Surabaya, secara umum, siapa pun kalau disebut monyet pasti marah. Persipura juga korban rasisme,” ungkap Victor dalam webinar yang digelar SEJUK kerja sama dengan Internews.

Ia menyatakan kekecewaannya ketika emosi warga Papua memuncak dari Marauke ke Sorong dan bangkit turun ke jalan malah ditangkap dan dihukum. Yang tujuh orang di Kalimantan dituntut belasan tahun dengan tuduhan makar. Padahal, sambungnya, aksi mereka menolak rasisme. Tidak semua melakukan kekerasan. Ia pun membandingkan kelompok lainnya di Surabaya yang justru melakukan perusakan yang skalanya lebih besar sehingga memicu gelombang aksi anti-rasisme sebagai reaksi.

“Apa orang-orang ini dihukum atau tidak? Orang yang di Surabaya cuma 7 bulan, kita lebih. Padahal kita korban,” paparnya.

Natalia Soebagjo pendiri Yayasan Centre for Chinese Studies melihat diskursus membongkar rasisme terhadap etnis Tionghoa dan Papua menunjukkan kematangan kita dalam berdemokrasi.

“Apakah menulis Papua, mendukung kemanusiaan, berarti mendukung kemerdekaan? Kenapa kita mengkritik Jokowi apa mau menjatuhkan? Ini soal kematangan demokrasi,” katanya.

Selain itu ia juga mengkritik penggunaan kekerasan dan pendekatan keamanan yang tidak akan menyelesaikan masalah dan justru melanggengkan budaya kekerasan. “Masalah tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan dan pendekatan keamanan. Ini bukan penyelesaian yang tepat,” katanya.

Merspon pemberitaan-pemberitaan media di Indonesia, terutama di Jakarta, yang menurut Victor mambor masih rasis, Tantowi Anwari mendorong Dewan Pers untuk membuat panduan meliput isu Papua maupun khusus isu Tionghoa.

Sumber: Indoprogress.com

Sementara ihwal brutalitas aparat penegak hukum, ia mendorong program pemolisian masyarakat. Ia mencontohkan aspirasi damai orang Papua kerap mendapatkan perlakuan-perlakuan represif dari negara. Sementara, aksi kritis terhadap pemerintah oleh lainnya tidak ada masalah. Hal tersebut, baginya, adalah bentuk ketidakadilan yang dicontohkan negara.

“Program semacam pemolisian masyarakat perlu dilakukan, yaitu bagaimana polisi bersikap persuasif. Soal Papua, sudah saatnya tidak lagi bertindak seperti polisi masa lalu yang represif,” tegas pria yang akrab disapa Thowik.

Ia juga mendorong bagaimana pemolisian cyber, mengingat maraknya buzzer, robot menyerang media arus utama ketika memberitakan Papua.

“Divisi cyber di kepolisian juga harus punya perspektif yang lebih maju. Bukan dengan kriminalisasi, tetapi membuka ruang dialog,” katanya menyesalkan maraknya praktik kriminalisasi dan spambot terhadap suara-suara kritis terhadap pemerintah di dunia maya. []

Penulis: Daniel Awigra

Tags: Kebebasan BerekspresiKebebasan PersPapuaRasismeTionghoa
Previous Post

Pandemic and Religion Hit LGBT Communities

Next Post

Ini Anak-anak Muda Perawat Keberagaman yang Lolos Fellowship Liputan SEJUK

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Masyarakat Adat

Membangun Ruang Aman Digital bagi Masyarakat Adat

22/10/2024
Narasi yang beredar di TikTok adalah umat muslim yang menjadi korban tewas.

Tragedi Berdarah Bitung: Maraknya Ujaran Kebencian di TikTok Memperluas Potensi Konflik

29/11/2023
Merawat Keberagaman Manuskrip Nusantara, Menjaga Keutuhan Bangsa

Merawat Keberagaman Manuskrip Nusantara, Menjaga Keutuhan Bangsa

08/07/2023
Suarakan Kelompok Rentan Adalah Tanggung Jawab Media

Undangan Workshop & Story Grant Jurnalisme Keberagaman: Media sebagai Ruang Aman Kelompok Marginal di Jawa Tengah

29/04/2022
Next Post
Undangan untuk Pewarta Muda: Jurnalisme Keberagaman, Ruang Milenial Merayakan Kebinekaan Indonesia

Ini Anak-anak Muda Perawat Keberagaman yang Lolos Fellowship Liputan SEJUK

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In