[Jakarta, 10 Juni 2020] – Kebebasan pers dan informasi adalah senjata paling ampuh untuk melawan rasisme. Hal itu harus disertai dengan jaminan tidak adanya kriminalisasi dan intimidasi untuk memberi ruang percakapan yang adil untuk siapa saja. Hal itu dikemukakan Nathanael Gratias Sumaktoyo, Postdoctoral Fellow, Center for the Study of Religion and Society University of Notre Dame, AS, dan Tantowi Anwari dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dalam diskusi bertema “Membongkar Akar-Akar Rasisme”, Rabu, (10/6).
“Masalahnya ada di UU ITE. Langkah paling konkrit adalah membuka informasi yang tidak hanya bersumber dari negara. CSO, aktivis harus tetap punya channel. Sayangnya, ini harus kita perjuangkan. Ini sangat esensial. Dan hal ini tidak ada di Papua karena censorship sangat kuat di sana. Kebebasan pers dan kebebasan informasi adalah senjata paling ampuh melawan rasisme,” ujar Nathanael.
Victor Mambor, jurnalis senior Jubi Papua melihat ada impunitas terhadap pelaku rasisme di luar Papua. Ia membandingkan pelaku di Amerika dituntut 40 tahun penjara.
“Rasisme terus berlanjut sampai sekarang. Ini bukan soal rasisme saja tapi politik. Integrasinya bermasalah. Yang terbaru di Surabaya, secara umum, siapa pun kalau disebut monyet pasti marah. Persipura juga korban rasisme,” ungkap Victor dalam webinar yang digelar SEJUK kerja sama dengan Internews.
Ia menyatakan kekecewaannya ketika emosi warga Papua memuncak dari Marauke ke Sorong dan bangkit turun ke jalan malah ditangkap dan dihukum. Yang tujuh orang di Kalimantan dituntut belasan tahun dengan tuduhan makar. Padahal, sambungnya, aksi mereka menolak rasisme. Tidak semua melakukan kekerasan. Ia pun membandingkan kelompok lainnya di Surabaya yang justru melakukan perusakan yang skalanya lebih besar sehingga memicu gelombang aksi anti-rasisme sebagai reaksi.
“Apa orang-orang ini dihukum atau tidak? Orang yang di Surabaya cuma 7 bulan, kita lebih. Padahal kita korban,” paparnya.
Natalia Soebagjo pendiri Yayasan Centre for Chinese Studies melihat diskursus membongkar rasisme terhadap etnis Tionghoa dan Papua menunjukkan kematangan kita dalam berdemokrasi.
“Apakah menulis Papua, mendukung kemanusiaan, berarti mendukung kemerdekaan? Kenapa kita mengkritik Jokowi apa mau menjatuhkan? Ini soal kematangan demokrasi,” katanya.
Selain itu ia juga mengkritik penggunaan kekerasan dan pendekatan keamanan yang tidak akan menyelesaikan masalah dan justru melanggengkan budaya kekerasan. “Masalah tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan dan pendekatan keamanan. Ini bukan penyelesaian yang tepat,” katanya.
Merspon pemberitaan-pemberitaan media di Indonesia, terutama di Jakarta, yang menurut Victor mambor masih rasis, Tantowi Anwari mendorong Dewan Pers untuk membuat panduan meliput isu Papua maupun khusus isu Tionghoa.
Sementara ihwal brutalitas aparat penegak hukum, ia mendorong program pemolisian masyarakat. Ia mencontohkan aspirasi damai orang Papua kerap mendapatkan perlakuan-perlakuan represif dari negara. Sementara, aksi kritis terhadap pemerintah oleh lainnya tidak ada masalah. Hal tersebut, baginya, adalah bentuk ketidakadilan yang dicontohkan negara.
“Program semacam pemolisian masyarakat perlu dilakukan, yaitu bagaimana polisi bersikap persuasif. Soal Papua, sudah saatnya tidak lagi bertindak seperti polisi masa lalu yang represif,” tegas pria yang akrab disapa Thowik.
Ia juga mendorong bagaimana pemolisian cyber, mengingat maraknya buzzer, robot menyerang media arus utama ketika memberitakan Papua.
“Divisi cyber di kepolisian juga harus punya perspektif yang lebih maju. Bukan dengan kriminalisasi, tetapi membuka ruang dialog,” katanya menyesalkan maraknya praktik kriminalisasi dan spambot terhadap suara-suara kritis terhadap pemerintah di dunia maya. []
Penulis: Daniel Awigra