Jumat, Juli 4, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Televisi dan Optimisme Kebebasan Beragama

by Redaksi
02/09/2013
in Uncategorized
Reading Time: 8min read
Televisi dan Optimisme Kebebasan Beragama
Share on FacebookShare on Twitter

“Harapan besar kami, media mengambil sikap dan peran yang sama seperti ketika semua media memihak KPK sebagai korban kriminalisasi dan bersama-sama memusuhi polisi pada kasus Cicak dan Buaya. Media mestinya memihak kami yang selalu menjadi korban maupun objek kriminalisasi dan menentang para pelaku yang mengobarkan kebencian dan menyerang Ahmadiyah.” (Deden Sujana)

DSC_0037Memberitakan isu keberagaman menjadi tantangan tersendiri buat para jurnalis. Fakta-fakta diskriminasi maupun intoleransi dan kekerasan atas nama agama yang meningkat di tengah masyarakat Indonesia membutuhkan kepekaan dan keterampilan bagi jurnalis untuk meliputnya. Tidak saja disebabkan tuntutan kecepatan yang kerap mengabaikan liputan yang lebih reflektif dan mendalam, para jurnalis juga harus menghadapi tekanan editor atau produser dan kepentingan media atau owner-nya yang lebih banyak mengedepankan sisi bisnis, bahkan ketika bertugas membuat berita terkait konflik-konflik agama atau keyakinan. Karena itu pula, seorang jurnalis benar-benar diuji dalam merawat idealisme dan independensinya.

Dilema tersebut menyeruak dan menjadi perbincangan serius dari para peserta workshop jurnalis yang dihelat Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) di Permata Hotel, Bogor, Sabtu – Minggu, 31 Agustus sampai 1 September 2013. Workshop jurnalis SEJUK ini tampak berbeda dari yang sering mereka adakan sebelumnya. Sebab, workshop-workshop jurnalis yang diadakan SEJUK biasanya melibatkan semua media massa (cetak, online, radio, dan televisi), sementara kali ini 20 pesertanya semua adalah jurnalis televisi. Kegiatan yang bertajuk “Televisi dan Peliputan Keberagaman” ini menjadi kolaborasi yang sangat baik antara SEJUK dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) karena para peserta, yang tidak hanya dari Jakarta tetapi juga datang dari wilayah lainnya seperti Banten, Jawa Barat, bahkan Surabaya dan Padang, benar-benar memanfaatkannya menjadi ruang refleksi bersama merespon kompleksitas televisi dan jurnalisnya dalam memberitakan isu keberagaman.

Mereka dari 14 lembaga penyiaran nasional dan lokal, baik yang bertugas di Jakarta maupun sebagai kontributor daerah. Mereka adalah jurnalis TVRI, Metro TV, SCTV, Indosiar, Global TV, ANTV, Trans 7, Trans TV, TV One, Kompas TV, Berita Satu TV, NET TV, Radar TV (Banten), dan Padang TV. Problem-problem konseptual ataupun yang lebih teknis dari televisi yang dalam beberapa tahun terakhir mulai memberikan perhatian terhadap isu keberagaman dibahas secara terbuka. Mereka menyadari betul, sudah menjadi pengetahuan banyak orang bahwa peran sekaligus dampak dari media yang mempunyai keunggulan audio-visual ini besar sekali pengaruhnya bagi publik, sehingga besar pula tuntutan terhadap televisi agar mewakili atau menyuarakan kepentingan dan hak-hak masyarakat. Dengan para peserta yang terdiri dari jurnalis lapangan dan beberapa di antaranya editor atau produser, kegiatan ini tidak sekadar mendaftar dan memetakan persoalan-persoalan, namun juga berusaha menggali, mengurai, dan mencari jalan keluar secara bersama-sama.

Anneke (SCTV) dan Cinta (Indosiar) adalah di antara mereka yang mengemukakan perihal tantangan para jurnalis yang tidak mudah dalam memberitakan isu keberagaman secara ideal karena kuatnya tekanan editor. Situasi yang sama juga digambarkan Masud, salah satu perwakilan IJTI Banten yang merupakan kontributor Indosiar. Namun begitu, ia merasa bersukur dapat bertemu dengan teman-teman seprofesi untuk merefleksikan kerja-kerja jurnalistik untuk kemudian menatap ke depan sehingga produk pemberitaan-pemberitaan televisi lebih baik dan bermanfaat untuk publik, terutama dalam isu keberagaman. Sebab, “Kegiatan ini menjadi ruang introspeksi bersama karena sebenarnya banyak wartawan TV yang miskin pengetahuan dalam isu ini,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Abdul Syukur, Koordinator Liputan ANTV, yang menjelaskan pentingnya jurnalis mempunyai pemahaman memadai terkait isu-isu perbedaan agama dan keyakinan dengan terlebih dahulu menghimpun sebanyak mungkin informasi, sehingga liputan keberagaman tidak malah menyudutkan kalangan agama atau keyakinan tertentu, terlebih lagi para korban. Sebab, tidak banyak jurnalis mempunyai latar belakang akademik yang mengambil studi ilmu perbandingan atau perbedaan agama dan keyakinan. Maka dari itu, jika sampai terjadi pemberitaan yang mendiskreditkan kelompok agama atau keyakinan tertentu, “media harus siap memberi ruang bagi korban sebagai hak jawab atas peliputan yang dianggap merugikan kelompok tertentu,” Syukur menambahkan.

Bahkan, Darussalam (kontributor Global TV) dari IJTI Banten, ikut memprovokasi, “Haruskah dalam memberitakan konflik atau kekerasan atas nama agama seorang jurnalis harus jadi aktivis? Perlukah wartawan yang meliput keberagaman keluar dari mainstream, tidak harus netral dan patuh pada Kode Etik Jurnalistik?”

Workshop dua hari ini difasilitasi Muchlis Ainur Rofik, Wakil Ketua Umum IJTI, dan Diani Citra, Ph.D. Candidate di Columbia University Graduate School of Journalism.

***

Dalam proses workshop dihadirkan Yosep Adi Prasetyo, lebih dikenal Stanley, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, yang memberikan input Media & HAM. Ia yang sebelumnya pernah menjabat Komisioner Komnas HAM mengingatkan para peserta bahwa, “Beragama dan berkeyakinan adalah hak non-derogable, yakni elemen HAM dari setiap warga negara yang tidak boleh dikurangi atau ditunda dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.” Oleh sebab itu, Stanley menegaskan dengan mengacu pada Kode Etik Jurnalistik, jurnalis dituntut untuk membela kelompok voiceless. Baginya, “Jurnalis harus berupaya menyuarakan kelompok-kelompok yang tidak bisa berbicara dan mereka yang terbatas aksesnya pada media.”

Sementara itu, Rumadi, Koordinator Program The Wahid Institute, mempertanyakan kembali sejauhmana netralitas kerja-kerja jurnalistik dianggap cukup dalam peliputan konflik atau kasus-kasus kekerasan atas nama agama. Merujuk pada hasil temuan Pantau perihal minimnya wawasan pluralisme di kalangan jurnalis dengan menimbang sensitivitas isu keberagaman yang belakangan ini realitasnya masih belum terlihat tanda-tanda penurunan kasus-kasus diskriminasi, intoleransi, dan aksi kekerasan sehingga berakibat pada tercabutnya hak-hak dasar warga untuk beragama, berkeyakinan serta menjalankannya secara bebas, Rumadi memberikan dorongan bagi jurnalis televisi untuk hati-hati dalam memberitakan persoalan keberagaman.

Selain itu, Rumadi mengajak para jurnalis, “Ketimbang membakar konflik agama, dalam liputan-liputannya televisi hendaknya menumbuhkan optimisme di tengah kritik masyarakat internasional yang melihat Islam Indonesia konservatif dan intoleran, misalnya dengan memberikan ruang yang lebih banyak terhadap tokoh-tokoh yang selama ini menyuarakan pluralisme.” Optimisme ini disampaikan lantaran keyakinan Rumadi, “Pada dasarnya masyarakat Indonesia toleran. Tetapi, mereka tidak punya daya tahan yang cukup untuk tidak bersikap dan bertindak intoleran.” Sehingga, ia rekomendasikan kepada para jurnalis TV “…menayangkan liputan-liputan yang mampu menyebarkan daya immune bagi masyarakat agar tidak mudah terjangkit virus intoleransi.”

Upaya bersama untuk menghidupkan optimisme ini ia sampaikan bukan tanpa alasan. Rumadi menyaksikan adanya perubahan yang positif di mana judul berita, running text ataupun tagging di televisi dalam beberapa tahun terakhir sudah tidak lagi menyertakan kata atau label “sesat” terhadap aliran-aliran tertentu yang dianggap berbeda dari agama atau keyakinan mainstream. Dalam hal ini, “SEJUK berada pada jalur yang benar,” papar Rumadi, terkait kontribusi SEJUK yang ia pandang membawa pengaruh positif pada televisi melalui advokasi-advokasi yang SEJUK tempuh bekerjasama dengan jurnalis dan jajaran redaksi atau editor dan produser agar dalam pemberitaan media massa tidak lagi memberikan cap “sesat” terhadap kelompok atau aliran keagamaan yang berbeda. (Rumadi merupakan salah satu narasumber yang beberapa kali dilibatkan SEJUK dalam ruang-ruang refleksi keberagaman untuk jurnalis melalui penyelenggaraan workshop ataupun in-house workshop di jajaran redaksi atau editor [red.])

Ade Armando, pakar media, yang menjadi narasumber berikutnya semakin menguatkan pentingnya berita-berita keberagaman supaya lebih banyak diangkat lagi, meskipun isu ini teramat sensitif. Karena itu, “cara” pemberitaan terhadap isu ini, buat Ade yang juga pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia, menjadi hal yang krusial. Televisi harus menyampaikan kepada publik maraknya konflik antaragama atau keyakinan dengan pemberitaan-pemberitaan yang bertujuan mendamaikan, bukan mengabaikannya atau malah ikut memanasinya, sehingga melanggengkan konflik. Dibutuhkan banyak pemberitaan keberagaman dengan cara-cara yang tepat dan bijak agar konflik tidak berlanjut. Misalnya, Ade memberi alternatif, “Dengan memilih narasumber-narasumber yang memahami hukum dan HAM, bahwa negara tidak boleh merampas hak-hak warganya dan masyarakat harus menghormati segala bentuk perbedaan.”

Karena itu, berita keberagaman hendaknya memberikan pemihakan pada korban atau kelompok minoritas. Dalam konflik agama atau keyakinan yang asimetris, televisi harus memberikan ruang yang lebih terhadap mereka yang menjadi korban. “Menurut Bill Kovach, dalam jurnalisme yang tertinggi adalah kebenaran, bukan netralitas,” demikian Ade berargumen. “Untuk itulah Kode Etik Jurnalistik yang kita punya perlu direvisi.”

Narasumber di hari kedua (Minggu, 1/8), Yunianti Chuzaifah, mengharapkan agar media massa secara serius menghentikan pemberitaan-pemberitaan yang diskriminatif terhadap perempuan. Tayangan-tayangan televisi juga jangan terus-menerus mengukuhkan stereotipi bahkan melakukan viktimisasi terhadap perempuan. Untuk itu, penting sekali penguatan perspektif gender bagi insan media. “Inilah yang Komnas Perempuan tengah lakukan dengan sering mengundang teman-teman media untuk berdiskusi kasus-kasus diskriminasi yang menimpa perempuan sambil membahas argumentasi gendernya.” Sebab, lanjutnya, “Sudah saatnya mengembangkan jurnalisme berperspektif gender, di mana perempuan didengar, direpresentasi atau dimunculkan; bukan hanya sebagai korban tetapi sebagai aktor penting, narasumber atau expert dari perempuan.”

Di atas seluruh pembahasan dan perdebatan dalam workshop ini, Imam Wahyudi, Anggota Dewan Pers, yang menjadi narasumber penutup menyatakan keabsahan bagi para jurnalis untuk memajukan peliputan tentang keberagaman dengan memberikan dasar hukumnya. Pasal 6 huruf b UU No. 40/199 tentang Pers: Pers nasional berperan menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan. Begitupun Pasal 2 UU No. 32/2002 tentang Penyiaran: Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.

Imam Wahyudi yang juga Anggota Dewan Pertimbangan IJTI menguraikan bahwa Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan  Standar Program Siaran (P3SPS) melandasi jurnalis TV agar dalam meliput menjunjung prinsip-prinsip keberagaman. Ia pun menggarisbawahi, “Peran ideal jurnalis TV dalam isu keberagaman adalah mengedukasi publik tentang nilai-nilai dan cara-cara menjaga persatuan dalam keberagaman; dan melakukan kontrol terhadap gagasan, kebijakan dan tindakan-tindakan yang merusak persatuan dalam keberagaman.”

****

DSC_0105Workshop kerjasama SEJUK dengan IJTI ini menghadirkan Pendeta Palti Panjaitan, pimpinan HKBP Filadelfia Bekasi, dan Deden Sujana, korban penyerangan ribuan massa terhadap penganut Ahmadiyah di Cikeusik 2011. Selain jemaat dan gerejanya menghadapi diskriminasi dan restriksi dari pemerintah daerah dan harus menanggung berbagai intoleransi dan aksi kekerasan, Pendeta Palti juga sedang mendapat ancaman kriminalisasi, yakni tuduhan Tindak Pidana Ringan. Sementara, Deden Sujana setelah menjadi korban penyerangan di Cikeusik, ia juga dikriminalisasi dengan vonis 6 bulan penjara.

Di depan para jurnalis TV mereka berdua mewakili komunitasnya masing-masing sekaligus juga sebagai warga negara yang menanggung diskriminasi dan kekerasan atas nama agama menyampaikan perkembangan informasi sekaligus klarifikasi kasus atau problem yang mereka alami. Setelah menyampaikan testimoni, mereka berdua juga memberikan catatan terhadap pemberitaan-pemberitaan televisi yang masih menyudutkan, bahkan beberapa ikut mengkriminalisasi.

Karena itu, Sabtu sore, Pendeta Palti berharap pada dukungan media televisi agar tidak terus-menerus menayangkan konflik atau ribut-ribut dan sisi kontroversinya saja yang tidak benar, seperti isu sengketa tanah gereja dan pemalsuan tanda tangan. Dalam pemberitaan, ia lebih menginginkan “memberikan pemahaman yang benar kepada publik bahwa pendirian gereja HKBP Filadelfia dikarenakan banyak umatnya di wilayah Jejalen, Bekasi, dan bertujuan sebagai sarana mengajarkan kepada mereka, terutama generasi muda, agar beriman, taat beribadah, bersikap, dan berperilaku santun, sehingga umat Kristen Batak menjadi warga negara yang baik.”

Deden pada Minggu pagi lebih jauh menaruh harapannya supaya pemberitaan-pemberitaan TV memberikan toleransi terhadap eksistensi jemaat Ahmadiyah yang hak-haknya terus dikucilkan. “Apakah hanya karena perbedaan tafsir, lantas kami yang juga sama-sama beragama Islam harus dirampas hak-hak untuk beribadah dan hidup secara aman?” tanya Deden.

Dalam kesempatan itu, dengan sangat ia menginginkan liputan-liputan televisi bisa secara baik membedakan antara pihak yang menjadi korban dan pelaku diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Deden pun melanjutkan, “Harapan besar kami, media mengambil sikap dan peran yang sama seperti ketika semua media memihak KPK sebagai korban kriminalisasi dan bersama-sama memusuhi polisi pada kasus Cicak dan Buaya. Media mestinya memihak kami yang selalu menjadi korban maupun objek kriminalisasi dan menentang para pelaku yang mengobarkan kebencian dan menyerang Ahmadiyah.”

***

Pada sesi Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut yang difasilitasi Daniel Awigra (SEJUK), didapatkan peta atau gambaran dan harapan para peserta selama mengikuti workshop dan pandangannya perihal televisi dan liputan keberagaman. mereka secara umum merasa cukup puas dengan proses workshop, baik dari segi materi-materi yang konseptual maupun teknis. Demikianpun keterlibatan korban (HKBP Filadelfia dan Deden Sujana, Ahmadiyah).

“Penting banget,” kata Cinta dari Indosiar mengutarakan kesannya pasca-workshop. Dia merasa mendapatkan sesuatu dalam workshop ini. Menurutnya, jurnalis yang selama ini idealis, sebenarnya ingin membantu keterpurukan kaum marginal. Tetapi terbentur sistem.

“Materi yang disampaikan cukup ngebuka mata kita tentang adanya perpecahan di negeri ini yang bisa semakin besar jika semuanya hanya pasrah,” lanjut Cinta.

Namun begitu, bagi sebagian besar peserta, keterbatasan waktu membuat beberapa isu dan konsepnya memerlukan forum lanjutan agar ada ruang untuk eksplorasi lebih mendalam. Beberapa di antara mereka malah memberi masukan agar workshop seperti ini lebih banyak lagi melibatkan decision makers di televisi. Sebab, kalangan editor atau decision makers membutuhkan perhatian tersendiri agar televisi bisa benar-benar menyokong keberagaman.

Para peserta juga mengharapkan melalui ruang-ruang workshop jurnalis televisi seperti inilah terbangun jaringan yang luas di antara jurnalis, masyarakat sipil, lembaga-lembaga seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, IJTI, dan sebagainya untuk bekerjasama dan saling mempromosikan keberagaman hingga ke daerah. Terutama jurnalis di daerah, hal-hal semacam itu sangat dibutuhkan. Dan karena itu pula, untuk mendukung optimisme di kalangan jurnalis TV menghormati dan mempromosikan semangat keberagaman, komunikasi yang intens harus dikembangkan bersama-sama. Maka pada kesempatan itu juga terbentuk ruang bersama melalui jejaring sosial blackberry messenger yang dinamai “JurnoTVforDiversity”. Grup tersebut  ditujukan untuk berbagai informasi seputar berita keberagaman. [Thowik SEJUK]

Previous Post

Kasus Sampang: pemerintah berpotensi lakukan kejahatan genosida

Next Post

GKI Yasmin dan HKBP FIladelfia Terus Beribadah di Depan Istana Hingga Hukum Ditegakkan

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
GKI Yasmin dan HKBP FIladelfia Terus Beribadah di Depan Istana Hingga Hukum Ditegakkan

GKI Yasmin dan HKBP FIladelfia Terus Beribadah di Depan Istana Hingga Hukum Ditegakkan

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hotspace Privat Event Jakarta, Bukan Tindak Pidana!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tersingkir dari Keluarga, Tempat Kerja, hingga Pemakamannya: Nasib Transpuan di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In