Rabu, Juli 2, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Menyigi Rumah Ibadah Kaum Minoritas di Sumatera Barat (Part I)

by Redaksi
26/01/2014
in Uncategorized
Reading Time: 3min read
Renovasi Gereja GPIB Ditolak Ormas Anti-Toleransi
Share on FacebookShare on Twitter

Fellowship Peliputan Keberagaman, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK): Andri Mardiansyah, Padangtoday.com

 

Rumah ibadah merupakan sebuah tempat peribadatan yang digunakan oleh umat beragama untuk menjalankan aktifitas ibadah menurut ajaran agama dan kepercayaan masing-masing. Agama di Indonesia sendiri memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam ideologi  Indonesia, Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” agama  berpengaruh secara kolektif terhadap perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tak hanya itu, dalam UUD  1945 juga tertuang kalimat bahwasanya tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaan, dan menjamin semua akan kebebasan untuk menyembah menurut kepercayaan masing-masing. Dalam konteks beragama atau menjalankan ritual keagamaan, hal yang sangat pokok adalah rumah ibadah, tempat  semua umat agama berbeda seperti Islam, Prostestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu melakukan ritual keagaamaannya masing-masing. Namun  bagaimana jika jumlah rumah ibadah tak sebanding dengan jumlah jemaat yang ada? Itulah kondisi yang dialami kaum  minoritas yang ada di Sumatera Barat. Rata-rata kaum minoritas  mengeluh tentang rumah ibadah. Jumlah yang sedikit tak mampu menampung seluruh jemaat yang tersebar di beberapa  wilayah yang ada di Sumatera Barat. Mengapa hal demikian terjadi? Sumatera Barat atau yang biasa juga disebut Minangkabau merupakan provinsi dimana kelompok masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai adat istiadat dan tatanan budaya serta penganut matrilineal yang cukup besar di dunia, berpedoman pada filosofi Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah (selanjutnya disingkat ABS-SBK) dengan definisi adat yang didasarkan atau ditopang oleh syariat agama Islam yang mana syariat tersebut juga berdasarkan pada Al-Quran dan Hadist. Lahirnya ABS-SBK ini berkat hasil kesepakatan antara alim ulama, ninik mamak dan cadiak pandai di Bukit Marapalam dipenghujung Perang Paderi. Ini juga sekaligus merupakan ungkapan kehidupan orang Minangkabau yang mengandung makna bahwa adat yang berlaku di Minangkabau adalah adat Islamiyah (adat yang diatur menurut norma-norma dan aturan sistem Islam). Hal itu juga mengindikasikan bahwasanya setiap orang Minangkabau beragama Islam, jika tidak beragama Islam, maka orang tersebut diklaim bukanlah orang Minang. Di samping itu perihal lahan pertanahan, di Sumatera Barat juga menganut sistem tanah “ulayat” dengan pengertian tanah yang ada merupakan milik komunal seluruh suku Minangkabau. Tanah ulayat adalah pusaka yang sudah diwariskan turun temurun, yang haknya berada pada perempuan, namun sebagai pemegang hak atas tanah ulayat adalah mamak kepala waris. Penguasaan dan pengelolaan tanah ulayat dimaksudkan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan serta keberadaan masyarakat (eksistensi kultural-red), menciptakan tata kehidupan, termasuk produksi dan distribusi sumber daya agraria yang berkeadilan sosial. Selain itu, tanah ulayat juga mengandung unsur religi, kesejarahan dan bahkan unsur magis serta bertujuan memakmurkan rakyat di dalamnya. Tanah ulayat adalah tanah milik komunal yang tidak boleh dan tidak dapat didaftarkan atas nama satu atau beberapa pihak saja, yang pendistribusian penggunaannya harus tunduk kepada pengaturan menurut hukum adat yang berlaku. Di suku Minangkabau, tanah ulayat terbagi menjadi tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat kaum. Ketiga jenis tanah ini disebut sebagai ”tanah pusaka tinggi”. Di luar itu dikenal ”tanah pusako rendah”, yaitu tanah-tanah yang diperoleh seseorang dari pemberian, hibah, atau karena membuka lahan sendiri (menaruko). Tanah ulayat nagari adalah tanah-tanah dimana terdapat di dalamnya hak penduduk satu kesatuan ”nagari”, yang pengelolaannya atau pendistribusiannya dikuasakan kepada penghulu nagari yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN). Nah menelisik dari tatanan adat istiadat, budaya yang berkembang di Sumatera Barat serta sistem tanah ulayat yang ada sejak dahulu kala, sudah barang tentu sedikit menghambat kaum minoritas yang ada untuk berkembang. Khususnya, pembangunan rumah ibadah yang saat ini terbilang sangat sedikit dan tak mampu menampung secara keseluruhan jemaat yang ada. Walau pemerintah Indonesia melalui undang-undang yang ada menjamin kebebesan beragama serta mengayomi dan memberikan fasilitas bagi pemeluk agama, sepertinya hal itu tak berlaku di Sumatera Barat. Walau rasa toleransi antar umat beragama di Sumatera Barat sangat kuat, namun tidak untuk hal rumah ibadah. Kaum minoritas selalu terkendala dengan aturan yang berlaku. Tak hanya aturan adat istiadat dan budaya saja namun juga terkendala dengan Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Mentri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat khususnya pada BAB IV Pasal 14 Ayat 2 Poin A dan B, yang menjelaskan bahwasanya bagi umat yang ingin mendirikan bangunan rumah ibadah haruslah memiliki syarat nama dan kartu penduduk paling sedikit sembilan puluh dan dukungan dari masyarakat setempat sebanyak enam puluh orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Lantas, bagaimana rumah ibadat kaum minoritas dapat dibangun sesuai dengan kebutuhan jika terbentur oleh tatanan adat istiadat yang begitu kental? Bagaimana pemerintah memberikan fasilitas rumah peribadatan jika tersandung dengan lahan dan dukungan dari masyarakat pribumi yang notabene adalah kaum mayoritas? Jawabannya hanya satu, pemerintah negeri ini harus bersikap adil, harus memiliki kebijakan sesuai dengan amanah Undang-Undang dan  ideologi bangsa. Melihat fenomena tentang susahnya membangun rumah ibadah bagi kaum minoritas di Sumatera Barat, di sini penulis mencoba menggali informasi lebih, sejauh apa kesulitan yang dihadapi ketika ingin membangun rumah peribadatan di bumi Minangkabau ini. Wawancara khusus dengan Pendeta Sampur Manullang, HKBP Padang Resort Sumbar, penulis banyak menangkap informasi dari sang pendeta tentang keluhan serta kendala perihal pembangunan rumah ibadah bagi umat gereja HKBP.(*) Sumber: http://padangtoday.com/today/detail/53836/Menyigi_Rumah_Ibadah_Kaum_Minoritas_di_Sumatera_Barat__PART_1_ Berita ini satu kesatuan dengan link: https://sejuk.org/2014/01/27/menyigi-rumah-ibadah-kaum-minoritas-di-sumatera-barat-part-ii/ https://sejuk.org/2014/01/27/menyigi-rumah-ibadah-kaum-minoritas-di-sumatera-barat-part-iii/

Previous Post

Tegakkan Hukum terhadap Kasus-kasus Kekerasan Seksual!

Next Post

UNDANGAN WORKSHOP JURNALISME KEBERAGAMAN DI PONTIANAK

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Fellowship Liputan ‘Keberagaman dan Hak-hak Minoritas’

UNDANGAN WORKSHOP JURNALISME KEBERAGAMAN DI PONTIANAK

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In