Oleh Ade Armando*
Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat 26 Juni 2015 untuk melegalkan pernikahan sesama jenis menimbulkan kontroversi. Ini merupakan langkah penting dalam hal pengakuan terhadap LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender). Sebelumnya pernikahan LGBT sudah diiizinkan di sejumlah negara bagian di sana. Namun dengan dikeluarkannya keputusan MA ini, pengakuan hukum resmi terhadap LGBT berlaku di seluruh AS.
Di Indonesia, isu ini juga berdampak. Sejumlah kelompok masyarakat yang selama ini memang merupakan bagian dari komunitas LGBT ataupun kalangan yang menganggap LGBT sebagai pilihan yang harus dihormati merayakan keputusan itu. Sebaliknya, kelompok-kelompok agama mengutuk keputusan itu sebagai bukti semakin tergerusnya nilai-nilai keagamaan yang luhur.
Apapun sikap kita, dalam dunia yang mengalami globalisasi isu LGBT memang secara tak terhindarkan akan mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia. Karena itu menjadi penting bagi umat Islam untuk membicarakan kembali cara pandang terhadap LGBT, termasuk bilamana perlu meninjau kembali sikap yang sudah tertanam selama ini.
Selama ini, ada persepsi kuat bahwa Islam menolak sama sekali LGBT. Karena itu, kendatipun LGBT ada di Indonesia, kalangan tersebut tetap dipandang dengan sebelah mata, dijauhi atau bahkan dibenci oleh para pemeluk taat Islam. Ada anggapan kuat bahwa LGBT adalah penyakit masyarakat, kejahatan atau sesuatu yang dikutuk oleh Tuhan.
Namun demikian, bila kita memahami fenomena LGBT dengan kepala dingin, bisa jadi kita perlu meninjau kembali dan mengubah cara pandang yang secara apriori menghujat LGBT.
Pertanyaannya adakah sesuatu yang kriminal dengan mencintai sesama jenis? Adakah pihak lain yang dirugikan?
Sebagian orang mengatakan bahwa secara alamiah seharusnya cinta itu berlangsung antar pria dan wanita. Tapi siapakah yang menentukan sesuatu itu alamiah atau bukan? Kalau memang Tuhan menentukan yang alamiah adalah cinta antara pria dan wanita, kenapa sekarang banyak sekali orang yang mencintai sesama jenis. Mereka jatuh cinta bukan karena dipaksa atau diancam. Mereka begitu saja jatuh cinta. Dengan kata lain, mereka jatuh cinta secara ‘alamiah’.
Jumlah mereka yang jatuh cinta sesama jenis tidaklah sedikit. Kalau di masa lalu mereka tidak terlihat, itu barangkali karena masih kuatnya kebencian terhadap kehadiran LGBT. Tapi begitu ada suasana psikologis masyarakat yang lebih rileks, mereka berani hadir ke depan. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya ada cukup banyak orang yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis. Pertanyaannya: dari manakah datangnya perasaan tersebut selain bahwa memang Allah menciptakan manusia dengan potensi perasaan itu?
Dengan kata lain, bisa jadi ketertarikan terhadap sesama jenis itu adalah suatu hal yang alamiah dan memang diciptakan Tuhan. Kecenderungan itu memang bukan arus utama, tapi itu tetap alamiah. Pertanyaannya: bila memang secara alamiah perasaan itu ada dalam diri manusia, mengapa harus digugat? Apakah kita tidak seperti menggugat atau menyalahkan Tuhan ketika kita menggugat manusia yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan arus utama?
Mereka yang tidak mencintai sesama jenis memang bisa saja menyatakan seharusnya kaum LGBT menghilangkan potensi perasaan itu dan berusaha keras kembali ke ‘jalur normal’. Namun dalam banyak kasus, kaum Gay memang tidak mencintai lawan jenisnya. Mereka memang tidak merasakan getar cinta atau ketertarikan seksual terhadap lawan jenis. Dan itu ada sejak kecil, bukan sesuatu yang dikondisikan lingkungan. Dengan kata lain, ketertarikan itu memang diberi Tuhan. Alamiah. Kalau Tuhan memang yang memberikan sifat itu, kenapa manusia harus memaksa mengubahnya?
Sebagian orang menyatakan bahwa hubungan percintaan atau seks antar sesama jenis itu menjijikkan. Ini lagi-lagi soal persepsi. Apa yang sebenarnya menjijikkan melihat sesama pria bergandengan tangan atau berpelukan atau berciuman? Ini adalah persoalan ‘mindset’. Karena kita dibesarkan dengan budaya yang mengkonstruksi pikiran kita bahwa pria seharusnya bercinta dengan perempuan maka bayangan pria bercinta dengan pria menjadi tidak lazim, aneh dan bahkan menjijikkan.
Konstruksi negatif semacam ini bisa juga terlihat dalam hubungan antar ras atau kelas. Mereka yang sejak kecil dibesarkan dengan persepsi bahwa masyarakat yang sempurna adalah kaum kulit putih akan melihat kaum kulit berwarna sebagai ‘rendah’ dan bahkan ‘menjijikkan’. Mereka yang datang dari budaya yang percaya pada supremasi kelas bangsawan mungkin akan mual melihat orang yang datang dari kelas ningrat menikahi seorang anak petani.
Jadi ini adalah stereotip, mindset yang dikonstruksi dari generasi ke generasi. Namun itu tidak harus bersifat permanen. Begitu kita memandang dunia dengan cara berbeda, segenap perasaan negatif itu bisa saja menghilang.
Sebagian pihak lain menganggap bahwa bila cinta sesama jenis diizinkan, keberlangsungan umat manusia akan terancam karena dari pernikahan sesama jenis tidak akan ada keturunan. Ini argumen yang berlebihan. Bila kita percaya bahwa Allah sebenarnya menciptakan pria dan perempuan sebagai pasangan, dijamin pasangan sesama jenis tidak akan pernah menjadi mayoritas. LGBT akan selamanya menjadi minoritas. Tidak perlu dikuatirkan.
Di sisi lain, sekarang saja banyak pasangan di Barat memilih tidak memiliki anak. Namun adakah tanda-tanda dunia kekurangan penduduk? Tidak. Yang terjadi justru kekhawatiran pertumbuhan penduduk yang dianggap akan membahayakan ekosistem. Jadi, dunia sekarang justru membutuhkan rem pertumbuhan penduduk. Pasangan-pasangan LGBT itu bisa mengadopsi anak-anak yang lahir dari keluarga-keluarga di banyak tempat yang tak memiliki kesejahteraan memadai.
Dan kalau suatu saat nanti – entah kapan — memang ternyata ada tanda-tanda dunia kekurangan penduduk, manusia akan punya cara beradaptasi. Cara termudah adalah rekayasa pembuahan.
Dengan demikian, bisa dikatakan sebenarnya dengan tolok ukur objektif, seharusnya memang tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mendiskriminasi LGBT. Karena itu yang mungkin harus diperhitungkan adalah hukum agama. Dalam hal ini ada anggapan bahwa apapun pembenaran yang bisa diberikan secara objektif, pada akhirnya yang menentukan adalah hukum agama. Dan umumnya pandangan yang dianut adalah, Allah mengharamkan LGBT.
Masalahnya, benarkah Islam memang mengharamkan LGBT?
Ada kajian-kajian yang menunjukkan bahwa persepsi bahwa agama mengutuk LGBT itu salah, berlebihan dan diterima sebagai kebenaran hanya karena sikap generasi terdahulu mengutuknya.
Salah satu ilmuwan Islam terkemuka yang pernah secara kritis mempertanyakan doktrin yang mengharamkan Gay adalah Prof. Dr. Musdah Mulia. Sekitar delapan tahun yang lalu dia pernah mempresentasikan paper yang kontroversial karena dia meminta para pengkaji Islam membaca ulang rujukan hukum Islam yang mengharamkan Gay.
Beberapa poin terpenting yang ketika itu diutarakan Musdah adalah:
Pertama, tidak ada satupun ayat Al Qur’an yang mengharamkan LGBT.
Kedua, ayat-ayat yang selama ini digunakan sebagai rujukan pengharaman LGBT adalah ayat-ayat Al Quran yang bercerita tentang azab Allah terhadap umat Nabi Luth (al-Naml, 27: 54-58; Hud, 11:77-83; al-A’raf, 7: 80-81; al-Syu’ara, 26:160-175). Kaum tersebut digambarkan sebagai kaum yang melakukan pembangkangan dan kedurhakaan, termasuk perilaku seks yang di luar batas dan keji. Memang ada ayat yang mengesankan bahwa salah satu perilaku seks yang dihujat oleh Nabi Luth adalah perilaku seks gay. Namun dalam tafsiran Musdah, sangat mungkin yang sebetulnya dihujat sebagai perbuatan keji tersebut bukan perilaku seks sesama jenis melainkan praktek sodomi (yang diwakili oleh misalnya istilah al-fahisyah dalam al-A’raf, 7:80).
Dengan kata lain, Musdah menduga, yang dilaknat Allah bukanlah LGBT, tapi perilaku seks yang keji dan di luar batas. Salah satu praktek perilaku seks yang masuk dalam kategori ini adalah sodomi. Dengan kata lain, LGBT tidak dikutuk tapi sodomi dikutuk. Dan sodomi dikutuk bila dilakukan baik antar sesama jenis atau dengan lawan jenis.
Ketiga, umat Nabi Luth itu sama sekali tidak identik dengan kaum homoseksual. Dalam ayat-ayat Al Quran tersebut secara jelas diungkapkan bahwa masyarakat tersebut juga melakukan perkawinan pria dan wanita. Dengan kata lain, kutukan terhadap umat Nabi Luth tidaklah identik dengan kutukan terhadap kaum homoseksual.
Pelacakan terjadap kepustakaan lain nampaknya bisa memperkuat argumen Musdah.
Hadis-hadis Nabi Muhammad misalnya mengikuti pola serupa. Berulangkali Nabi dikutip menghujat mereka yang mengikuti gaya hidup umat Nabi Luth. Namun tak sekalipun ia secara tegas menghujat kaum LGBT. Ada satu hadis yang menunjukkan bahwa Nabi pernah memerintahkan hukuman berat terhadap mereka yang melakukan hubungan seks antar sesama pria. Namun juga ada kesan yang diancam hukuman berat itu adalah hubungan antar pria atau perilaku sodominya.
Sebagai contoh ada hadis nabi yang berbunyi: “Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya” . Di hadis lain, Nabi Muhammad berkata: “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth”.
Selain itu ada pula, hadis lain bahwa Nabi Muhammad pernah berkata: “Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita pada duburnya”.
Apa yang terbaca dari hadis-hadis ini membawa kesimpulan serupa dengan argumen Musdah. Allah memang mengutuk kaum Luth, tapi tak berarti Allah mengutuk LGBT. Yang jelas terlarang adalah penetrasi seks melalui dubur.
Ini sejalan pula dengan penjelasan Ensiklopedi Hukum Islam (Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003) yang ditulis para ahli islam di Indonesia (dengan pemimpin redaksi Prof. Dr. Nasrun Haroen, dan pembaca ahli antara lain Prof. KH Ali Yafie dan Prof. Dr. Umar Syihab).
Dalam penjelasan tentang homokseksualitas, dijelaskan bahwa yang terlarang dalam hukum islam adalah pria bersenggama dengan pria dengan cara memasukkan penis ke dalam anus pasangannya. Istilah yang digunakan adalah liwat/sodomi. Perilaku tersebut termasuk dalam tindak pidana berat dan dosa besar. Dalam Ensiklopedi tertulis keterangan: “Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa homoseks dalam bentuk liwat/sodomi hukumnya haram.” (hal. 563).
Karena itu pula, menurut Ensiklopedi tersebut, lesbianisme tidak dipandang sebagai kejahatan berat. Bahkan ada ulama yang menganggap hubungan antar perempuan dalam lesbianisme tidak masuk dalam kategori zina karena sekadar merupakan perbuatan ‘asyi masyuk’ antara seorang perempuan dengan perempuan lainnya.
Apa yang dipaparkan tersebut nampaknya cukup kuat bagi umat Islam untuk meninjau kembali keyakinan bahwa Islam mengharamkan LGBT. Pada dasarnya tidak ada cukup bukti yang menunjukkan Allah mengutuk kaum LGBT. Kalau Al Quran dan hadis dijadikan rujukan, yang jelas diharamkan adalah perilaku seks sodomi.
Sebagian pihak mungkin masih ingin membantah dengan menyatakan bahwa homoseksual dengan sendirinya harus menyertakan perilaku seks sodomi. Untuk itu, perlu diingatkan bahwa untuk mencapai kenikmatan seksual, penetrasi bukanlah satu-satunya cara. Bagi banyak pihak, sodomi itu memang menyakitkan, menjijikkan dan sangat rentan terhadap penyebaran penyakit. Dan bisa jadi karena itu Allah melarangnya.
*Ade Armando adalah Pemimpin Redaksi Madina Online dan Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
Sumber berita: http://www.madinaonline.id/wacana/soal-lgbt-yang-dilarang-islam-homoseksual-atau-sodomi/