Oleh Ade Armando*
Tulisan saya di madinaonline yang mempertanyakan apakah benar Allah mengharamkan LGBT, mengundang banyak reaksi negatif. Kritik dan kecaman yang ditujukan pada tulisan itu hadir di berbagai media sosial. Bahkan media online pun melaporkan perdebatan mengenai isu itu.
Namun yang menarik adalah kesan betapa primitifnya sikap sebagian pemberi komentar yang menunjukkan bahwa sebagian umat Islam di Indonesia tidak memanfaatkan salah satu anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada manusia: akal!
Ada begitu banyak pemberi komentar yang sekadar mencaci maki, bahkan kadang dengan kata kasar yang contoh-contohnya tidak perlulah dikutip di sini. Mereka tidak berpikir. Mereka tidak menggunakan akal. Mereka sekadar mengekspresikan kemarahan karena pandangan yang saya sampaikan dianggap berbeda dengan apa yang diyakini mereka.
Dalam pencarian kebenaran, kontroversi adalah hal biasa. Islam adalah sebuah agama yang tidak pernah tunggal. Untuk satu hal lazim ada banyak interpretasi dalam Islam. Orang yang mengatakan Islam itu satu sebenarnya sedang bersikap tidak jujur terhadap keberagaman penafsiran dalam Islam. Kalau cara shalat saja tidak satu bagaimana pula dengan cara berpolitik atau, dalam kasus yang kita bicarakan, dalam hal menyikapi LGBT.
Dengan demikian apa yang kita yakini sebagai kebenaran saat ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang secara absolut benar. Kita harus senantiasa terbuka pada kemungkinan bahwa keyakinan kita ternyata tidak sama dengan keyakinan orang lain, atau bahkan apa yang kita yakini ternyata bisa dikoreksi.
Kemajuan peradaban ditentukan oleh kesediaan untuk menggunakan pikiran secara terbuka. Saya beri contoh sederhana. Ada masa di mana masyarakat menganggap bahwa pusat alam semesta adalah bumi sampai kemudian datanglah ilmuwan seperti Galileo Galilei yang menyatakan bahwa pusat alam semesta adalah matahari. Yang diam adalah matahari, kata Galileo, sementara bumi bergerak.
Di masanya, Galileo dimaki dan diadili karena pandangannya berbeda dengan keyakinan para pemuka agama. Pikiran Galileo dianggap sesat dan menyesatkan. Dia dikucilkan dan meninggal menderita karena diperintahkan untuk tidak pernah lagi menyebarkan pengetahuan. Untunglah murid-muridnya menyelamatkan pikiran Galileo untuk kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tempat lain. Belakangan kita tahu bahwa yang benar adalah Galileo. Kalau saja tidak ada murid-murid yang bersedia menggunakan akal pikiran untuk menerima pandangan Galileo, sampai sekarang dunia mungkin masih hidup dalam keterbelakangan.
Peradaban ditentukan oleh kesediaan orang untuk menggunakan akal. Salah satu ciri orang yang menggunakan akal adalah ya berpikir. Bila ada sebuah gagasan baru yang mungkin Anda tidak setujui, jangan buru-buru marah. Dengarkan dulu, dalami dulu dan gunakan otak Anda untuk mencerna gagasan itu. Jangan karena Anda tidak setuju dengan gagasan orang lain, Anda menuduh dia macam-macam, misalnya menuduh dia agen zionisme internasional untuk menghancurkan Islam. Anda bisa gunakan beragam kepustakaan yang tersedia secara offline maupun online. Dengarkan pandangan yang berbeda. Diskusikan dengan mereka yang Anda pandang layak diajak diskusi. Dan kalau setelah itu semua, Anda masih menganggap gagasan itu tidak Anda setujui, ya Anda berhak untuk tidak setuju dan menyatakan ketidaksetujuan Anda.
Masalahnya ciri-ciri ini hanya sedikit terlihat dalam gelombang kecaman soal LGBT ini. Kebanyakan pengecam terkesan bahkan tidak membaca lengkap tulisan saya dan kemudian memaki-maki saya. Bagi kalangan ini, pengharaman LGBT adalah sebuah hukum mutlak yang diturunkan Tuhan dan siapapun yang mempertanyakan itu adalah kaum ‘kafir dan sesat’ atau ‘agen liberal untuk menghancurkan Islam’ atau ‘sekuler sombong yang mendewakan akal untuk menantang Tuhan’,
Ada sebagian kecil yang berusaha mengkritik pandangan saya dengan argumen yang kokoh, kritis dan santun. Tapi itu hanya sebagian kecil.
Dalam hal ini, saya mungkin perlu menjelaskan lagi pandangan saya secara singkat. Saya sendiri pernah bersikap antipati terhadap LGBT. Saya juga pernah menganggap LGBT dikutuk Allah. Namun kemudian pengalaman langsung saya bergaul dengan kalangan yang saya ketahui LGBT, bacaan yang saya baca, diskusi yang saya ikuti serta perenungan yang saya lakukan membuat saya mempertanyakan sikap itu.
Saya kemudian tidak menemukan alasan yang cukup untuk menolak LGBT. Saya tidak menemukan bukti bahwa LGBT membahayakan dan merugikan masyarakat. Para pengecam LGBT yang mengomentari tulisan saya juga tidak memberikan bukti bahwa LGBT merugikan. Apa yang layak dikategorikan sebagai tindak kriminal oleh kaum LGBT? Tidak ada. Kesalahan mereka hanya satu: mereka berbeda dengan arus utama.
Menjadi LGBT berbeda dengan tindak kejahatan yang memang merugikan umat manusia, seperti pencurian, korupsi, penindasan, pembunuhan, penyiksaan, perkosaan atau bahkan perzinahan. Karena itu, kenapa kaum LGBT harus diperlakukan seperti layaknya para pelaku kejahatan?
Sebagian mengatakan, LGBT melanggar fitrah manusia. Untuk ini, saya hanya bisa mengatakan ya itu kan tergantung apa interpretasi kita mengenai fitrah manusia. Apa yang kita sebut sebagai kodrat manusia – misalnya perempuan adalah ibu rumah tangga, ayah pencari nafkah – adalah hasil konstruksi budaya manusia.
Lagipula kalau yang difitrahkan adalah hanya perasaan cinta antar jenis, bagaimana mungkin ada perasaan cinta sesama jenis yang tumbuh tanpa paksaan atau keterdesakan? Ilmuwan sudah menemukan bahwa perasaan cinta sesama jenis adalah hasil dari kombinasi kompleks antara gen dan kondisi lingkungan. Jadi faktor lingkungan memang berpengaruh tapi ada juga faktor-faktor biologis berperan. Dengan kata lain, kecenderungan menjadi gay di kalangan sebagian gay memang sudah ada sejak lahir. Siapa yang memberikan gen-gen itu? Ya Tuhan.
Karena itu, saya tiba pada pertanyaan berikutnya: kalau memang LGBT bukanlah kejahatan, mengapa LGBT harus dikutuk Tuhan?
Setelah saya belajar, saya tiba pada kesimpulan: memang tidak ada bukti bahwa LGBT adalah tindakan terkutuk di mata Allah. Setidaknya itu tidak ditemukan di Al Quran. Saya belajar bahwa kepercayaan bahwa bahwa LGBT dikutuk Allah adalah doktrin yang dilandaskan pada interpretasi kaum ulama mengenai ayat Allah yang sangat bisa ditinjau kembali. Dari apa yang saya pelajari, saya merasa tidak ada ayat-ayat Al Quran yang mengutuk LGBT. Yang dijadikan landasan bagi pengharaman LGBT adalah ayat-ayat mengenai umat Nabi Luth, yakni sebuah masyarakat yang memang mengalami kehancuran moral. Memang ada ayat yang memungkinkan sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dikutuk Allah adalah perilaku homoseksual (dan bukan lesbian), tapi kembali harus ditekankan itu adalah interpretasi.
Yang lebih pasti ditolak oleh Nabi Muhammad adalah perilaku sodomi, baik yang dilakukan pasangan homoseksual ataupun pasangan heteroseksual. Kesimpulan ini terutama terbaca dalam sejumlah hadis Nabi.
Saya tentu bicara tidak dengan mengandalkan inspirasi dari langit. Saya merujuk pada sejumlah kepustakaan dan diskusi dengan sejumlah pihak yang saya percaya memiliki wawasan pengetahuan memadai tentang Islam. Dan dengan menulis itu saya berharap ada pihak-pihak yang bias membantah penjelasan saya juga dengan menggunakan argumen atau rujukan otoritatif.
Namun, seperti yang saya katakana di awal, ternyata ada banyak sekali orang yang mengaku beragama Islam tapi tidak menggunakan akalnya. Bagi mereka, berpikir berbeda dari apa yang mereka yakini selama ini adalah sebuah kejahatan. Mereka ini adalah kalangan yang sekadar mengikuti apa yang dikatakan guru atau panutan atau keluarga atau kerabat tanpa pernah sungguh-sungguh berusaha mempelajari Islam.
Karena mereka tidak menggunakan akal, yang mengemuka adalah emosi. Mungkin niat mereka baik. Mungkin mereka merasa sedang membela Tuhan. Tapi karena tidak menggunakan akal, yang tampil adalah kebengisan dan kebencian.
Saya sendiri tidak menganggap sikap saya tentang LGBT adalah sikap yang mutlak benar. Saya mungkin saja salah. Namun saya harus bertanggungjawab dengan sikap saya berdasarkan pengetahuan yang saya miliki. Sejauh ini para pengecam saya sama sekali tidak bisa menunjukkan bukti dan argument yang menunjukkan kesalahan saya.
Dalam hal ini, saya rasa perbedaan ini tak perlu menimbulkan perpecahan. Seperti saya katakan, Islam tidak tunggal. Saya misalnya menanam uang di bank sementara sebagian kenalan saya mengharamkannya. Saya misalnya menganggap menjama’ shalat itu bisa dilakukan walau saya tidak sedang bepergian jauh, sementara sebagian teman saya menganggap ada ketentuan tentang jarak minimal yang memungkinkan kita menjama’ shalat. Saya menganggap memilih pemimpin non-muslim itu boleh, sebagian teman saya mengharamkannya. Sekarang pun begitu: saya menganggap Allah tidak membenci LGBT, sebagian kawan saya menganggap Allah mengutuk LGBT.
Saya percaya, karena cara berpikir kita berbeda-beda, marilah kita hargai saja perbedaan proses berpikir ini, kecuali kalau itu memang merugikan orang lain.
*Ade Armando adalah Pemimpin Redaksi Madina Online dan Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
Sumber tulisan: http://www.madinaonline.id/c907-editorial/debat-lgbt-agama-tanpa-akal-akan-menjadi-kekuatan-menghancurkan/