Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas) menyantuni keluarga Wahed Tumangger yang dipenjara 6 tahun atas apa yang tidak diperbuatnya (25/4/16)
Siang itu Desa Dangguran terlihat sepi. Desa berpenghuni 100 kepala keluarga atau 743 jiwa ini dikenal dengan desa para pemburu. Sebab, hampir seluruh laki-lakinya mencari nafkah dengan berburu babi. Bahkan sedari belia mereka sudah biasa diajak berburu dan menenteng senapan. Memang hanya senapan angin yang kalau ingin menembak mati seekor babi harus dari jarak sangat dekat dan musti mengenai titik mematikan seperti jantung. Jaraknya minimal empat sampai 10 meter, lebih dari itu sudah dipastikan babi lari menghilang.
Selain merakit sendiri, senapan angin juga dijual bebas. Harganya mulai Rp 2.000.000. Ada pedagang keliling yang setiap waktu tertentu masuk ke desa-desa menjajakan. Lengkap dengan peluru dan tanpa surat izin dan tak pernah dirazia. Kalau sang pedagang tidak muncul batang hidungnya, bisa membelinya di tempat lain. Tidak ada kesulitan mendapatkannya. Makanya, saat kantor polisi diserang hama babi, ke desa inilah polisi minta tolong agar para pemburu menembaki ‘sapi kecil’ itu.
Desa yang kanan kirinya ditumbuhi pohon sawit ini, sepertinya desa yang baik untuk pertahanan. Letaknya di atas bukit. Sehingga dari jarak ratusan meter akan terlihat siapa yang akan memasuki desa. Di sinilah tempat lahirnya Hotmauli Natanael Tumangger alias Wahed bin STL (28). Seorang Nasrani yang taat, ayah dari empat anak yang menggemaskan.
Wahed, begitu dia biasa dipanggil, sejak peristiwa pembakaran dan penghancuran gereja pada 13 Oktober 2015 lalu, dianggap sebagai pahlawan agama oleh seluruh umat Kristen yang ada di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Waktu itu, Wahed bersama para laki-laki lain bertahan di desa. Sementara perempuan dan anak-anak sebagian sudah mengungsi. Mereka menjaga Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Dangguran, tempat mereka beribadah selama ini, yang akan dihancurkan ratusan massa Pemuda Peduli Islam (PPI).
Mereka menanti kedatangan massa yang sebelumnya sudah membakar gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) dan gereja Katolik di Desa Suka Makmur, lima kilometer dari desanya. Cemas dan takut adalah dua kata yang mewakili perasaan Wahed saat itu, sama dengan semua laki-laki lain. Walau di bawah desa, aparat keamanan sudah bersiap menghalau.
“Bakar, serang! Bakar, serang!” itulah teriakan massa yang terdengar jelas. Wahed ambil posisi siaga. Penentuannya pohon sawit dan karet yang mereka tumbangkan sebagai penghalang jalan masuk ke desa. Kalau penghalang itu dilewati massa, mau tak mau mereka akan melawan. Senapan angin miliknya, siap siaga di sepeda motor yang disandarkannya di balik pohon.
Ratusan massa yang sebagian besar adalah warga Desa Bulusema, Kecamatan Suro, dan Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan, terlihat beringas. Mereka memaksa masuk ke desa, tak pedulikan tembakan peringatan aparat keamanan.
Mereka membawa tombak, bom molotov dan kelewang panjang. Massa berteriak-teriak, merusak, sambil melemparkan batu. Satu warga kampung terluka parah akibat terkena lemparan.
Wahed yang ketakutan bergegas mengambil senapannya. Dengan posisi bersembunyi di balik semak-semak, dia melepaskan satu tembakan dari jarak 200-an meter. Tujuannya hanya memberi peringatan dan memukul mundur, bukan membunuh. Sebab, senapan anginnya tak mungkin bisa membunuh dengan jarak tembak sejauh itu.
Setelah itu, menyusul rentetan tembakan peringatan aparat. Dua kubu mundur seketika, Wahed dan warga kampung memutuskan berlindung ke gereja, sekalian berjaga-jaga jika ada serangan susulan.
Malamnya, karena merasa situasi belum aman dan akan memanas, Wahed bersama anak dan istrinya memilih mengungsi ke Kabupaten Pakpak Barat, Sumatera Utara. Empat hari di pengungsian, tepatnya 17 Oktober 2015, Wahed dijemput polisi. Alasannya, dia bersama kelima teman sekampungnya: Argas Tumangger, Daulat Tumangger, Samsuar Bancin, Takas Manik dan Uteh Ompong, dituduh telah menembak satu massa PPI hingga tewas dan melukai tiga orang lainnya dengan senapan angin kaliber 5,5 milimeter.
Besoknya, 18 Oktober 2015, Wahed bersama lima temannya ditetapkan menjadi tersangka pembunuh Samsul. Kelima temannya yang tak pernah nampak lagi batang hidungnya kini berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO).
Dipenjara atas sesuatu yang tidak dilakukan
Status tersangka Wahed ini hanya berdasarkan keterangan saksi Muklis Sahputra dan Muhammad Safi’i. Dua saksi yang menemukan dan mengangkat mayat Samsul. Lucunya, kedua saksi waktu di persidangan menyatakan tidak melihat Wahed menembak. Menurut mereka, yang menembak saat itu berbaju loreng. Kemudian, kondisi mayat berdarah wajahnya, ditemukan pertama kali oleh saksi sekitar 300 meter dari Desa Dangguran, jauh dari posisi Wahed dan seluruh warga kampung berada.
Rabu, 6 Januari 2016, Wahed duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Singkil. Diketuai majelis hakim yang tak lain Ketua PN Singkil As’ad Rahim Lubis, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Harri Citra Kesuma mendakwanya dengan Pasal 340 KUHP jo subsider Pasal 338 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo subsider Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHPidana. Dakwaan kedua, Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak jo Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2012 tentang Perizinan Senjata Api.
Tak ada senapan angin atau peluru milik Wahed yang diajukan ke persidangan. Sebagai barang bukti, jaksa menghadirkan foto senapan dan hasil Visum Et Repertum Nomor: 440/059/2015 tanggal 22 Oktober 2015 yang menyatakan telah memeriksa mayat seorang laki-laki berumur 25 tahun atasnama Samsul dengan luka tembak di tulang selangka ukuran 05 x 0,5 centimeter dan luka robek di lidah ukuran 2 x 0,5 centimeter. Dihadirkan pula puluhan tombak dari bambu, parang, kelewang dan bom molotov, serta pakaian.
“Ini konspirasi hukum yang sangat-sangat nyata. Wahed adalah orang yang harus dikorbankan. Saksi mengatakan yang menembak berbaju loreng, tapi barang bukti yang dihadirkan di persidangan celana loreng. Belum lagi barang bukti lain yang tidak ada kaitannya dengan perbuatan terdakwa,” kata Rina Melati Sitompul, Selasa (26/4/2015) di kantornya di Medan.
Rina adalah salah satu dari Tim Advokat Peduli Singkil yang mendampingi Wahed. Tim ini terdiri dari Maya Manurung, Misra Purnamawati, Ibrahim Nainggolan, mantan komisioner Komnas HAM Jhoni Nelson Simanjuntak, pengacara senior dan mantan pengurus LBH Aceh Darwis dan Marzuki Sagala.
“Klien kami lebih dulu menjadi tersangka baru saksi-saksi diperiksa. Fakta hukum untuk menguatkan dakwaan jaksa hanya keterangan tersangka. Klien kami sama sekali tidak kenal dan tahu siapa para saksi dan korbannya. Mungkin di persidangan dia baru mengetahuinya. Kami menduga keterangan saksi-saksi sengaja diarahkan untuk memberatkan klien kami,” Rina menambahkan.
Ia pun mengungkapkan bahwa sifat dakwaan kombinasi. Maka, jika tidak mampu membuktikan salah satu pasal, jaksa harus menuntut bebas. Dakwaan kombinasi harus memperhatikan unsur-unsurnya. Dalam kasus Wahed, semua pasal tidak terbukti.
“Kita minta terdakwa dibebaskan dari semua tuntutan. Peristiwanya ada tapi orangnya siapa? Ini yang harus digali. Ada lima orang yang DPO, tapi terdakwa dituntut dengan pasal secara bersama-sama. Bersama-sama siapa?” ucap Maya Manurung heran.
Selain Rina dan Maya, Tim Advokat Peduli Singkil lainnya, Mirsa, memaparkan, “Pengembangan penyidikan yang dilakukan diduga melibatkan seorang polisi yang mengenal warga Desa Dangguran. Sampai pada hari ini, oknum polisi yang bertugas di Polres Aceh Singkil itu tidak mau memenuhi panggilan untuk dimintai keterangannya.”
Dampak tragedi penyerangan dan pembakaran gereja di Aceh Singkil “Pasca peristiwa Dangguran, warga desa masih belum berani pulang. Mereka takut dan trauma, juga khawatir polisi memanggil mereka dengan alasan meminta keterangan. Banyak kaum bapak yang meninggalkan anak istrinya dan tak bisa menafkahi lagi,” kata Misra lagi.
Vonis 6 Tahun
Kamis (21/4/2016) Wahed bersidang dengan agenda pembacaan vonis. Sebelumnya, JPU menuntutnya dengan hukuman enam tahun penjara, gugur pasal-pasal berlapis yang sebelumnya mendakwa Wahed. Keragu-raguan dan ketidaksiapan jaksa memperkarakan kasus ini terlihat dari pemaksaan pasal-pasal, barang bukti yang minim, dan saksi-saksi yang dipaksakan. Semua sudah dikupas tuntas tim penasehat hukum di 92 lembar pembelaan yang mereka bacakan.
Rupanya hakim berpendapat lain. Entah argumen hukum apa yang diambilnya, Wahed divonis enam tahun penjara. Kontan tim penasehat hukum menyatakan banding.
Runtuh harapan Wahed menghirup udara bebas. Ia tidak bisa bertemu keluarga di rumah dan menemani istrinya melahirkan nanti. Seluruh kerabat, teman dan semua orang yang bersimpati dan tanpa lelah mendampinginya seperti Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas), Aliansi Sumut Bersatu (ASB), GKPPD Sidikalang, kecewa dengan keputusan hakim yang mereka nilai sangat tak adil.
Wahed menanggung dosa dan derita yang tak dilakukannya. Kini, pahlawan dari desa pemburu itu akan mengisi enam tahun waktunya dalam bui. Tragis!
Pasrah saja
Perempuan berambut panjang dan berkulit putih itu sedang hamil anak keempatnya. Dia adalah Nurmawati (30), istri Wahed. Cuaca yang menyengat siang itu tak menyurutkan langkahnya membawa ketiga anak-anaknya yang masih kecil-kecil ke cabang rumah tahanan (Rutan) Singkil yang gersang.
Dengan perut besar yang sudah masuk delapan bulan, dia menyusuri satu jam perjalanan dengan sepeda motor milik adiknya karena tidak ada angkutan umum. Hal itu dilakukan untuk menemui suami dan melepaskan kerinduan buah hati mereka pada sang ayah.
Sesampainya di Rutan, Wahed belum kembali dari persidangan. Kebetulan saat itu juga berkunjung kedua orang tua Wahed dan Sekjen GKPPD, Pdt. Mangara Sinamo.
Sambil menunggu suamuinya, mengalirlah cerita bahwa dirinya sekeluarga tinggal di Desa Sanggaberu, Kecamatan Simpang Kanan. Dia sudah mendengar kabar GKPPD Dangguran akan dibakar, maka diizinkannyalah suaminya bersama laki-laki lain pergi menjaga gereja tersebut.
“Di hape beredar foto sudah terbakar gereja di Gunung Meriah. Orang-orang itu menuju Dangguran. Makanya pergi dia (Wahed) menjaga. Sama sekali aku tidak melarang dia pergi,” kata perempuan yang disapa Wati ini. Dari SMS yang beredar, lanjutnya, ditulis ancaman kalau mereka berhasil menghancurkan gereja Dangguran, maka gereja-gereja lain akan dihancurkan juga.
“Kalau bisa suami saya dibebaskan. Kayak ginilah, kalau bisa kami sama. Untuk menjenguk saja kami tak sanggup biaya, jauh, capek. Tapi anak-anak maunya setiap hari jumpa bapaknya. Mulai kejadian, kami sudah tak bekerja lagi, semua tergantung berkatlah,” katanya dengan sambil menghapus keringat.
Suaminya memang seorang pemburu babi, tapi tidak pernah membawa pulang senapannnya yang selalu dititipkan di rumah temannya. Alasannya, waktu berburu malam hari dan semua teman-teman berburu Wahed kebanyakan warga Desa Dangguran. Senapan Wahed baru tiga kali pakai, masih terhitung baru, menggantikan senapan lama yang sudah rusak.
“Tapi sejak kejadian itu, gak tau entah kemana lagi senjatanya. Apalagi kami mengungsi,” ucap perempuan kelahiran Agustus ini.
Selesai dari Rutan, kami menuju Desa Dangguran. Ditemani ayah Wahed, ST Lamisten Tumangger dan Sekjen GKPPD Sidikalang, Mangara Sinamo.
“Inilah batang sawit yang dipotong itu, supaya mereka tidak masuk. Di sinilah daerah tempur itu. Tentara di bawah sana. Di sinilah kami menjagai gereja. Kalau masuk orang-orang itu, kami habis. Bom molotov ada pada mereka. Rumah ini mau dibakar habis-habisan,” kata Lamisten sambil menyuruh kami membuka kaca mobil.
Hal tersebut harus dilakukan agar bisa dilihat orang kampung. Sebab, Lamisten menjelaskan, sampai hari ini suasana belum bisa dibilang kondusif. Rasa curiga masih tinggi, apalagi untuk orang-orang yang belum dikenali.
“Buka aja, kaca kita hitam, bahaya nanti kita. Asal lewat mobil di sini yang tak ditandai, dihadang terus, pikirnya mau menghancurkan gereja. Kalau memang datang lagi mau menghancurkan gereja itu, tempur lagi kami. Mati-matian ini kami pertahankan,” ucapnya.
Kami sampai di depan GKPPD Dangguran yang dibangun 2003 lalu. Letaknya di tengah-tengah perkebunan sawit, bukan di tepi jalan yang bisa terlihat dan terjangkau. Hampir seluruh gereja di kabupaten ini begitu keadaannya.
“Sengaja dibuat jauh ke dalam, nanti dibilang pamer. Kita hargai juga, tapi tetap saja jadi sasaran. Salib saja tidak boleh di atas kayak di Medan itu, harus kayak gini,” ujarnya sambil menunjuk atas atap gereja. Terlihat salib menyatu dengan bangunan dinding. Gara-gara gereja inilah, sejak puluhan tahun lalu, kampung ini selalu jadi incaran.
“Orang sini keras. Orang takut masuk ke sini. Apalagi terkenalnya orang sini pemburu babi. Jadi tak berani orang itu masuk kalau satu atau dua orang saja,” kata Lamisten lagi.
Wahed hanya dikorbankan
Dia masih menganjurkan jika kami nanti datang lagi untuk membuka kaca mobil. Hal tersebut untuk menghindari kecurigaan warga setempat kalau kami bagian dari kelompok penyerang gereja.
“Kami bukan Islam, tapi kami bilang mereka yang menyerang gereja juga bukan Islam. Karena menurut kami ajaran Islam itu bagus. Banyak saudara kami orang Islam. Kalau Islam pasti tidak begitu, tapi di luar itu teroris. Kami gak mau perang sama orang Islam, banyak saudara kami orang Islam,” ujarnya seperti menahan sesak di dada. Tak lama dia menunduk, rupanya tangisnya hampir jatuh.
Apalagi waktu diminta komentarnya tentang nasib anaknya yang sedang menunggu kebaikan hati hakim yang menyidangkan perkaranya. Lamisten lama terdiam. Gurat-gurat tua di wajahnya terlihat jelas, pelan dijawabnya hanya bisa pasrah.
“Apalah ku bilang, aku pasrah saja. Maunya keadilan itu ditunjukkanlah. Kalau aku, minta dipercepat. Aku bukan hakim, tapi Tuhan itu adil,” ucapnya sangat pelan.
Manara Sinamo memecah suasana haru. Dia bilang, tidak ada bukti-bukti valid yang menunjukkan Wahed bersalah. Korban yang meninggal diangkat saksi di Simpang Sianjo-anjo, kata Sinamo, sementara rumah Wahed jauh di atas, satu kilometer lebih jaraknya dari simpang ke gereja.
“Saksi di persidangan bilang, dia mengangkat mayat dari simpang yang jaraknya 300 meter. Berarti belum sampai ke penduduk, belum sampai ke pohon tumbang. Saya tidak yakin korban ditembak orang kampung karena mereka belum sampai ke kampung. Wahed hanya dikorbankan,” katanya.
Ia pun hanya menggeleng saat ditanya apakah mengenal korban.
Dua hari sebelum kejadian, sudah datang utusan 15 cabang GKPPD di Singkil ke kantor pusat mereka di Sidikalang menanyakan sikap GKPPD terkait pesan singkat yang sudah beredar satu hari sebelum 13 Oktober 2015. Pesan dari pusat adalah jangan melawan dan menyarankan mengungsi. Khusus untuk Desa Dangguran, ada yang tetap bertahan menjaga desa dan gereja sementara yang lain mengungsi.
“Inilah yang dituduh dan DPO. Gak masuk akal saya kalau Wahed menjadi pelaku. Kebetulan saja mereka pemburu dan semuanya Kristen, itulah sebenarnya,” tegas Sinamo.
Diceritakan jurnalis Kompas.com Mei Leandha