Suratmi memangku anaknya (tengah) bersama suaminya, Sutarno (kiri), saat berkunjung ke KBR (4/8/2016)
“Kepala Desa Mekarjati ambil KTP kami karena tidak mau akui sebagai warganya” tutur Suratmi yang dalam masa pengusiran dari Kalimantan sampai Jakarta mengalami keguguran saat usia kandungannya baru menginjak 3 bulan.
Bagaimana rasanya menjadi warga tidak berdokumen tinggal di Indonesia? Untuk disebut sebagai WNI, kami tidak punya KTP. WNI ilegal? Mungkin. Tapi kami merasa sebagai orang Indonesia, karena lahir dan besar di negeri ini. Lalu, jika sakit, bagaimana kami bisa berobat tanpa KTP? Bisa jugakah menyekolahkan anak-anak kami?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus menjadi pergumulan pasangan Suratmi (44) dan Sutarno (43). Mereka berdua adalah korban pengusiran dari Singkawang, Kalimantan Barat, karena dikaitkan dengan Gafatar yang difatwa MUI sesat. Sampai saat ini stigma dan diskriminasi membuat puluhan ribuan warga eks-Gafatar sulit memperoleh hak-hak mereka secara setara sebagaimana warga negara lainnya.
Di hadapan editor sekaligus Manager Produksi Kantor Berita Radio KBR Quinawati Pasaribu (4/8), Suratmi mengisahkan kelamnya menjadi warga yang terus-menerus ditolak aparat pemerintah Indonesia.
“Karena saya orang Mekarjati, warga desa menerima kami. Begitupun ketika di Singkawang, kami sangat diterima tetangga penduduk asli di sana,” ujar Suratmi.
Ia menegaskan bahwa pengusiran-pengusiran hanya dilakukan para aparat negara di Mekarjati, Haurgeulis, Indramayu, dan Kalimantan Barat. Bahkan, menurutnya, sampai saat ini ia masih sering berhubungan, telpon, dengan tetangga (penduduk) Singkawang. Mereka selalu menanyakan padanya kapan Bu Suratmi kembali lagi. Sebab, para penduduk tempat Suratmi dan suaminya bercocok tanam merasakan sekali manfaat kehadiran eks-Gafatar di sana. Tanah milik penduduk Singkawang menjadi produktif karena disewakan, baik untuk kontrak rumah maupun digarap untuk pertanian.
“Kepala Desa Mekarjati ambil KTP kami karena tidak mau akui sebagai warganya” tutur Suratmi yang dalam masa pengusiran dari Kalimantan sampai Jakarta mengalami keguguran saat usia kandungannya baru menginjak 3 bulan.
Waktu pertama kali kembali ke Indramayu, selain mengambil KTP pasangan suami-istri yang dikaruniai 3 anak ini, Kepala Desa Mekarjati memberikan pilihan kepada keduanya untuk mengontrak selama satu bulan saja di desa atau pergi dari desa. Suratmi, suami dan anak-anaknya lebih memilih pergi dari Mekarjati. Ia sangat menyesalkan perlakuan aparat-aparat Indramayu yang ia rasakan sangat tidak adil.
Sebelumnya, rasa sakit yang luar biasa sudah ia tanggung sejak pengusiran dari Singkawang. Setelah dipaksa pergi dari kontrakannya dengan meninggalkan harta benda seperti motor, sepeda, serta tanamannya menuju pelabuhan, Suratmi beserta suami dan anak-anaknya yang masih kecil didorong untuk naik kapal TNI. Dengan segala fasilitas yang sangat terbatas, kapal itu mengguncang-guncang kandungannya dari Pulau Borneo sampai Jakarta.
Di gedung penampungan warga eks-Gafatar Pondok Gede ia masih harus menempati lantai 2. Akibatnya, ia mengalami pendarahan. Hal itu terjadi sampai ia dan keluarganya pulang ke Mekarjati, yang pada akhirnya ditampung di Dinas Sosial Indramayu.
“Saya sempat beberapa kali ke rumah sakit, namun pendarahannya tidak dikuret. Alasan dari pihak kesehatan selalu sama, dokternya tidak ada,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Perlakuan diskriminatif negara terhadap Suratmi tidak lantas membuatnya menyerah. Dengan tanpa KTP, ia harus menyiasati keluarganya agar tetap bertahan hidup. Di Subang, tempat mereka sekarang tinggal di kontrakan, Suratmi memulai usaha dengan membuat mainan anak-anak untuk di jual di sekolah-sekolah. Sebab, tidak mungkin ia dan suaminya bekerja di perusahaan.
Demikianpun kedua anaknya yang berusia 8 dan 12 tahun tidak akan bisa belajar di sekolah negeri atau sekolah umum lainnya karena mereka tidak beridentitas. Sehingga, supaya tetap bisa mengenyam pendidikan, anak-anaknya belajar di sekolah berbasis rumah (home schooling).
Yang pasti, perlakuan diskriminatif serupa tidak hanya dialami Suratmi dan keluarganya. Parwanto, eks-Gafatar lainnya, dikriminalisasi Kepolisian Resort Trenggalek dengan dinyatakan dirinya terlibat dalam kegiatan kriminal di Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) karena bergabung dengan Gafatar.
Sejak Februari (2016) sampai sekarang, Aziz dan eks-Gafatar lainnya di Rangkasbitung, Lebak, Banten, setiap Kamis dikenakan wajib lapor ke Kesbangpol. Tentu hal tersebut sangat memberatkan. Selain stigma terus-menerus dilekatkan kepada 7 Kepala Keluarga (KK) di Rangkasbitung ini, aktivitas sehari-hari juga terganggu karena alasan yang tidak jelas yang harus mereka jalani dari desanya ke kota demi melapor. (Thowik-SEJUK)