Upaya pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan merupakan agenda strategis dalam upaya penguatan toleransi dan perdamaian di tengah menguatnya radikalisme.
Hal ini ditegaskan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid dalam peluncuran hasil Survei Nasional “Tren Toleransi Sosial-Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia dan Halaqah Perempuan untuk Perdamaian” di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan (29/1/2018), yang juga dihadiri Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Puan Maharani, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembesie dan Ketua UN Women Sabine Machl.
“Tantangan bagi Indonesia bukanlah radikalisme melainkan intoleransi, karena intoleransi adalah pintu gerbang dari radikalisme,” ujar putri mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid ini.
Pentingnya agenda-agenda menguatkan toleransi saat ini, bagi Yenny, adalah dengan menjadikan perempuan sebagai pemimpin sehingga mampu membuat keputusan-keputusan yang mendorong pada perdamaian. Karena itu pula penting di mulai dari otonomi dalam diri perempuan atau tingkat kemampuan perempuan mengambil keputusan tertentu dalam hidupnya sendiri.
Survei nasional kerjasama Wahid Foundation dengan UN Women yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan 68,0% perempuan dari 50% responden menyatakan bahwa mereka telah memilih atas pilihannya sendiri mengenai isu politik.
“Pencapaian angka ini tentunya cukup memuaskan. Hal ini menandakan semakin banyak perempuan yang kini bangkit dari kursi nyamanya dan mulai berani maju untuk menunjukkan otonomi dirinya atas politik,” ungkap Yenny.
Dikarenakan mayoritas penduduknya adalah Islam, lanjut Yenny, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang ditunjuk langsung oleh PBB mewakili negara Islam di dunia untuk membawa perempuan menuju planet 50:50. Selain itu, dari 10 negara Islam, Indonesia dipilih menjadi negara dengan tingkat toleransi perempuan paling tingggi menurut UN Woman.
Hal tersebut dikuatkan temuan survei nasional bahwa perempuan (80,8%) lebih tidak bersedia radikal dibanding laki-laki (76,7%) dan perempuan yang intoleran (55%) lebih sedikit dibanding laki-laki (59,2%). Perempuan (53,3%) juga memiliki lebih sedikit kelompok yang tidak disukai dibanding laki-laki (60,3%).
Sikap perempuan yang tidak bersedia radikal dibanding laki-laki, menurut Yenny, membuat kecenderungan perempuan bersikap toleran lebih besar dalam menciptakan perbaikan mengenai persoalan-persoalan perempuan terkait kesetaraan dan keadilan gender yang kini berkembang pesat di masyarakat.
Pada kesempatan yang sama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise sebaliknya menyampaikan keprihatinan perempuan di parlemen yang hanya mencapai 17% dari kuota 30%. Budaya patriarki dan pemahaman agama yang melihat perempuan sebagai nomor dua di Indonesia dianggapnya masih tinggi. Sehingga yang menjadi pertayaan besar adalah bagaimana perempuan bisa mengangkat isu perempuan jika keberadaan perempuan sendiri di parlemen masih sangat minim.
Yohana dan kementeriannya menyadari betul peranan ruang komunikasi yang begitu penting untuk memungkinkan segala hal yang dianggap mustahil. Maka, mendorong perempuan aktif dalam politik menjadi tantangan. Sebab, sambung Yohana, jika presentasi perempuan yang menduduki parlemen meningkat, tentunya ruang untuk para perempuan berkomunikasi, menyampaikan aspirasi, dan menyelesaikan berbagai persoalan kesetaraan gender sangat mungkin untuk terselesaikan.
“Jika para perempuan semakin progresif menujukkan dirinya di dunia parlemen, jangankan 30% dari kuota, kita bisa beri kuota yang lebih besar agar perempuan semakin otonom dan berani mengemukakan dirinya” tegas Yohana. []
Penulis: Ladya
Editor: Thowik