Masjid Ahmadiyah Al-Hidayah Depok, Jawa Barat, yang disegel Satpol PP kendati sudah mempunyai IMB (Dok. Thowik SEJUK: 24/2/17)
Muhammad Faisal Javier Anwar*
To give a voice to the voiceless. Mungkin bagi yang familiar dengan kalimat ini, pasti mengenali slogan tersebut sebagai salah satu misi dari media internasional Al-Jazeera. Makna yang terkandungnya memberi kesempatan bersuara bagi mereka yang selama ini suaranya tidak pernah didengar.
Inilah yang jarang terjadi pada jemaat Ahmadiyah yang selama ini mengalami diskriminasi. Kalaupun diberitakan, mereka semakin diterpa isu-isu yang sebenarnya tidak sesuai dengan keyakinan jemaat Ahmadiyah sendiri.
Minggu (25/2), saya bersama beberapa rekan pers kampus lain peserta workshop SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman) berkesempatan mengunjungi jemaat Ahmadiyah di Masjid An-Nashir, Astanaanyar, Bandung. Ini merupakan pertama kalinya saya berinteraksi secara langsung dengan mereka. Kami pun langsung mengambil brosur-brosur tentang ajaran Ahmadiyah yang tersedia di meja dekat pintu masuk masjid sebelum memasuki sesi diskusi yang dimanfaatkan oleh rekan-rekan pers kampus untuk mengklarifikasi isu-isu yang selama ini bergulir luas di masyarakat tentang Ahmadiyah.
Nabi Ahmadiyah
Ketika saya membaca brosur-brosur tersebut, sekilas tak ada yang berbeda dari ajaran Islam pada umumnya. Berbeda dari apa yang selama ini saya dengar dari orang-orang. Seperti salah satu tuduhan yang paling mendasar ialah bahwa Ahmadiyah sesat lantaran menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir.
Nyatanya Ahmadiyah pun mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai khatamun nabiyyin (nabi penutup dari para nabi yang ada). Mirza Ghulam Ahmad bagi jemaat Ahmadiyah ialah Imam Mahdi, sekaligus nabi yang diyakini mendapat wahyu untuk menyebarkan dakwah. Gelar nabi yang dimaksud bukanlah secara syari’at, tetapi hanya sebagai bayangan Nabi Muhammad saja.
“Bahkan pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad sendiri pernah bersabda bahwa debu yang ada di terompahnya lebih najis daripada debu yang ada di terompah Nabi” jelas Hafizurrahman Danang Prasetyo, mubaligh Ahmadiyah Wilayah Jabar 5, untuk menggambarkan betapa pendiri Ahmadiyah sangat menyucikan junjungannya, Muhammad SAW.
Gelar ‘nabi bayangan’ ini yang memang banyak disalahartikan oleh golongan non-Ahmadiyah. Walaupun menurut Luthfi Assyaukanie, salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) dan pemilik Qureta, gelar nabi sekunder sebenarnya ditemukan dalam aliran Islam lainnya dengan doktrin yang kurang lebih sama namun menggunakan istilah yang berbeda. Seperti gelar imam dalam Syiah dan Wali atau Mujaddid dalam Sunni.
Rasa penasaran saya dan rekan-rekan jurnalis pers kampus juga tentu tidak terlepas dari keingintahuan akan persekusi yang selama ini menimpa Ahmadiyah. Sekalipun sering menjadi korban persekusi, namun mereka meyakini bahwa penyebabnya bukanlah keyakinan mereka yang berbeda dari aliran Islam umumnya.
“Apakah murni karena perbedaan? Sebetulnya kalau kita melihat sejarah, perbedaan pandangan itu tidak menyebabkan satu gerakan yang sistematis dan massif untuk menghancurkan gerakan yang berbeda. Dari pengalaman yang ada, sebetulnya ada motif lain di balik itu, apakah motif ekonomi, dan yang kedua juga politis. Perbedaan ini yang dimanfaatkan, ditunggangi oleh beberapa kepentingan yang untuk mencapai satu tujuan” jelas Luthfi Julian Putra, mubaligh cabang Bandung Kulon.
Pengalaman yang ada beberapa tahun yang lalu, kenang Luthfi menyodorkan salah satu fakta politis, isu Ahmadiyah di Indonesia dinaikkan menjelang Pilkada. Jadi seorang calon kepala daerah yang ingin meraih simpati dan suara kelompok tertentu, menjanjikan bahwa apabila terpilih, ia akan membubarkan Ahmadiyah.
Sedangkan Ketua Jemaat Ahmadiyah Cabang Bandung Kulon Irvan Yanur lebih menganggap bahwa diskriminasi yang terjadi pada mereka hanyalah sekedar ujian terhadap keyakinan mereka. “Bagi saya bukan diskriminasi, hanya seperti ajaran Nabi-nabi saja yang tidak langsung dapat diterima” ujarnya.
Masjid Ahmadiyah Cipeuyeum, Cianjur, Jawa Barat yang beberapa kali dirusak massa pada tahun 2012 dan dibiarkan saja oleh pemerintah daerah sampai 2017 lewat (Dok. Thowik SEJUK: 1/12/17)
Melawan Kebencian dengan Cinta dan Kasih Sayang
Persekusi yang menimpa jemaat Ahmadiyah tidak hanya di berbagai tempat di Indonesia, bahkan di beberapa negara. Nyatanya, hal tersebut tidak lantas menumbuhkan rasa dendam di hati mereka. Ini yang terkandung dalam motto Love for All, Hatred for None (cinta kepada semua, tak ada rasa benci).
Motto ini menurut Luthfi diperkenalkan oleh khalifah Ahmadiyah ketiga, Mirza Nashir Ahmad. Motto ini tidak terlepas dari kepedulian Ahmadiyah terhadap penyebaran Islam ke seluruh dunia, terutama di Eropa.
“Konsep ini konsep Islam, dan dengan motto ini Ahmadiyah dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya di Eropa” ujarnya.
Upaya melawan kebencian dengan rasa cinta dan kasih sayang tersebut menurut Danang juga terwujud dalam tujuan mereka, yakni mendirikan kebaikan-kebaikan dan menciptakan dunia yang indah. Sehingga mereka selalu membalas kebencian dan kekerasan yang mereka hadapi dengan doa, karena bagi mereka doa ialah senjata jitu dalam menyelesaikan permasalahan.
Perwujudan rasa cinta dan kasih sayang ini pun sebenarnya hanya mencontohkan apa yang dilakukan dan disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. “Ingatlah hadits Khoirunnas anfa’uhum linnas, yang artinya orang-orang yang baik ialah orang yang bermanfaat bagi orang lain,” tuturnya dengan mantap.
Ini yang menurut Danang adalah jihadnya jemaat Ahmadiyah. “Bukannya kami tidak sepakat dengan jihad pedang, tapi di zaman now ini dengan memperlihatkan ajaran mulia Nabi Muhammad SAW dan inilah yang berusaha diperlihatakan oleh Ahmadiyah,” papar Danang tentang sikap dan tindak jemaat yang mengikuti keteladanan Nabi yang penuh kasih sayang.
Terdapat banyak kegiatan sosial yang dilakukan jemaat Ahmadiyah. Mereka biasa mengadakan donor darah. Bahkan menurut Danang, warga Ahmadiyah juga turut serta mendonorkan darah putih, dan juga donor kornea mata. Selain itu mereka pun juga terlibat dalam kegiatan bersih-bersih lingkungan sekitar.
Bersama jajaran pengurus, mubaligh dan jemaat Ahmadiyah, kalangan pers mahasiswa SEJUK berpose di Mesjid Ahmadiyah An-Nashir Bandung (25/2/2018)
Mendengar, Menghargai dan Dialog
Setelah sesi diskusi, kami pun mendapat kesempatan untuk mengobrol lebih akrab dengan jemaat Ahmadiyah yang siang itu menyempatkan waktunya hadir di Masjid An-Nashir. Saya sendiri beruntung berkenalan lebih dekat dengan Pak Dudi, salah satu jemaat Ahmadiyah yang siang itu jauh-jauh datang dari Dayeuhkolot.
Tidak banyak yang kami perbincangkan siang itu karena keterbatasan waktu dan juga terpotong dengan salat dzuhur. Salah satu pengalaman yang ia ceritakan bagaimana perjalanannya hingga akhirnya ia berbaiat pada Ahmadiyah pada tahun 1985.
Ia terlahir dari keluarga dengan dua aliran berbeda. Ayahnya ialah seorang Ahmadi dan ibunya merupakan Nahdliyin. Walaupun kini ia menganut aliran Ahmadiyah, namun hubungannya dengan keluarga besarnya yang berafiliasi pada NU masih terjaga dengan baik. Mereka saling menghargai satu sama lain tanpa memandang rendah kepercayaan yang lain.
Obrolan kami pun terpotong bunyi adzan Dzuhur siang itu. Tak ada yang beda dengan adzan yang biasa didengar telinga saya. Gerakan wudhu mereka pun tak ada yang berbeda dari wudhu yang diajarkan oleh guru-guru saya. Begitu pula dengan gerakan salatnya. Tak ada yang beda dengan apa yang selama ini saya lakukan. Begitu pula dengan wirid sehabis salat, tak ada yang berbeda dari apa yang selama ini saya lantunkan di setiap selesai menjalankan salat.
Isu-isu yang selama ini saya dengar tentang Ahmadiyah pun terbantahkan dalam kunjungan siang itu. Sepertinya selama ini kita selalu dipengaruhi oleh persepsi yang beredar dan turut serta menyebarkan dan menciptakan persepsi tersendiri tentang keyakinan yang berbeda dengan kita. Namun kita lupa untuk berdialog dan mendengar suara mereka terlebih dahulu. Padahal apa yang dikatakan oleh seorang ahli pendidikan kritis asal Brasil Paulo Freire, kepercayaan hanya didapat melalui dialog. (fja)
*Penulis: Jurnalis Pers Mahasiswa Mercusuar, Universitas Airlangga Surabaya