Bersama jajaran pengurus, mubaligh dan jemaat Ahmadiyah, kalangan pers mahasiswa SEJUK berpose di Mesjid Ahmadiyah An-Nashir Bandung (25/2/2018)
ADZAN Dzuhur berkumandang di Masjid An-Nashir. Jarum jam masjid bergeming di angka 12.08 WIB. Orang-orang segera berkerumun di lantai dua masjid. Allahu akbar Allahu akbar la illa ha illallah. Adzan Dzuhur habis, iqamah dilantunkan. Kalimat iqamah memberi isyarat agar para pengunjung masjid segera beranjak mendirikan salat jamaah. Kerumunan pun segera merapatkan diri. Barisan salat ditegakkan. Kaki-kaki nampak saling berhimpitan.
oleh: Muhammad Taufik
Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan, Universitas Muhammadiyah Surakarta
SIANG itu, selepas kunjungan dari Gereja Kristen Pasundan Kebonjati, peserta workshop pers mahasiswa SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman) bergegas menuju masjid Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) melakukan observasi lapangan bahan liputan. Peserta berangkat ke sana dengan mobil angkutan umum yang disewa panitia. Sekitar pukul 10, peserta workshop tiba di Masjid Ahmadiyah An-Nashir, Astaanyar, Bandung.
Setibanya di sana, para peserta bertolak memasuki gerbang masjid. Di depan gerbang, peserta disambut oleh jamaah masjid yang salah satunya terlihat mengenakan pelindung kepala khas Kashmir. Tiga orang yang menyambut peserta melempar senyum dan menjabat tangan para peserta satu per satu. Tak terlihat satu batang pun keraguan mereka pada peserta.
Usai melepas alas kaki di batas suci, peserta lekas naik ke lantai dua masjid. Di sana pun kami sudah dinanti oleh jamaah Masjid Ahmadiyah An-Nashir yang lain. Mereka ikut mengajak jabat tangan. Tak ada perlakuan yang berbeda kepada para peserta. Selayaknya saudara lama yang bersua lagi setelah sekian lama berpisah, raut wajah yang sumringah terpasang, tangan-tangan saling bertemu membentuk genggaman erat.
Di lantai dua, kain penyekat jamaah perempuan dan laki-laki terpasang. Di sudut kanan atas ruang salat, tergantung papan kecil bertuliskan ”Kaum Ayah”. Usai persiapan tempat, perkenalan dimulai. Salah satu pengurus Jemaat Ahmadiyah Bandung, Safa’at Juhari memperkenalkan diri ke para peserta. Di belakang, kudapan untuk tamu dihidangkan. Piring-piring berisi keripik singkong digeser dari sisi kanan ke sisi kiri. Air minum kemasan tak lupa dibagikan oleh para jamaah. Peserta yang merupakan jurnalis kampus dari berbagai daerah seperti Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur, benar-benar dianggap bak tamu istimewa. Tak ada raut wajah yang mengernyit ataupun mata memicing memandang para peserta. Jemaat dan peserta pun membaur dalam posisi duduk bersila.
Pengurus masjid berinisiatif menayangkan video seputar Ahmadiyah. Video itu kurang lebih bercerita ihwal sekelumit aktivitas dan keabsahan keberadaan jemaat yang mendapat penerimaan dan penghargaan dari berbagai pemerintah mancanegara. Citra baik dan kesan-kesan positif dari otoritas berbagai negara termuat dalam video itu. Pesan-pesan yang menjadi ciri khas jemaat pun terselip. Diksi ”love” kerap kali muncul dalam video.
Kemudian, sewaktu mic berpindah dari tangan Safa’at ke Irvan Yanur, Ketua Ahmadiyah Bandung Barat, setelah sebentar berbasa-basi, ia langsung mengeluhkan penyerangan yang menimpa Masjid An-Nashir tempat ia dan kawan-kawannya berjamaah. Para peserta tampak khusyuk mendengar narasi penyerangan. Memang, sempat terdengar obrolan-obrolan kecil, namun obrolan mereka tak lepas dari konteks cerita penyerangan tempat ibadah. Tak ada kebisingan ketika cerita itu dikisahkan oleh imam masjid. Mata-mata tertuju kepada pencerita. Dan salah satu dari peserta ada yang terbelalak saat di satu momen imam masjid menyebut ”jubah putih-putih.”
Pertahanan Jamaah
RAUT wajah Irvan nampak keruh ketika menceritakan penyerangan yang melanda masjidnya. Kepada peserta ia bercerita, ”Masjid ini sudah mengalami tiga kali penyerangan,” tutur Irvan, Minggu (25/2). Terhitung sudah empat kali Irvan membetulkan letak kacamatanya saat dengan nada datar menceritakan pengalamannya.
Baginya, jamaahnya sudah biasa mendapat perlakuan seperti itu. Tapi, seperti yang diungkapkan oleh pesan-pesan yang termuat dalam video yang sempat diputar, jamaahnya akan selalu mengutamakan rasa cinta dan saling menyayangi antarumat manusia: Love for All, Hatred for None. ”Merangkul adalah cara yang efektif untuk itu,” ujarnya.
Ada pasang surut dalam kehidupan berjamaah. Bagi Irvan, kehidupan jamaah merupakan sebuah ujian. Ada kala di mana semuanya baik-baik saja. Ada juga saat jamaahnya mengalami masa-masa yang tidak mengenakkan. Itu semua, menurut Irvan, adalah bagian keseluruhan dari ujian Allah SWT,
”Berjamaah itu memang tidak mudah, selalu saja ada kemudahan dan kesusahan yang mengiringi langkah,” katanya.
Irvan berpendapat kalau penyerangan akan marak terjadi menjelang tahun-tahun politik. Momen-momen politik itu menurutnya mengancam ketenteraman hidup komunits JAI.
”Kegiatan beribadah jadi tak kondusif, semua merasa terancam, padahal kita sama-sama memercayai Allah SWT. Kita juga mengakui Rasulullah SAW,” ujar Irvan.
Baginya, agama tak bisa jika kemudian dicampuradukkan dengan politik. ”Akan runyam nanti,” tegasnya.
Sempat juga Irvan mengalami perlakuan penuh intimidasi. Waktu Masjid An-Nashir dirundung penyerangan oleh kelompok-kelompok yang disebutnya berjubah putih ini, ia dipaksa untuk menandatangani pernyataan untuk menghentikan segala aktivitas keagaaman, seperti idul Adha, ”Ya saya tidak mau menandatangani itu.”
Ia melanjutkan, dirinya terus dipaksa untuk menandatangani, sampai di suatu hari, masjidnya diserang dan pagar serta pintu masjid ditendang dan dirusak oleh oknum-oknum yang ia sebut berjubah putih.
Setelah cerita dari Irvan usai, mubaligh senior Ahmadiyah tiba. Ia adalah Hafizurrahman, mubaligh yang mengepalai langsung badan mubaligh jemaat Ahmadiyah se-Bandung. Ia datang dengan kemeja biru dan kepala berkopyah hitam. Kedatangannya tampak dinanti-nanti oleh jamaah masjid. Ucapan salam Assalamualaikum bergema di ruang salat. Ia dipeluk dan disalami oleh jamaah-jamaah masjid.
Mic pun mulai dikuasai oleh mubaligh. Kemampuannya berbicara langsung menguar. Rona mukanya terlihat rileks. Bibirnya mengembang ramah kepada seluruh hadirin. Senyumnya merekah mencairkan interaksi antara dirinya dengan seluruh hadirin di ruang salat itu. Suasana semakin hangat.
Ketika memperkenalkan diri ia tak ragu untuk mengidentifikasi dirinya sebagai muslim. Selanjutnya ia bahkan mengungkapkan bahwa jamaah Masjid An-Nashir tengah menempuh jalan sunyi yang dititi bersama senasib seperjuangan. Ia pun tak ragu mengutip sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, ”Islam itu datang dalam keadaan asing, dan akan berakhir dalam keadaan asing pula.” Itulah hal yang ditekankannya ke para peserta.
Menurut Hafiz, beginilah kondisi umat muslim sekarang ini. Jemaat Ahmadiyah pun sebenarnya sedang menjalani nubuat itu. Kurang lebihnya sama dengan yang telah diungkapkan oleh Irvan bahwa jamaah An-Nashir yang juga JAI ini menjalani ujian hebat yang diberikan oleh Allah SWT. Ketika dapat melewati semua ini, niscaya, rahmat Allah akan hadir dan senantiasa menaungi jemaat dan umat.
Intervensi pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya yang diskriminatif yang sedang dihadapi jamaah, bagi Hafiz, tak kurang dan tak lebih adalah ujian yang dimaksud. Ketika kemudian ada surat keputusan bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 2008 yang kemudian disalahtafsirkan oleh pemerintah-pemerintah daerah sehingga menginstruksikan agar Ahmadiyah menghentikan setiap aktivitas beragamanya, ibadah JAI lanjut terus. Mereka menganggap semua itu sebagai ujian dan JAI harus melewati segala yang merintangi dengan memperbayak ibadah.
Untuk mengabdi kepada agama dan Tuhan, ujian adalah batu loncatan agar dapat mewakafkan hidup bagi agama. Ia mengumpamakan dirinya sendiri sebagai contoh itu. Hafiz mendaku bahwa ia merupakan orang yang sangat dekat dengan idiom yang telah disinggung sebelumnya.
”Saya ini tidak boleh berbisnis, kalau di Budha mungkin seperti biksu, tapi saya boleh menikah dan punya anak,” ujarnya.
Dalam pemikiran Hafiz, mewakafkan hidup untuk agama merupakan sebuah jihad.
Plang informasi aktivitas donor darah (rutin) dan donor mata di tembok Mesjid Ahmadiyah An-Nashir Bandung
Jihad Ahmadiyah
IRVAN sempat mengungkapkan kalau Ahmadiyah sama dengan golongan Islam lainnya: berpedoman pada al-Quran dan Hadits. Hanya bedanya dalam penafsiran saja. Di dalam brosur yang disediakan JAI, tertulis di sana rukun iman dan rukun Islamnya sama. Bahkan hari raya pun sama.
Tirta salah satu jamaah salat Dzuhur yang juga peserta workshop berpendapat kalau gerakan salat Ahmadiyah tak ada bedanya dengan aliran Sunni. ”Nggak ada bedanya sebenarnya,” menurut Tirta.
Melihat bagaimana saat ini beberapa kelompok menggunakan penafsiran kafir sebagai sarana untuk bertindak dalam konteks jihad, Ahmadiyah pastinya memiliki interpretasi tersendiri mengenai hal tersebut. Apabila kemudian al-Quran dan Hadits adalah keutamaan tauhidnya, kemungkinan yang berbeda dari golongan lain tak jauh-jauh dari hasil penafsiran. Tentunya dengan penafsiran yang berbeda akan muncul sikap dan tindakan yang berbeda juga.
Hafiz berpendapat bahwa penafsiran kafir bagi Ahmadiyah itu jelas ada. Yang dimaksud dari kafir dalam surah l-Kafirun itu sebenernya menutupi. Dengan catatan, menutupi dengan penolakan. Dan dengan adanya hal-hal itu Ahmadiyah, di pandangan Hafiz tak berniat untuk menjustifikasi orang-orang yang dimaksud sebagai kafir. Malahan Ahmadiyah akan ber-tabligh mendakwahkan ajaran Rasulullah melalui sisi lembutnya.
”Jangan cuma melihat agamanya saja, tapi pribadinya juga,” begitu yang diungkapkan oleh Hafiz.
Lantas, dengan penafsirannya atas konsep kafir dalam al-Quran bukan berati Ahmadiyah meniadakan jihad. Karena jihad tak melulu berangkat dari konsep adanya kafir.
”Urusan kafir atau bukan itu urusan Allah SWT. Kami cukup untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan kanjeng Nabi Rasulullah SAW saja,” ungkap Hafiz.
Jihad untuk JAI tidak didesain dengan senjata. Ahmadiyah melakukan jihad dengan perbuatan dan mengutamakan akidah. Dengan itu, menurut Hafiz, di era digital seperti ini, banyak yang harus dilakukan untuk jihad. Tujuannya tak lain dan tak bukan, dalam pandangan Hafiz, agar sifat Rasulullah dapat terbuka dan dapat ditunjukkan ke masyarakat.
Dari hal itu, JAI telah memeroleh banyak pengakuan, di antaranya adalah donor kornea mata. Aksi donor ini mendapat penghargaan oleh Museum MURI sebagai donor mata terbesar se-Indonesia. Itu adalah satu dari sekian banyak dari amal atau jihad yang dilakukan JAI.
Pengakuan sebagai Muslim
HAFIZ memberi penekanan kalau orang seharusnya memandang yang lainnya tidak semata dari agama, namun juga perbuatan. ”Di Lapas Sukamiskin itu banyak juga orang Islam,” lantas tak semestinya jika kemudian masyarakat hanya meributkan personal dari kacamata agama saja. Perspektif masyarakat akan hal ini sudah seharusnya dibuka lebih lebar dan cair.
Kebiasaan di era pasca-Islamisasi segala aspek kehidupan ini adalah seringnya orang memandang agama dengan kacamata normatif (Heryanto:2012). Padahal kemajemukan masyarakat Indonesia adalah aset dari keutuhan bangsa. Agama adalah bagian dari kemajemukan itu. Di era ini, Ahmadiyah lebih jamak dipandang sebagai orang luar dari Islam. Masyarakat menganggap perbedaan satu aspek itu menjadi alasan penghakiman yang sah terhadap warga Ahmadiyah.
Dari kunjungan peserta workshop pers mahasiswa SEJUK dan berbagai informasi yang faktual, Ahmadiyah bisa dibilang memiliki banyak kesamaan ritual dengan Muslim arus utama di Indonesia. Titik perbedaan lebih pada masalah pemahaman Imam Mahdi yang menyebabkan warga Ahmadiyah seringkali memeroleh banyak perlakuan tidak menyenangkan dan stereotipe negatif dari beberapa komunitas di masyarakat.
Berbicara derajat pengakuan Islam dari masyarakat untuk Ahmadiyah mungkin memang sulit. Akan tetapi membicarakan visi Ahmadiyah sebagai umat Muslim di Indonesia, setidaknya bisa memberi gambaran bagi publik atas peran dan posisinya sebagai suatu lembaga dalam lingkungan masyarakat dan bagian dari warga Indonesia. Melihat jumlah jemaat yang tak sedikit dan jaringan internasional yang telah diakui di pelbagai negara, jelas ada potensi besar dalam diri Ahmadiyah.
Umat Islam mainstream dewasa ini banyak sekali membuat agenda publik yang gencar. Misi-misi umat Islam sebagai satu kesatuan dalam Republik Indonesia adalah sebuah potensi tersendiri (Kuntowijoyo:2017). Apabila umat Islam bersatu, mungkin umur umat Islam akan lebih panjang melalui penemuan cara pandang yang baru.
Hafizurrahman menilai agenda umat Islam seperti mengusahakan Peraturan Daerah (Perda) Syariah tak menutup kemungkinan bagi Ahmadiyah untuk terlibat di dalamnya.
”Perda Syariah semisal larangan merokok misalnya, mari kita laksanakan, Ahmadiyah kan sudah menerapkan larangan merokok dari lingkungan jamaah, kita siap. Misalkan Perda dilarang menggunakan baju muslim jelas kita tolak, itu kan kewajiban setiap muslim, asalkan Perdanya tidak melanggar aturan negara, kita siap dukung,” pungkas Hafiz. []