Oleh: Salwa Nida
Pemandangan asri menggoda pandangan mata bagi siapapun yang melihatnya. Tidak hanya keindahan, halaman depan rumah Retret Panti Samadi Nasaret Semarang, menyuguhkan kenyamanan bagi segerombolan pengunjung yang baru datang. Matahari tengah beranjak lari menuju ke atas kepala dan segerombolan pengunjung sedang berjalan melewati lorong yang terdapat rerumputan hijau di kanan kirinya.
Minggu (3/2), salah seorang pengunjung sedang berjabat tangan dengan sikap santun terhadap seorang romo. Afida, pengunjung yang juga mahasiswi di Universitas Indonesia, merasa heran dengan kedatangannya bersama tim yang disambut langsung oleh Romo Aloys Budi Purnomo. Satu persatu anggota yang tergabung dalam komunitas SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman) berjabat tangan dengan Romo. Mereka menunjukkan wajah riang dengan suasana rumah Retret panti Samadi Nasaret.
“Seneng banget disambut langsung sama romonya, ternyata mereka begitu open dengan kami. Seketika itu aku mikir seharusnya kaya gini nih,” ungkap Afida (20), mahasiwi semester 4 jurusan kriminologi.
Setelah berjabat tangan Afida dan teman-teman lainnya tampak mengumpul di sekeliling Romo Aloys Budi Purnomo. Mereka dengan khidmat menyimak obrolan pembuka dari pemuka gereja Katolik Nasaret yang biasa disapa Romo Budi. Romo Budi dengan ramahnya mengawali perjumpaan tersebut dengan pengenalan lingkup wilayah dari struktur organisasi di Katolik.
“Keuskupan punya wilayah pelayanan yang dibagi 4 kevikepan di Semarang. Kevikepan itu semacam karsidenan, seperti Karsidenan Semarang, Karsidenan Surakarta, Karsidenan Kedu dan satu daerah khusus DIY. Kevikepan merupakan daerah pastoral yang dilayani wakil uskup yang disebut vikalis episkopalis (Vikep),” jelas Romo Budi dengan sorot mata teduhnya.
Samar-samar suara burung sedikit mengimbangi suara dari Romo Budi. Beliau tetap melanjutkan penjelasannya tentang Paroki. Usai menjelaskan tentang Paroki, Romo mengajak segerombolan pengunjung tersebut memasuki ruang makan yang ramai dengan jemaat Katolik.
Ruangan yang luasnya sekitar 30 m2 mendadak gaduh saat kedatangan beberapa pengunjung Muslim yang memakai jilbab. Mereka tanpa segan berkenalan dengan jemaat bahkan foto bersama. Seketika keramaian terjadi di ruang makan itu, tetapi di waktu yang bersamaan pula Romo Budi mengambil alih perhatian dari seluruh sumber keramaian yang ada. Seluruh mata telah tertuju pada beliau.
Penerimaan adalah cara jemaat Katolik bertoleransi
Di hadapan jemaat Romo Budi berpidato terkait keberagaman serta toleransi yang harus selalu dikelola. Adapun sebelum mencuri perhatian jemaatnya, mereka sempat bergantian foto bersama peserta putri berjilbab. Romo memaknai Suasana tersebut dengan pernyataan keberagaman itu indah.
“Bagaimana kita menegelola keberagaman sebagai berkah bukan musibah, sebagai kesempatan untuk saling menjadi berkat bukan ancaman untuk saling melaknat bangsa. Seperti suasana yang barusan terjadi, begitu bapak-bapak ingin melihat peserta perempuan yang berjilbab tidak merasa terancam, justru langsung selfi. Artinya mereka memahami keberagaman itu indah dan bukan sebagai ancaman,” tegas lelaki berusia 51 tahun yang juga disambut tepuk tangan meriah.
Tawa lepas juga menyambut pidato Romo Budi ketika menganalogikan pertemuan saat itu dengan perjumpaan masyarakat dengan calon presidennya. Kegaduhan seperti itu justru memperlihatkan keberagaman antarumat beragama, budaya sebagai keindahan, bukan ancaman. Hal yang selalu disuarakan oleh pria berambut gondrong itu ialah keberagaman dan toleransi yang harus dijunjung tinggi.
Semangat Romo Budi terhadap keberagaman dan sikap toleransi sangatlah kuat. Ini terbukti dengan penjabarannya yang ia susun untuk sabda yang disampaikan dalam perayaan Ekaristi ibadah Minggu itu. Sabda yang akan ia sampaikan dikutip dari Injil Lukas bab 4 ayat 20-24. Substansi dari ayat tersebut mengandung pesan: terkadang tidak mudah menerima orang baik yang sudah kita kenal, sehingga hari ini menjadi tantangan untuk menerima orang baik di sekeliling kita agar terwujud kerja sama.
Ruang makan mulai lengang karena para jemaat Katolik telah berpindah ruang. Gerombolan yang lain menelusuri tempat retret yang cukup luas ini. Seorang ibu tampak kasak-kusuk di ruang dapur dan berpindah ke ruang makan. Perempuan berparas Tionghoa itu duduk di meja makan. Tubuhnya sudah cukup ringkih menopang banyak beban kehidupan, tetapi teguh komitmennya dalam menjalankan perintah agama.
Lena namanya. Perempuan paruh baya yang pernah aktif di komisi HAK selama 11 tahun. Ia menceritakan sepenggal pengalamannya yang luar biasa dengan bergaul dengan beberapa organisasi yang berinisiasi dalam meneguhkan keberagaman. Ia turut bangga dengan mahasiswa Muslim yang ada di Semarang seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), dll. yang tetap konsisten bergabung dengan komunitas antarumat beragama.
“Nanti kan kita mau mengadakan acara tanggal 26 April seperti biasa, yaitu Paskah, tetapi pengisinya ada beberapa pemuka agama, dan akan ada panggung atau karnaval, tapi nanti tampil bersama saja. Ada yang dari Unika dan Unwahas tampil bersama. Wah itu kan bagus, tampil di masyarakat dan kita bergerak untuk itu,” harap Lena, perempuan asal Surabaya.
Matahari sudah di atas kepala, namun teriknya tak begitu menyengat. Mungkin sinarnya malu dengan banyaknya pepohonan dan desain ruang yang menyatu dengan alam. Para jemaat Katolik telah bersiap memasuki ruang kecil yang disebut Kapel untuk melakukan Ekaristi.
Kapel merupakan gereja kecil dengan nuansa yang hampir sama dengan gereja. Banyak hiasan-hiasan bernuansa peribadatan Katolik berada di sana. Mereka memulai perayaan Ekaristi dan tidak merasa terganggu dengan keberadaan pengunjung Muslim yang mengamati ibadah mereka. Suasana ibadah tetap khidmat dan khusyuk.
Kerukunan antarumat beragama dalam klenteng
Berduyun-duyun masyarakat di wilayah Semarang datang ke Pasar Imlek Semawis Semarang. Masyarakat etnis Tionghoa cukup mendominasi keramaian pasar. Ini bukan menjadi aling-aling bagi masyarakat Muslim berkunjung ke sana. Kedatangan pengunjung disambut dengan photo booth yang banyak menampilkan gambar babi. Tidak salah memang, karena tahun baru Imlek kali ini memiliki shio babi, dan dalam kepercayaan mereka berarti baik.
Sepanjang lorong jalan itu ramai dengan pedagang. Di sepanjang perjalanan berdiri megah beberapa bangunan klenteng dengan warna khasnya, merah. Beberapa yang bisa ditemui ialah Kelenteng Sinar Samudra, Tong Pek Bio, dan masih ada lainnya. Aroma khas klenteng menyeruak dan menyebar hingga ke luar jalanan.
Klenteng Tong Pek Bio didirikan 154 tahun silam. Lamanya usia bangunan klenteng semakin menunjukkan kekokohan bangunannya. Di klenteng ini yang dipuja ialah dewa bumi, sesusai dengan keberadaannya yang strategis serta dianggap mampu menghalau hawa negatif dari luar.
Merah berarti bahagia. Kebahagiaan tersebut tidak terkhususkan kepada umat Konghucu atau Budha. Masyarakat yang berkeyakinan selain Konghucu berhak memasuki klenteng meskiprun sekadar berswafoto.
Keterbukaan sikap warga klenteng ditunjukkan oleh Bedjo Santosa, salah seorang pria dari etnis Tionghoa. Ia bercerita tentang Gus Dur yang disebut sebagai bapak Tionghoa. Tidak hanya itu, menurutnya di daerah Semarang terkhusus di Pecinan tidak ada konflik antarumat bergama.
“Gus Dur diangkat menjadi bapak Tionghoa. Di sini tidak ada perbedaan dan toleransinya tinggi. Ini mohon maaf ya, di sini juga ada Muslim yang bekerja di klenteng sini namanya pak Budi. Dan bahkan saat perayaan Imlek masyarakat Muslim turut membantu bersih-bersih juga turut berdagang di pasar Imlek Semawis,” papar Bedjo dengan ekspresi paras khas etnis Tionghoa.
Hal senada disampaikan salah seorang warga Tionghoa yang sedang duduk di teras Kelenteng Sinar Samudra. “Kita semuanya sama-sama saling menjaga keharmonisan, misal apabila waktu umat Muslim beribadah silahkan ibadah kemudian lanjut bekerja di Kelenteng. Toleransi yang terbangun berawal dari kesadaran moralitas baik yang diajarkan oleh masing-masing agama” ucap Haryanto mantan administrasi Kelenteng Thai Kyak Shi.
Di tengah obrolan yang cukup renyah, seorang pria bernama Agus Prasetyo merupakan salah satu warga Muslim yang menjadi bio kong (petugas kebersihan). Pria berkulit sawo matang yang sedari tadi duduk mendengarkan obrolan ternyata menyambut dengan hangat obrolan yang ada.
“Di sini baru sih, baru setengah tahunan. Perasaannya seneng aja bekerja di sini, karena dari dulu seneng aja bisa ikut perayaan Imlek,” jelas Haryanto
Sepanjang lorong bisa ditemui beragam jenis pengunjung dan pedagang. Mereka turut memeriahkan Imlek dengan tujuannya masing-masing. Seperti yang dilakukan Khoiriyah, salah satu pedagang yang juga merupakan umat Muslim dari Semarang.
“Berdagang di sini sudah lama sejak awal adanya perayaan Imlek sampai sekarang. Ya sudah bertahun-tahun. Namanya juga mencari rejeki ya gak papa. Tidak ada sentimen dari orang Cina. Bahkan pembelinya banyak yang Cina. Jualan di sini juga rame, apalagi kalau malam pasti habis jualannya,” tutur perempuan sebagai penjual es puter.
Sikap toleransi telah dipancarkan oleh kedua tempat ibadah di atas. Sekurang-kurangnya kondisi demikian mampu menepis maraknya konflik antarumat beragama. Mengutip data dari eLSA Semarang yang ditampilkan dalam bentuk infografis, setidaknya terdapat 9 konflik horizontal atas nama agama sepanjang tahun 2018. Dengan begitu, kiranya corak kehidupan yang ditunjukkan oleh kedua tempat ibadah mampu menjadi contoh antarumat beragama lainnya.
** Salwa Nida adalah jurnalis LPM Justisia UIN Walisongo, peserta workshop pers mahasiswa SEJUK di Semarang, 1-4 Februari 2019.