Mami Jeni Rossa seorang transpuan dari Serang berkisah tentang berbagai penelantaran hak-hak transpuan yang dilakukan oleh pemerintah. Transpuan paruh baya ini menceritakan nasib kawan-kawan transpuannya yang terinfeksi HIV sampai pernah ada yang meninggal berhari-hari tetapi dibiarkan di rumah sakit karena tidak punya identitas.
Dari akses kesehatan hingga mengklaim BPJS Ketenagakerjaan (TK) bagi yang sudah meninggal, menjadi perjuangan yang tidak mudah untuk kalangan transpuan, meskipun mereka rutin membayar iuran.
“Klaim BPJS TK waria lansia sulit didapatkan ketika ada dari kawan kami yang meninggal. Padahal mereka adalah anggota yang membayar iuran BPJS TK. Akhirnya dua bulan ini kami tak lagi membayar iuran BPJS TK,” papar Mami Jeni dari Ikatan Waria Banten (IWABA) dengan nada sangat kecewa.
Upaya advokasi dan dialog pun telah ditempuh kalangan transpuan yang digerakkan Suara Kita lewat Jaringan Komunitas untuk BPJS TK sejak tahun lalu, dari mulai mendatangi kantor cabang BPJS TK Salemba, Kanwil BPJS TK DKI Jakarta, kantor pusat BPJS TK, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Komnas HAM, dan Kemnaker RI. Sialnya, sampai hari ini belum ada kebijakan dan aturan yang memastikan agar warga rentan seperti transpuan yang menjadi anggota BPJS TK dijamin negara.
Isu BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK) menjadi salah satu yang Mami Jeni angkat dalam kunjungannya ke media di Serang, Banten News dan Radar Banten, yang difasilitasi Serikat Jurnalis ntuk Keberagaman (SEJUK) yang didukung leh USAID dan Internews. Kegiatan ini digelar pada 8 Agustus 2024 dengan melibatkan berbagai komunitas marjinal di wilayah Banten, baik berbasis identitas gender dan seksualitas, agama atau keyakinan, disabilitas, pendamping HIV maupun pekerja seks, dan LBH Pijar Harapan Rakyat.
Di tempat terpisah, Hartoyo selaku Koordinator Jaringan Komunitas untuk BPJS TK (JKU BPJS TK) menyampaikan proses advokasi yang tampaknya belum mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah.
“Sudah ada 9 transpuan yang meninggal dan mengajukan klaim. 2 peserta BPJS TK klaimnya bisa cair sejumlah 42 juta, karena ada keluarga yang menerimanya. Sebanyak 6 peserta klaim hanya keluar untuk biaya penguburan sebesar 10 juta, 32 juta sisanya tidak cair”.
“Sementara, 1 peserta ditolak dan tidak mendapatkan semuanya, padahal ia membayar iuran. Ini menimpa mendiang Ruk Maya yang tinggal di panti jompo waria yang didirikan Mami Yuli di Depok untuk menampung dan menjadi rumah singgah transpuan,” ungkap Toyo setelah audiensi dan menyerahkan Kertas Kebijakan atas revisi dan rekomendasi terhadap Permenaker No. 5 Tahun 2021 di Gedung Kemnaker RI di Jakarta Selatan (13/8).
Karena itulah, lanjut Toyo, Mami Yuli turut mengadvokasi isu BPJS TK ke Kemnaker RI (13 Agustus 2024) karena membawa misi memperjuangkan nasib para transpuan lansia.
“Kami yang tergabung dalam JKU BPJS TK telah menyerahkan Kertas Kebijakan sebagai masukan untuk merevisi Permenaker. Sebab, Permenaker inilah yang dijadikan panduan pelaksanaan teknis bagi lembaga BPJS TK,” ujar Toyo.
Padahal, menurut Toyo, menjadi tanggung jawab negara dengan program Sistem Jaminan Sosial Nasional yang meliputi jaminan kesehatan (JKN), jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT) sampai jaminan kematian (JKM), bagi seluruh warga Indonesia melalui iuran, sebagaimana termaktub dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Lebih mendasar lagi, Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Nyatanya, nasib transpuan lansia, terlebih yang terusir atau tak punya keluarga belum merdeka bahkan duit mereka dihisap negara.
“Kertas Kebijakan atas revisi dan rekomendasi terhadap Permenaker No. 5 Tahun 2021 sudah diterima oleh Pak Anwar Sanusi, Sekjen Kemnaker RI. Beliau berjanji akan meneruskan ke atasannya,” kata Toyo dengan penuh harapan ada respon dan perhatian baik dari pemerintah.[]