
“Kami dilempari batu waktu bikin acara di Pantai Losari. Tidak hanya dikejar-kejar Satpol PP, setiap kami terlihat kumpul-kumpul menjalankan aktivitas bersama selalu dibubarkan,” begitu ungkap Eman ketika memberikan kesaksian tentang diskriminasi yang dialami transpuan atau transgender perempuan di Makassar.
Kesaksian itu disampaikan aktivis Komunitas Sehati Makassar, Eman, ketika di suatu pagi (29/9) beberapa jurnalis dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Maumere bertanya bagaimana cara media mengakses komunitas LGBT dan memberitakan kegiatan-kegiatannya.
Sangat sulit bagi komunitas LGBT membuat acara dan mendapat hak-hak konstitusionalnya untuk berkumpul dan berserikat. Izin melakukan kegiatan saja, lanjut Eman, tidak pernah diberikan aparat.
Salah kaprah masyarakat disebabkan hoaks atau disinformasi. Ketika komunitas LGBT beraktivitas memperjuangkan hak-hak dasarnya untuk berekspresi, mendapatkan fasilitas-fasilitas publik dan akses pekerjaan sebagaimana warga negara lainnya, dituduh sedang menuntut pernikahan sesama jenis. Padahal itu tidak pernah terpikir dalam benak komunitas.
“Ketika kami berkumpul bersama, tujuannya membangun komunikasi satu sama lain dan keoercayaan diri. Tidak ada tujuan untuk mempengaruhi dan memperbanyak anggota,” ujar Eman mengklarifikasi tuduhan-tuduhan di masyarakat yang sama sekali tidak berdasar.

Mengusir Ketakutan Masyarakat terhadap LGBT
WHO, organisasi kesehatan dunia di PBB, sudah menetapkan bahwa transgender bukan kategori penyakit atau gangguan mental. Jadi, seperti orientasi seksual lesbian, gay, biseksual dan non-hetero lainnya, transgender bukanlah penyakit yang menular. Sehingga, bagi Eman dan temannya IB yang orientasi seksualnya gay sangat heran dengan ketakutan-ketakutan yang tak beralasan dari pemerintah dan masyarakat.
“Kami harus berpura-pura atau menyembunyikan ekspresi feminin kami agar diterima oleh publik,” tutur IB yang mengisahkan situasi komunitas LGBT beberapa tahun belakangan yang semakin mendapatkan tekanan dari pemerintah atau aparat dan masyarakat yang berdampak juga pada kesulitan komunitas untuk mengakses fasilitas-fasilitas umum atau milik publik.
Dia merasakan dan meyakini bahwa LGBT itu “given”. Sejak lahir dan kini dewasa, dirinya tak pernah mempunyai ketertarikan secara romantis dan seksual kepada perempuan.
“Kalau boleh memilih dan meminta kepada Tuhan, kami juga ingin dilahirkan dan hidup seperti kalian saja yang hetero, tidak disingkirkan seperti kami,” kata IB.
Untuk itu, menurut Eman dan IB, penting bagi kawan-kawan media agar memberikan pemahaman kepada publik dan negara agar menghormati keberagaman seksual warganya.
“Kami tidak menuntut macam-macam seperti pernikahan sesama jenis, hanya ingin hak-hak (kami) disamakan sebagai warga negara. Dihargai dan dilindungi,” tegas IB di hadapan 25 jurnalis peserta Workshop Meliput Keberagaman Gender dan Seksualitas.
Kegiatan yang digelar 28-29 September lalu adalah kerjasama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan AJI Kota Makassar. Ini merupakan ikhtiar menjembatani komunikasi dan kesepamahaman antara praktisi media atau insan pers dengan komunitas LGBT dalam mendorong Indonesia yang inklusif.
Eman dan IB sangat berharap agar media memberikan pemahaman yang benar lewat pemberitaannya tentang realitas keberagaman gender dan seksual, sehingga masyarakat dan negara tidak membenci dan menyingkirkan warga LGBT. []