Foto-foto dan video kerja sama muda mudi lintas iman di Padang menjelang Imlek 2572 menjadi pemandangan sangat menyejukkan di media sosial. Pasalnya, intoleransi dan diskriminasi di Sumatera Barat (Sumbar) beberapa tahun terakhir menjadi semakin normal, tak ada pihak yang berani menggugatnya.
Ketika Sudarto melawan praktik tidak adil atas pelarangan ibadah Natal 2019 lalu di Sijunjung dan Dharmasraya, ia malah diancam dengan kriminalisasi. Setidaknya, terdapat daftar panjang diskriminasi yang bisa disebut, seperti penentangan pendirian rumah ibadah non-muslim, pelarangan ibadah Natal, penolakan upacara ngaben umat Hindu, sampai kemudian awal tahun ini viral pemaksaan jilbab di sekolah-sekolah negeri yang aturannya berlaku sejak terbitnya instruksi Wali Kota Padang tahun 2005.
“Kami dari Pelita Padang berinisiatif ikut membantu proses pemasangan tenglong (lampion) di Graha Samatha Giri sembari belajar tentang makna perayaan Imlek,” ungkap pegiat toleransi dan perdamaian di Sumbar Angelique Maria Cuaca.
Menurut Like, Pelita (Pemuda Lintas Agama) Padang adalah komunitas kepemudaan yang berasal dari beragam latar belakang agama dan dibentuk 2019. Sejak itu Like, sapaan akrab Angelique, sebagai co-founder Pelita Padang terus mengajak orang muda untuk lebih peduli dan tergerak menyuarakan semangat toleransi dan perdamaian. Untuk itu Pelita pun berpartisipasi dalam Imlek.
Sembari bekerja sama memasang lampion Jumat lalu (5/2), sambung Like, muda mudi dari Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha ini ditemani Bhante Viriya Phalo yang memaparkan makna lampion dan kebiasaan orang Tionghoa Padang. Mereka pun belajar tentang arti perayaan Imlek bagi umat Buddha yang beretnis Tionghoa.
Dari perjumpaan ini para anggota Pelita dapat memahami maksud Graha Samatha Giri, tempat melatih diri dan olah rasa umat Buddha, melakukan kebiasaan pemasangan lampion yang berwarna merah sebagai lambang harapan baru di tahun baru Cina. Ini tradisi kebudayaan, karena mayoritas umat di Graha beretnis Tionghoa. Graha menghormati kebudayaan dari umat, karena agama Buddha selalu menghargai kebudayaan umatnya.
Bagi Like, kasus pemaksaan jilbab siswi-siswi non-muslim membuka mata publik Indonesia tentang pentingnya toleransi dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika agar hidup dalam keseharian masyarakat Sumbar yang heterogen. Beruntungnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim “turun tangan,” meski masih menyisakan diskriminasi lainnya terhadap pendidik dan peserta didik di Aceh yang dikecualikan dari Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama) tentang Pakaian Seragam di Sekolah.
Meski masih terbatas anggotanya, Like menegaskan, Pelita Padang bergerak melalui perjuangan-perjuangan kecil yang bisa berdampak pada kemajuan-kemajuan penghormatan pada fakta keberagaman di Sumbar.
“Kadang kami ingin menyelesaikan masalah besar, tapi kurang pasukan dan khawatir kelelahan dan menjadi pesimis. Padahal nafas perjuangan di Sumatera Barat ini mesti panjang,” ujar Like yang terus mengonsolidasikan muda mudi dari Islam maupun non-muslim.
Ia merasa sangat optimis dengan bergabungnya orang muda Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Ahmadiyah di Pelita Padang. Dari aksi-aksi sederhana yang akan terus diupayakan Pelita, Like berharap persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Sumbar berangsur membaik. Walaupun masih panjang dan penuh tantangan, sambung Like, harapannya warga non-muslim kelak mendapat jaminan dalam mendirikan rumah ibadah dan beribadah secara nyaman sebagaimana dilakukan umat Islam sehari-hari.
“Setidaknya umat Kristen dan Katolik di Dharmasraya tidak ibadah Natal ke Sungai Rumbai dan yang dari Sijunjung ke Sawahlunto yang jaraknya sama-sama sangat jauh,” harap Like.
Pada kesempatan yang sama, di Jumat malam (5/2/2021) saat pemasangan lampion oleh muda mudi Pelita, selain menyampaikan rasa terima kasihnya, Bhante Viriya Phalo juga sangat mengapresiasi kegiatan yang menurutnya menjadi contoh yang baik sekali untuk masyarakat Sumbar dan Indonesia secara umum.
Meskipun usianya belum genap 2 tahun tetapi di mata Banthe Viriya Phalo kiprah Pelita Padang sudah menginspirasi bagi terbangunnya aksi-aksi yang dapat mengumpulkan orang muda dari beragam keyakinan untuk bersatu, saling membantu dan melengkapi, tak ada sekat antara satu dengan lainnya.
“Ada suatu komunitas yang berperan serta dalam kegiatan-kegiatan sosial bukan hanya di tempat ini saja (Graha Samatha Giri). Banthe juga melihat mereka (Pelita Padang) melakukannya di gereja dan masjid. Hal positif ini perlu terus dikembangkan,” pungkas Bhante Viriya.[]