“Banyak sekali jurnalis yang tidak mengetahui Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman yang telah disahkan Dewan Pers. Padahal kebanyakan reporter tidak paham cara meliput persoalan agama dan isu-isu keberagaman lainnya,” kata Wakil Pimpinan Redaksi IDN Times Umi Kalsum.
Pelatihan internal di media untuk para reporter, menurut Umi Kalsum, sangat penting digelar agar mereka menjalankan prinsip-prinsip jurnalistik ketika memberitakan isu keberagaman. Ini yang dilakukan di media yang mendaku sebagai suaranya orang muda, milenial dan genersi Z, dan yang mempunyai jargon “Diversity is Beautiful.” Begitupun kantor media harus menyediakan SOP penanganan kekerasan seksual.
Hal tersebut disampaikan Umi Kalsum dalam diskusi bersama kalangan editor media nasional dan daerah dari Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan USAID dan Search for Common Ground (SFCG) pada Kamis, 13 April 2023. Ia sangat berharap Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman tidak sekadar menambah aturan di Dewan Pers, tetapi menjadi instrumen yang dapat memandu jurnalis dan media dalam memberitakan kelompok minoritas.
Dalam diskusi terbatas (FGD) bertema “Jurnalisme Berperspektif Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan menjelang Pemilu Serentak 2024” ini berbagai tantangan yang dihadapi oleh jurnalis, jajaran editor atau produser, dan media dalam memberitakan isu-isu keberagaman digali dan dipetakan bersama berdasarkan pengalaman masing-masing di medianya.
Mereka mengalami pergumulan ketika mengangkat isu-isu kebebasan beragama atau berkeyakinan, sebab rentan sekali memicu kemarahan kelompok-kelompok dominan atau ormas keagamaan yang diberitakan lantaran keterlibatannya dalam tindakan intoleransi, diskriminasi, bahkan persekusi.
Ancaman dan Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan
Beberapa media diancam bahkan didatangi kantornya. Jurnalisnya mengalami ancaman, kekerasan, dan pelecehan, baik secara fisik maupun digital.
Teranyar, jurnalis Tempo Shinta Maharani mengalami tekanan dan ancaman karena membongkar aktor-aktor intoleransi terhadap Rumah Doa Sasana Adhi Rasa St. Yacobus, Bumirejo, Lendah, Kulonprogo, Yogyakarta, yang berujung pada penutupan patung Bunda Maria dengan terpal biru oleh pengelola.
“Shinta sekarang di rumah aman. Tempo akan terus mengungkap isu-isu intoleransi dan memajukan kebebasan beragama, meski mendapat tekanan dan ancaman,” ujar redaktur utama nasional Tempo.co Juli Hantoro kepada 33 peserta FGD yang terdiri dari kalangan editor media mainstream, perwakilan Dewan Pers, peneliti Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Campaign.com, Indika Foundation, SFCG, SEJUK, USAID, dan US Embassy.
Juli menegaskan bahwa medianya tidak akan tunduk pada tekanan-tekanan kelompok intoleran. Beberapa kali medianya didatangi dan diteror oleh kelompok intoleran, tetapi Tempo memilih mengajak dialog sebagai ruang untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan, ketimbang menghindarinya. Karena itu, Tempo tetap tegas menayangkan dua laporan Shinta Maharani yang diminta oleh pimpinan Gerakan Pemuda Kabah (GPK) agar diturunkan.
Jurnalis perempuan sangat rentan mengalami ancaman fisik dan digital, sebagaimana dialami Shinta Maharani. Wakil Pemimpin Redaksi Liputan6.com Elin Yunita Kristanti turut membeberkan bahwa apa yang dialami Shinta juga banyak dialami jurnalis-jurnalis perempuan lainnya di berbagai media, terutama media online.
“Bukan hanya ancaman fisik, jurnalis perempuan juga banyak yang mendapat intimidasi atau serangan digital seperti di-doxing dan terror lainnya yang menarget jurnalis dan keluarganya,” ujar Elin.
Selain isu keberagaman bagi media kalah menarik dan dianggap tidak mengangkat views atau klik ketimbang isu-isu lainnya seperti korupsi dan politik, perspektif jurnalis juga secara umum masih sangat lemah dalam memberitakan isu ini. Mereka baru akan mengangkat isu keberagaman ketika terjadi konflik yang serius dan viral di media sosial.
Masalahnya, menurut Wakil Pemimpin Redaksi Suara.com Reza Gunadha, sentimen agama atau keyakinan jurnalis turut menentukan karya-karya jurnalistik dengan tone pemberitaan yang justru menguatkan stigma kelompok minoritas keagamaan.
“Media-media memberitakan isu agama atau keyakinan berbasis kasus. Pemberitaan para jurnalis, terlebih reporter-reporter di daerah, masih banyak mengidap implicit bias dan stigma terhadap yang berbeda,” tutur Reza yang pernah bertugas sebagai jurnalis di wilayah Lampung, Yogyakarta, dan sekarang di Jakarta.
Dalam FGD yang digelar di Ashley Hotel Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang disambut oleh Advisor USAID bidang Rule of Law Dondy Sentya, kalangan editor mengakui, jurnalis atau reporter dan media di daerah-daerah mendapat ancaman langsung tak hanya dari ormas, juga pemerintah daerah dan aparat. Sebab, mereka adalah sumber pemberitaan bahkan pengiklan.
“Jurnalis kami diintervensi aparat Polres Kulonprogo. Karena kami yang pertama beritakan penutupan patung Bunda Maria, lalu netizen menstempel berita kami sebagai hoaks,” sesal Bhekti editor Harian Jogja.
Ikhtiar-ikhtiar Media Mengadvokasi Kebebasan Beragama
Kecenderungan kekerasan dan ancaman yang tidak tampak berhenti terhadap kerja-kerja jurnalistik yang mengadvokasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, mendorong para peserta menyampaikan rekomendasi pertemuan. Editor Solopos Mariyana Ricky P.D yang sekaligus Wakil Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta membagikan pengalaman kalangan jurnalis di daerahnya dalam upaya menjadikan media sebagai ruang aman bagi kelompok minoritas.
“Kami di kalangan jurnalis selama ini menyepakati untuk tidak memberikan ‘panggung’ bagi kelompok dan tokoh-tokoh intoleran dalam pemberitaan,” ungkap perempuan yang akrab disapa Nana.
Itu salah satu cara untuk menjaga jarak dengan narasumber di daerah yang kerap mengancam independensi media, selain juga para jurnalis tidak boleh tergantung terhadap narasumber aparat atau pejabat dan pimpinan daerah yang diskriminatif.
Menambahkan catatan-catatan di atas, penting juga tidak menyebut nama kelompok yang berkonflik yang berkaitan dengan identitas agama, etnis, ras ataupun suku yang dapat mengobarkan ketegangan yang memicu kekerasan. Karena itulah media harus menahan diri atas pemberitaan isu agama yang dapat memprovokasi konflik dan kekerasan. Di sinilah penting menyediakan stylebook di internal media seputar liputan isu keberagaman.
Dengan berbagai kerentanan di atas, yang disinyalir oleh para editor akan semakin meningkat saat penyelenggaraan Pemilu serentak 2024, maka kerja sama media dan jurnalis tidak hanya dilakukan dengan organisasi profesi jurnalis, asosiasi perusahaan media, dan lembaga payung (Dewan Pers), tetapi juga dengan organisasi masyarakat sipil, kelompok minoritas. Sehingga, membangun jejaring dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam perlindungan jurnalis seperti LBH Pers, AJI, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), SAFEnet, dan sejenisnya adalah kemestian.
Era disrupsi informasi mendesak media untuk memperbanyak kolaborasi media dengan kalangan influencer atau content creator. Kerja sama dan keterlibatan berbagai pihak tersebut akan ditempuh dalam kaitannya mengoperasikan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman agar tidak sekadar menambah aturan Dewan Pers yang kemudian tidak diterapkan dan dipatuhi media, tetapi bersama-sama mengawal agar kerja-kerja jurnalistik bersetia pada pedoman yang 1 November 2022 lalu disahkan Dewan Pers.
Kesinambungan
Untuk itu, inisiatif Dewan Pers menciptakan pers Indonesia ramah kelompok minoritas yang beragam, lewat pengesahan pedoman di atas, penting agar terimplementasi di media-media, baik nasional maupun daerah, terutama di tahun politik. SEJUK secara intens menyosialisasikan pedoman tersebut beserta indikator-indikatornya (sedang disusun) melalui pelatihan untuk para jurnalis dan bersama kelompok minoritas berkunjung dan berdialog di kantor-kantor media di daerah-daerah, sesekali di newsroom atau media outlet nasioanal. Pedoman Dewan Pers ini juga disampaikan pada pelatihan-pelatihan advokasi dan kampanye media untuk orang muda dari berbagai komunitas marginal.
Program Officer Search for Common Ground (SFCG) Gracia Respati memaparkan program baru lembaganya, CREDIBLE, akan bergerak untuk mendorong prinsip kebebasan beragama atau berkeyakinan dan nilai-nilai pluralisme di Indonesia yang akan banyak bekerja dengan media dan orang muda.
“Kami akan bekerja sama dengan SEJUK untuk memantau dan membahas narasi-narasi keberagaman yang muncul di media sepanjang 2023-2024. Kami akan menggelar lokakarya seputar isu kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk dengan kalangan jurnalis dan editor, di beberapa wilayah untuk mengangkat narasi-narasi lokal. Di akhir proyek akan ada refleksi bersama membicarakan keberlanjutannya,” tutup Gracia.[]