Sekolah Sore Arum Dalu Sehat di lokalisasi Bong Suwung, Yogyakarta
Tommy Apriando
Koordinator Divisi Advokasi AJI Yogyakarta
Ahmad Arifin hampir setahun mendatangi satu lokalisasi ke lokalisasi lain. Pria berkulit sawo matang dan berambut ikal hitam seleher ini mendampingi para pekerja seks di Kota Yogyakarta. Ia didapuk menjadi koordinator pengorganisasian komunitas Perempuan Pekerja Seks dan Komunitas Desa oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Yogyakarta.
“Masih banyak diskriminasi terhadap pekerja seks. Mereka juga manusia, tak boleh dibeda-bedakan oleh negara,” kata Arifin.
Senin malam (25/6) ia kembali berkunjung ke lokalisasi Bong Suwung, Kecamatan Gedongtengan, Kota Yogyakarta. Baginya aktivitas yang ia lakukan sebuah kerja kemanusiaan.
Malam itu, motor Arifin diparkir tepat di seberang Kantor Kecamatan Gedongtengen. Ia berjalan melewati gang-gang sempit berkukuran 1.5 meter. Kiri dan kanan jalan tampak bilik-bilik kamar dan warung terbuat dari kayu beratap seng yang sudah berkarat.
Seratus meter dari parkiran, ia tiba di pinggiran rel kereta. Jaraknya tak jauh dari stasiun Tugu Jogja. Warung-warung kopi di sisi selatan dan utara rel sudah mulai buka. Lampu hanya menyinari warung dan bilik kamar, sedangkan di pinggiran rel gelap. Sesekali terang tersinari lampu kereta yang melintas.
Jam 7 malam, beberapa pekerja seks dan waria sudah mulai datang. Para pekerja seks di Bong Suwung, tutur Arifin, ada yang tinggal di Yogyakarta dan sebagian pendatang dari beberapa daerah di Jawa Tengah.
Sudah lima tahun lebih pekerja seks di tempat ini berserikat, namanya Arum Dalu Sehat. Tujuannya agar sesama pekerja seks saling memberikan edukasi kesehatan maupun sebagai ruang mengadu bagaimana menyikapi setiap ancaman kekerasan yang dilakukan klien mereka.
“Pernah ada kejadian kekerasan, dipukul dan tak dibayar klien. Mereka lapor ke polisi. Awalnya tak direspon, namun kini (sejak berhimpun di Arum Dalu Sehat) ditanggapi,” kata Arifin.
Sebagai serikat pekerja seks, Arum Dalu Sehat tak hanya mengedukasi para kolega pekerja seks, namun jadi wadah memecahkan masalah bersama ketika ada garukan atau razia aparat, kala ada yang sakit, juga menjadi wadah pendampingan kolega yang menjadi korban kekerasan dari klien.
Minggu lalu, lanjut Arifin menceritakan apa yang ia ketahui selama pendampingan, mereka datang ke Kabupaten Gunung Kidul, bertemu pekerja seks lainnya untuk mengajarkan pentingnya kesehatan reproduksi dan advokasi. Banyak yang belum tahu cara mendapatkan layanan gratis mendeteksi HIV atau VCT (Voluntary Counseling Testing). Jika periksa dan pengobatan infeksi menular seksual (IMS) di rumah sakit swasta atau secara mandiri biayanya berkisar 750 ribu rupiah, tergantung tingkat keparahan dan penanganan yang diberikan.
“Di Jogja dan Sleman, perempuan pekerja seks melakukan test VCT dilakukan rutin dan dapat layanan gratis dari pemerintah. Bahkan ketika mereka sakit di luar persoalan kesehatan reproduksi juga gratis,” sambung Arifin.
Arifin gembira menjalani pekerjaannya, walau harus keluar masuk dari lokalisasi ke lokalisasi. Ia belajar banyak dari para pekerja seks tentang kemanusian dan saling menghargai sesama.
Ancaman Pembongkaran Lokalisasi Bong Suwung
Malam di Bong Suwung, Arifin dan saya bertemu seorang pekerja seks yang akrab disapa Nia. Perempuan kelahiran Bantul, Yogyakarta, 28 tahun lalu ini dipilih para kolega pekerja seks sebagai ketua Arum Dalu Sehat, sejak tahun 2014 lalu.
Malam itu, sosok berambut lurus panjang, pirang, dan berkulit putih ini membawa belasan pekerja seni datang ke Bong Suwung. Mereka membuat mural di lokalisasi, tepatnya di depan bilik kamar dan warung miliknya. Beberapa pekerja seks datang sekadar melihat apa yang dilakukan para seniman.
“Kami memilih kerjaan ini sebagai pilihan bukan paksaan. Dengan berserikat kami bisa saling mengawasi, mengedukasi dan membantu, terutama terkait kesehatan reproduksi,” ungkap Nia sambil menyaksikan para pekerja seni memamerkan kelihaian mereka menggoreskan pesan-pesan anti-diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok rentan.
Nia menjelaskan, Arum Dalu Sehat rutin menggelar pemeriksaan kesehatan secara gratis karena mempunyai kesepakatan bersama dengan Puskesmas untuk periksa Infeksi Menular Seksual dan VCT. Terkadang mereka test di kantor PKBI, namun butuh waktu antri lebih lama, sehingga lebih senang ke Puskesmas.
Di Bong Suwung, kata Nia, kesadaran kesehatan reproduksi menjadi fokus utama para pekerja seks. Sosialisasi pemakaian kondom, pengetahuan tentang IMS dan tes VCT selalu diingatkan. Ia selalu menegaskan kepada rekan-rekan seprofesi bahwa tidak boleh ada pekerja seks di bawah umur.
“Di sini tak boleh ada pekerja seks di bawah umur. Kesadaran pentingnya kesehatan reproduksi lebih baik, paling tidak pakai kondom untuk cegah penularan,” Nia menegaskan.
Terdapat outlet kondom di Bong Suwung. Pengeluaran dan masuknya kondom didata dinas kesehatan. Jika dibandingkan dulu, tutur Nia, kini pekerja seks lebih meningkat kesadarannya, bahwa kondom menjadi alat utama penanggulangan IMS. Jika stok kondom habis di outlet, mereka beli di luar, meskipun lebih mahal.
Bong Suwung beberapa kali terancam digusur. Namun bagi Nia dan kolega, ia sadar hal itu suatu saat akan terjadi. Ia tentu sedih dan kecewa jika hal itu terjadi. Selama ini, kata Nia, hidup mereka sudah banyak mendapat diskriminasi dari masyarakat, menganggap bahwa yang dilakukan mereka suatu perbuatan tercela dan berdosa.
Tetapi Nia menyampaikan pesan, jika penggusuran dilakukan tanpa ada solusi tepat, bisa mempersulit kontrol dan pencegahan pemerintah terhadap HIV/AIDS.
“Saya yakin pemerintah sulit menanggulangi HIV jika dibongkar. Otomatis pekerja seks di sini akan berkeliaran dan penyebarannya cepat dan meluas,” kata Nia.
Harapan Nia sederhana, ia ingin pekerja seks tak dipandang sebelah mata. Pekerjaan itu tak merugikan orang lain. Bahkan, ujar Nia, pekerjaan ini membuat orang lain bahagia. Jikapun dosa, yang menanggung juga bukan mereka yang mencemooh dan menolak para pekerja seks, namun dirinya dan kolega. Karena itu ia sangat berharap agar tidak ada lagi stigma dan diskriminasi terhadap dirinya dan para koleganya.
“Kita sama-sama warga negara, kami tak merugikan orang lain,” kata Nia.
Selama jadi ketua Arum Dalu, Nia tak ingin anak-anak yang tinggal di Bong Suwung terenggut dunia kecil mereka. Bersama Yayasan Realino, ia membuat Sekolah Sore sebagai arena bermain, berkreativitas dan berkesenian. Ia ingin anak-anak tidak mengikuti jejak orang tua mereka kelak. Bahkan para pekerja seks diberikan keterampilan membuat kerajinan tangan berupa kalung, anting dan gelang, sebagai usaha sampingan.
“Jika dibina dinas sosial terkadang sasarannya tidak tepat. Di Arum Dalu anak dibiarkan bermain dan berkreativitas dan para pekerja seks ikut berketerampilan dan cari uang sampingan,” kata Nia.
Bagi Nia, pekerjaan yang ia lakukan adalah suatu kehormatan. Ia diberikan kesempatan membantu sesama manusia yang masih dimarjinalkan manusia lain dan pemerintah. Ia bahkan keliling dari lokalisasi ke lokalisasi lainnya di sekitar Yogyakarta untuk memberikan edukasi dan advokasi tentang pentingnya kesehatan reproduksi dan bahaya penyakit menular seksual. Setelah berkunjung ke Gunung Kidul, ia akan keliling ke kabupaten lainnya agar bisa saling membantu dan mencegah HIV/AIDS.
“Kami rentan akan terkena HIV, tapi kami wajib sadar mencegahnya. Kondom sebagai alat, tapi kesadaran para pekerja seks lebih utama,” kata Nia.
Pembuatan mural di lokalisasi Bong Suwung, Yogyakarta
Mencegah dan Menekan HIV/AIDS
Dokter Tri Kusumo Bawono sangat akrab dengan pekerja seks, terutama di Bong Suwung dan Pasar Kembang atau dikenal Sarkem. Sejak tahun 2004 ia sudah bertugas di Puskesmas Gedongtengen. Ia pun kini menjadi kepala Puskesmas di tempat yang sama. Tempat ia dinas berdekatan dengan lokalisasi, bahkan pasiennya mayoritas pekerja seks. Ia tidak takut dan menjalani profesinya seperti biasa, tidak pilih-pilih pasien.
Awal bekerja menjadi dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Gedongtengen, Tri diberikan tugas kepala Puskesmas melakukan pendekatan ke tokoh masyarakat di Pasar Kembang. Ia kala itu ditolak, namun karena membawa itikad baik, berjalannya waktu mereka terbuka.
Aktivitas Tri mengedukasi rutin para pekerja seks terkait penyakit menular seksual, termasuk penggunaan kondom atau pengaman yang benar. Bahkan ia memberikan nomor telpon untuk konsultasi kapanpun dan di manapun. Bagi Tri, kepedulian yang ia lakukan sangat penting mengingat beberapa kali menemukan pasien IMS dan HIV malu mengutarakan kondisinya, sehingga mereka mengalami gangguan mental dan bunuh diri.
“Jika ada yang memperhatikan seperti ini, mereka mau mendapatkan penanganan dan bisa disembuhkan,” kata Tri.
Tri melanjutkan, cara yang ia lakukan membuat para pekerja seks, pengidap HIV maupun IMS yang ingin berkonsultasi menjadi nyaman. Sejak tahun 2009, Puskesmas Gedongtengen menjadi rujukan para pekerja seks, penyandang HIV karena layanannya yang ramah pada penyandang ODHA atau mereka yang mengidap HIV/AIDS.
“Ada jalur one stop service. Mereka tak dibedakan, sama seperti lainnya, bahkan pasien datang dari kota dan kabupaten lain,” kata Tri.
Tri selalu mendorong para pelaku bisnis hiburan malam di wilayah kerjanya agar menyelenggarakan pemeriksaan rutin untuk menekan kasus HIV dan IMS yang bisa saja muncul. Tri juga merangkul Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mendampingi pekerja seks maupun waria untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya pemeriksaan dan pengobatan HIV dan AIDS.
“Tes dan memberikan obat untuk pengidap HIV itu tak butuh lama. Yang lama itu menenangkan mereka jika sudah menangis ketika tahu positif HIV,” kata Tri.
Tri menjelaskan, seseorang berisiko tertular HIV jika sering berganti pasangan, memakai narkotika jenis suntik, pernah menerima atau donor transfusi darah, dan memakai tindik atau tato dengan jarum yang tidak steril. Mereka yang berisiko tersebut diimbau rutin melakukan pengecekan darah. Tes darah bisa dilakukan atas inisiatif sendiri atau lebih dikenal dengan istilah Voluntary Counseling and Testing (VCT). Bisa dilakukan juga berdasarkan rekomendasi petugas kesehatan yang melihat adanya faktor risiko pada seseorang, yang disebut Provider Initiated Test and Counceling (PITC). Istilah ini juga dikenal dengan sebutan KTIP, yakni Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas.
Sementara itu, Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dr. Endang Sri Rahayu mengatakan, pencegahan HIV di Jogja dilakukan dengan obat Antiretroviral (ARV). Di Kota Jogja ARV sudah bisa didapatkan secara gratis dan bisa dilayani di empat puskesmas, yaitu Puskesmas Umbulharjo 1, Mantrijeron, Tegalrejo, dan Gedongtengen.
“Di antara empat puskesmas tersebut, paling banyak pasiennya di Gedongtengen,” kata Endang.
Menurut Endang, banyaknya orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Gedongtengen karena di wilayah tersebut terdapat banyak dihuni pekerja seks. Terutama di kawasan Pasar Kembang dan Bong Suwung. Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) menunjukkan di Kota Jogja akumulasi data jumlah kasus HIV sejak 2004 hingga Oktober 2017 mencapai 1.051 kasus. Khusus 2017 terdapat penambahan 157 kasus HIV baru.
Memakai kondom, kata Endang, sebagai salah satu alat penangkal penyebaran virus HIV/AIDS saat hubungan seks berisiko. Untuk penanggulangan kasus tersebut pelibatan masyarakat dilakukan dengan membentuk Warga Peduli AIDS (WPA) di tingkat kelurahan. Dari 45 kelurahan di Kota Yogyakarta, kini KPA sudah membentuk 25 WPA.
“Ini langkah strategis karena penanggulangan HIV dan AIDS dengan hanya melibatkan pemerintah diyakini tidak akan pernah berhasil. Melibatkan masyarakat, lambat laun stigma negatif terhadap para penderitanya akan berubah,” kata Endang.
Sementara itu, dokter Yanri Wijayanti Subronto, dosen Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada mengatakan, upaya pencegahan terhadap penularan infeksi virus HIV harus terus dilakukan untuk menekan terjadinya penambahan kasus infeksi baru. Pasalnya, angka infeksi baru HIV/AIDS di Indonesia masih cukup tinggi, bahkan merupakan negara dengan peningkatan kasus baru yang tertinggi di kawan Asia Tenggara.
Meskipun program pengobatan sudah mampu menekan angka kematian akibat HIV/AIDS hingga di bawah 2 persen, namun penambahan infeksi baru masih tinggi hingga 20-25 ribu jiwa per tahun. Program pencegahan harus terus diupayakan dan lebih ditingkatkan untuk menekan penambahan jumlah kasus infeksi baru. Pencegahan, sambung Yanri, dapat dilakukan melalui edukasi kepada masyarakat untuk mengenali sejak dini faktor risiko HIV dan AIDS dan berupaya menghindari jalan penularan infeksi.
“Penting untuk mengenali risiko dan status HIV. Status tersebut dapat diketahui dengan melakukan tes HIV. Ada 1.500 pusat tes HIV yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia,” kata Yanri.
Penanganan masyarakat dengan HIV/AIDS (ODHA) di DIY dapat dilakukan di sembilan layanan kesehatan, yaitu RSUP Dr. Sardjito, RSU PKU Muhammadiyah, RS Panti Rapih, dan RS Bethesda. Berikutnya, RS Jogja, RS Panembahan Senopati Bantul, RSUD Sleman, RSUD Wates, serta RSUD Wonosari.
“Terdapat sekitar 500 rumah sakit di Indonesia yang menjadi pusat rujukan ARV,” jelas Yanri.
Tantangannya kini, kata Yanri, masih adanya diskriminasi dan stigma negatif pada ODHA di masyarakat menjadi faktor penghambat keberhasilan program pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi penderita. Tak sedikit ODHA enggan menjalani terapi karena merasa malu akibat anggapan negatif masyarakat. Misalnya, seperti yang terjadi di Klinik Edelweis RSUP Sardjito. Dari sekitar 1.700 kasus hanya 630 orang yang menjalani terapi.
“Hanya sepertiga yang menjalani terapi secara kontinyu. Selebihnya meninggal karena terlambat mendapatkan terapi, bosan terapi lama, dan atau tidak mau terapi karena malu,” kata Yanri.
Ia menyarankan, untuk menanggulangi dan mengendalikan HIV dan AIDS di Indonesia diperlukan peran semua orang. Bagi yang sudah terinfeksi, segeralah mendapat perawatan dan terapi ARV serta tidak menularkannya pada orang lain. Sementara itu, bagi masyarakat umum diharapkan terus meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang HIV, tahu cara mencegah terinfeksi, mengetahui status HIV-nya sendiri dan tidak melakukan stigmatisasi serta diskriminasi terhadap populasi tertentu maupun orang yang terinfeksi.
“Jangan hindari orangnya, tapi hindari penyebabnya,” ajak Yanri.
Gama Triono, Direktur Eksekutif Daerah PKBI DIY mengatakan, pendampingan yang lembaganya lakukan sejak 1993 hingga saat ini terhadap perempuan pekerja seks. PKBI DIY mengambil posisi dan siap bahwa pekerja seks adalah pilihan pekerjaan, orang yang berada dilingkungan tersebut harus dihargai dan negara harus melindungi dan memberikan hak yang sama.
Di tahun 2006, kata Gama, ia membentuk Community Crisis Center, tujuannya mendampingi perempuan pekerja seks yang mengalami kekerasan seksual. Selain itu, tentunya pendampingan kesehatan reproduksi, pengorganisasian dan layanan periksa gratis. Tantangan yang dihadapi saat ini, para pekerja seks selalu dianggap tindakan kriminal, dan didiskriminasi, sehingga ketika terjadi sesuatu terhadap mereka, negara tak bertanggung jawab. Namun, pekerja seks selalu dijadikan bahan jualan politik, contohnya penutupan lokalisasi.
“PKBI menolak penutupan lokalisasi. Bagi kami perlindungan pekerja seks paling nyata ya terlokalisir. Penutupan hanya cari pencitraan politik, apakah berhasil dan selesaikan masalah? Faktanya tidak,” kata Gama.
Lanjut Gama, dampak dari penutupan lokalisasi, pemantauan dan pencegahan HIV akan lebih sulit dilakukan. Saat ini saja, pekerja seks sudah memanfaatkan kemajuan teknologi, atau sering disebut seks online. Namun kesulitannya memberikan perlidungan dan pengorganisiran mereka untuk sadar akan kesehatan reproduksi, masalahnya melalui jalur online mereka sulit terpantau.
Di Jogja para perempuan pekerja seks saling mengedukasi baik soal IMS dan HIV, bahkan mereka lebih tahu banyak hal dibanding perempuan rumah tangga dari basis ekonomi apapun. Angka kasus HIV di Indonesia khusus di Jogja, perempuan rumah tangga 12 persen, perempuan pekerja seks 6 persen. Angka kehamilan tidak diinginkan perempuan rumah tangga di atas 70 persen, pekerja seks tak lebih dari 10 persen.
“Risiko pekerja seks besar untuk terinfeksi HIV lebih besar. Tapi ini menjadi tantang bagi pemerintah untuk mendorong kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di kalangan perempuan rumah tangga,” kata Gama.
Ia menambahkan, PKBI di tahun 2012 hingga 2013 melakukan riset, bahwa yang membuat mereka bertahan menjadi pekerja seks karena menikmati prosesi tersebut, dan menghidupi mereka. Sedangkan soal kesehatan reproduksi memang secara fakta perempuan pekerja seks punya risiko lebih besar, tapi mereka mampu dan sadar dalam meminimalisir risiko.
***
Hujan deras baru saja reda di Bong Suwung, kereta api bergantian melintas. Malam itu, sudah banyak laki-laki datang, memulai pembicaraan di pinggir rel kereta dengan para pekerja seks. Berjarak tiga meter dari mereka saya mendengar pembicaraan mereka, soal negosiasi harga dan ketegasan untuk selalu sehat.
“Pakai komdom loh ya. Aku rak gelem nek polosan (tidak mau kalau tak pakai kondom). Nek aku kena penyakit, entek uripku,” kata seorang pekerja seks, kepada pelanggannya.
Tak ada anak di bawah umur yang saya lihat malam itu di lokalisasi Bong Suwung. Seperti ketegasan dan kesepakatan anggota Arum Dalu: tidak boleh ada pekerja seks anak dan kesehatan menjadi hal utama. Semoga pesan-pesan mural di Bong Suwung mengikis praktik diskriminasi yang kerap dialami para pekerja seks.[]