Minggu, Juli 27, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Keteguhan sang pelayan gereja di tengah tekanan sosial

by Redaksi
11/10/2018
in Uncategorized
Reading Time: 3min read
Keteguhan sang pelayan gereja di tengah tekanan sosial
Share on FacebookShare on Twitter

Kunjungan liputan peserta workshop pers mahasiswa SEJUK di GPIB Bukit Zaitun Makassar (9/9/2018)

Menjadi pinggiran di kalangan minoritas tidak membuat Christianto berkecil hati. Lelaki paruh baya yang akrab disapa Chris ini adalah salah seorang pelayan gereja di Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Bukit Zaitun, Jl Cendrawasih, Karang Anyar, Mamajang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Sejak bekerja sebagai pelayan gereja (2014), ia bergelut dengan tekanan sosial yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Chris harus melawan stigma masyarakat tentang profesinya yang disebut sebagai koster.

Di Jl. Baji Bicara 3, Makassar, Chris bermukim di antara mayoritas warga Muslim. Sejak dipercayakan sebagai koster, ia harus kehilangan waktu bercengkerama dengan masyarakat di sekitar rumahnya. Bukan hanya itu, ia pun tak puya banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga sendiri.

Kesibukan bekerja sebagai pelayan gereja inilah yang menjadikan hubungan sosialnya dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya renggang. Tak jarang, laki-laki keturunan Jawa-Makassar ini mendapat cemooh yang kurang menyenangkan dari para tetangganya. Ia bahkan pernah “puasa” keluar rumah selama hampir setahun lantaran kata-kata tetangga yang kadang kala menyinggung perasaannya.

“Biasa ketika saya jalan, mereka mengatai saya pendeta suci. Tapi saya tetap saja bekerja sebagai pelayan Tuhan,” katanya saat ditemui setelah ibadah Minggu (9/9).

Setiap hari Chris sudah harus meninggalkan rumahnya dari pkl. 08.00 dan baru kembali pkl. 16.00 sore. Ia bahkan biasa melanjutkan pekerjaannya pada pkl. 19.00 sampai 22.00. Di hari-hari tertentu, seperti pada tiga hari sebelum perayaan Natal, ia harus bekerja lembur dan baru pulang ke rumah pada pkl. 02.00.

Sebelumnya, Chris pernah bekerja sebagai pengawas di CV Kokoh Agung. Perusahaan ini bergerak di bidang pemecah batu. Namun, ia mengundurkan diri, lantaran upah yang diterimanya tidak mencukupi perekonomian keluarga.

Suatu ketika Chris menanyakan lowongan kerja pada saudaranya yang aktif di Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ). Ia ditawari bekerja sebagai koster di GPIB Bukit Zaitun, tempatnya bekerja sekarang ini. Ia akhirnya menerima tawaran itu. Hal yang tak terkira dirasakannya saat itu.

“Jujur, saya ini tak banyak tahu tentang istilah dalam agama Kristen. Walaupun saya ini Kristen, tapi hanya Kristen KTP. Terus saya tanya sama saudara saya, koster itu apa. Katanya asisten pendeta. Saya kira jabatannya kayak istimewa sekali, tapi ternyata sebelas dua belas dengan cleaning service,” ujarnya.

Sejak pertama bekerja, suami dari Rini Nancy ini juga merasa ragu. Mengingat pekerjaan yang ditinggalkan sebelumnya, ia berharap bisa bekerja dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik lagi. Namun, di awal bekerja mendapati kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya. Pasalnya, ia sehari-hari memegang sapu dan pel, memungut sampah dan popok yang berisi kotoran, membersihkan muntah atau susu anak-anak kecil di dalam gereja, dan membersihkan WC.

Setelah berjalannya waktu, alih-alih minder, Christ tetap memilih bertahan pada pekerjaannya ini. Motivasi pekerjaan mulia sebagai pelayan Tuhan adalah kekuatannya untuk tetap mencintai aktivitas rutinnya di gereja.

“Hati saya terpanggil untuk bekerja sambil beribadah kepada Tuhan,” ungkap bapak dari dua anak ini.

Walaupun mulai merasa nyaman dengan pekerjaannya, Chris sempat dihadapkan satu kendala: istrinya tidak begitu mendukung dengan pekerjaannya. Untuk itulah, Chris berusaha sekuat tenaga meyakinkan sang istri bahwa apa yang dikerjakannya adalah sesuatu yang membawa pada kebaikan.

“Memang awalnya sulit diterima. Namun saya selalu mencoba meyakinkan bahwa apa yang saya kerjakan ini sudah baik. Walapun keuntungannya tidak begitu tinggi juga, namun setidaknya semuanya hampir dimudahkan. Kami sekeluarga mendapat tunjangan. Selain diringankan dari segi pendidikan, kami juga diringankan dari segi kesehatan,” tuturnya sembari merapikan ruangan gereja.

Setelah dijalani dengan ketulusan pengabdiannya, tidak hanya hubungan keluarganya yang sudah mulai membaik. Di tahun kedua bekerja sebagai koster, ia juga merasa hubungannya dengan masyarakat setempat sudah lebih akrab. Sebab, di sela-sela kesibukannya, sesekali Chris menyempatkan waktu bercengkerama dengan para tetangga yang berbeda agama darinya. Tidak ada kecurigaan tetangga karena iman yang tidak sama atau Chris yang setiap hari pergi ke GPIB Bukit Zaitun.

“Jika awalnya saya mencari pekerjaan untuk memperbaiki ekonomi, kini saya berpikir untuk menjadi pelayan Tuhan. Dan, puji Tuhan, bukan hanya dicukupkan dari segi ekonomi, tapi kebutuhan rohani saya juga terpenuhi. Keluarga menjadi lebih damai, dan hubungan dengan para tetangga juga mulai membaik,” pungkasnya.[]

Penulis: Ayu Lestari (Penerbitan Kampus Identitas Universitas Hasanuddin Makassar) hasil liputan bersama Dwi Agustini (LPM Ganto Universitas Negeri Padang), Yulia Adiningsih (LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta) dan Ferdi Jehalut (Seminariledalero.org STFK Ledalero, Maumere).

***

Tulisan ini adalah buah Workshop Pers Mahasiswa “Jurnalisme Keberagaman di tahun Politik” di Makassar, 7 – 10 September 2018 kerjasma Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Profesi Universitas Negeri Makassar dan Penerbitan Kampus (PK) Identitas Universitas Hasanuddin Makassar atas dukungan Yayasan Tifa dan The Asia Foundation (TAF)

 

Tags: #GPIB#GPIBBukitZaitun#Koster#PersMahasiswaMakassar#PersmaSEJUK
Previous Post

Asian Para Games 2018 dan Fasilitas Umum yang tak Ramah Disabilitas

Next Post

Warga Baduy Tularkan Semangat Damai pada Milenial

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Warga Baduy Tularkan Semangat Damai pada Milenial

Warga Baduy Tularkan Semangat Damai pada Milenial

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tersingkir dari Keluarga, Tempat Kerja, hingga Pemakamannya: Nasib Transpuan di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menuju Layanan Kesehatan “Aksesibel” dan Setara untuk Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In