“Jurnalis seringkali tidak memiliki keberpihakan pada korban dalam penyampaian berita terkait isu LGBT,” ujar jurnalis Tempo.co Istiqomatul Hayati dalam Workshop Advokasi Media untuk LGBT di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat (18/12/2018) yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
Isti juga memaparkan bahwa tidak adanya keberpihakan ini dikarenakan jurnalis tidak memiliki bekal pengetahuan berbasis gender yang cukup. Ia pun mengakui, bahkan dirinya sebagai jurnalis masih harus banyak belajar tentang isu keberagaman gender dan seksualitas, sehingga kerja-kerja jurnalistiknya lebih sensitif terhadap Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Sementara itu, bagi para peserta workshop yang terdiri dari berbagai komunitas LGBT ini, penindasan terhadap kelompok minoritas utamanya kepada komunitas-komunitas minoritas gender dan seksual di Indonesia bukanlah pepesan kosong belaka. Hingga detik ini mereka masih belum sepenuhnya mendapatkan hak-hak dasarnya. Berbagai praktek diskriminasi, eksklusi, subordinasi, hingga kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat mayoritas justru semakin meningkat.
Keberadaan kelompok LGBT di masyarakat yang pada awalnya relatif bisa diterima, bahkan melekat dalam beberapa budaya di Nusantara, kemudian berangsur berubah menjadi sebaliknya. Survei Wahid Foundation per Maret-April 2016 menyuguhkan hampir 60% muslim dewasa Indonesia mengaku benci terhadap kelompok yang memiliki empat ciri; non-muslim, Tionghoa, Komunisme, dan LGBT.
Daniel Awigra dari Human Right Working Group (HRWG) juga menyatakan,”80,3% LGBT pernah mengalami kekerasan”. Data ini diambil dari sumber penelitian Arus Pelangi pada tahun 2013.
Pemberitaan mengenai LGBT di media-media lokal maupun mainstream pun masih memakai judul yang bombastis demi mengundang click di website mereka. Akibatnya, keberadaan warga dan komunitas LGBT semakin rentan. Kriminalisasi dan persekusi pun terus-menerus menimpa mereka.
Menurut Tantowi Anwari, Manajer Program dan Advokasi SEJUK, bisnis media menyeret mereka untuk menampilkan LGBT secara sensasional, bombastis dan tidak relevan terhadap data dan fakta maupun dampak-dampak pemberitaan karena selama ini berita-beritanya lebih banyak mengutip pihak-pihak pemerintah atau aparat, tokoh agama dan masyarakat yang mendiskreditkan atau anti terhadap LGBT. Pada titik inilah media memiliki dosa besar kepada LGBT atas pemberitaan yang tidak relevan dan cendeerung menyudutkan.
“Media menuhankan Search Engine Optimization (SEO) demi mengejar klik dan mengundang pengiklan. Oleh karenanya keberpihakan bukan lagi menjadi prioritas,” sesal pria yang akrab disapa Thowik ini.
Bagaimanapun, menurutnya, media mainstream menjadi penting mendapat perhatian lantaran secara umum media di Indonesia sebagai bagian pilar demokrasi tampak masih bingung dalam menyuguhkan pemberitaan tentang isu-isu terkait keberagaman gender dan orientasi seksual.
Karena itu, kegiatan SEJUK kali ini bertujuan agar terbangun komunikasi yang lebih baik antara komunitas LGBT dengan jurnalis dan kalangan media. Lebih maju lagi, sambungnya, antara komunitas dengan media diharapkan terjadi kerjasama dalam mengembangkan jurnalisme yang mengedukasi publik dan mengontrol serta menuntut negara agar melindungi segenap hak-hak warganya.
“Mendesak sekali bagi media untuk memberitakan LGBT tanpa memberikan stigma dan ikut memprovokasi pemerintah maupun publik untuk mendiskriminasi sesama warga negara dengan gender dan orientasi seksual yang berbeda, sementara bagi komunitas bersedia memberikan data-data yang relevan kepada media,” tegasnya.[ ]