Diksi ‘Warga’ Menyesatkan
Aktivis Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Tantowi Anwari atau akrab disapa Towik tampak hadir mendampingi jemaat Ahmadiyah. Dari komunikasinya dengan pengurus Ahmadiyah Bukit Duri, ada sejumlah informasi menarik yang bisa dikutip.
Pertama, selain terus berkomunikasi dengan aparat pemerintah dan kepolisian, pengurus Ahmadiyah Bukit Duri juga telah melokalisir para pelaku intoleransi, yaitu ustad Ahmad Syakir dan segelintir orang. Yang kini tengah dilakukan pengurus Ahmadiyah Bukit Duri adalah mencoba berkomunikasi secara persuasif dengan pihak-pihak tersebut.
Kedua, pengurus Ahmadiyah Bukit Duri menyayangkan diksi ‘warga’ yang digunakan media, baik portal maupun televisi. Usai peristiwa teror pada Jumat (12/2) hingga Ahad itu, sebagian besar media memberitakan bahwa penolakan terhadap jemaat Ahmadiyah Bukit Duri itu datang dari warga.
Padahal, kata Towik mengutip pernyataan pengurus jemaat Ahmadiyah Duri, yang menolak adalah sekelompok orang dari luar Bukit Duri dan bukan masyarakat setempat. “Diksi ‘warga’ yang digunakan media-media itu bisa menyesatkan informasi yang diterima masyarakat,” kata Towik.
Ketiga, Ahmad Syakir punya kedekatan dengan Habib Selon. Dan seperti diketahui, Habib Selon adalah salah satu petinggi FPI yang pailng menolak keras keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Ia juga sering menyampaikan ujaran kebencian terhadap Ahmadiyah.
Kedatangan Habib Selon ke Bukit Duri otomatis mendatangkan juga sekelompok orang yang turut dengannya untuk mengusir jemaat Ahmadiyah di Bukit Duri. Orang-orang inilah yang kemudian mengklaim diri sebagai warga Bukit Duri.
Selain mengumpulkan informasi dari pengurus Ahmadiyah Bukit Duri, Towik juga mengumpulkan informasi dari warga sekitar. Informasi yang ia dapat menunjukkan umumnya masyarakat sekitar tidak ada masalah dengan jemaat Ahmadiyah. Lebih dari itu, masyarakat juga tidak memperdulikan bahwa mereka itu jemaat Ahmadiyah atau bukan.
“Karena, yang penting bagi masyarakat sekitar, penganut Ahmadiyah Bukit Duri itu sering terlibat dalam aksi-aksi sosial seperti saat banjir atau saat Idul Adha,” kata Towik meniru ucapan istri Ketua RT setempat.
Bagi Towik, yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana jemaat Ahmadiyah Bukit Duri dan kelompok pro-keberagaman bisa menjelaskan apa itu Ahmadiyah dengan bahasa yang mudah dimengerti masyarakat. Upaya ini penting untuk mengimbangi informasi yang dihembuskan kepada masyarakat yang selama ini cenderung menyudutkan dan sarat kebencian terhadap Ahmadiyah.
Polisi Harus Tegas
Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat menyayangkan tindakan intoleransi masih terjadi di tengah masyarakat. .
Dalam konteks hak asasi manusia, Komnas HAM berkepentingan untuk memastikan bahwa semua warga negara itu punya keleluasaan untuk beribadah,” kata Imdad kepada Redaksi Madina Online usai menemui pengurus Ahmadiyah Bukit Duri.
Terkait perizinan yang dipersoalkan segelintir masyarakat terhadap masjid An Nur, Imdad menghimbau agar pengurus Ahmadiyah Bukit Duri untuk segera mengurus perizinan rumah tempat ibadah. Karena, tegas Imdad, beribadah itu adalah hak warga negara yang tidak bisa ditolak. Jika dirasa sulit mendapatkan tanda tangan 60 orang warga sebagai syarat untuk mendirikan rumah ibadah, Pengurus Ahmadiyah Bukit Duri bisa mengajukan izin sementara yang berlaku selama dua tahun.
“Pengajuan izin sementara itu harus ditanggapi oleh pemerintah. Karena itu adalah tugas pemerintah untuk menjamin hak warga untuk dan beribadah secara leluasa leluasa,” tandas Imdad. “Di satu sisi, pemerintah harus melaksanakan tugasnya untuk memberikan izin, dan di sisi lain Komnas HAM mendorong dan mendampingi pengurus Ahmadiyah di sini untuk mengajukan perizinan.”
Menurut Imdad, Komnas HAM perlu mendampingi jemaat Ahmadiyah untuk mengajukan perizinan karena seringkali kelompok minoritas menemui kesulitan kala mengajukan perizinan. Bahkan sering kali tidak ditanggapi pengajuan izinya. Dengan didampingi Komnas HAM, diharapkan kelompok minoritas mendapat kemudahan mengurus perizinan.
Imdad juga berharap kepolisian bisa tegas terhadap kelompok-kelompok intoleran. Apalagi jika mereka melakukan demonstrasi di depan rumah tempat Ibadah. Kepolisian wajib menghalau mereka karena tempat ibadah adalah salah satu tempat yang dilarang untuk menggelar demonstrasi.
“Dalam UU ada sejumlah tempat yang dilarang digunakan untuk menggelar demonstrasi. Di antaranya rumah tempat Ibadah dan Istana Negara. Jadi, demonstrasi di sini beberapa hari yang lalu itu tidak diperbolehkan. Dan kepolisian harus tegas,” papar Imdad.
Sumber berita: http://www.madinaonline.id/bina-damai/kasus-pelarangan-shalat-jumat-di-bukit-duri/2/