Satu Hati Manado di depan peserta Workshop Jurnalis Kampus SEJUK (21/5/2016)
Selembar kertas kekuning-kuningan telah menjadi potongan-potongan kecil di lantai. Sambil melempar pandangan geram, diambilnya lagi kertas lain yang bertulis ijazah Sekolah Menengah Atas. Seketika disobek oleh tangan yang mencengkeram kuat. Sementara Rieke, sang pemilik ijazah yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo tersebut, hanya sanggup berdiri mematung sambil mengeluarkan airmata menyaksikan amarah perempuan paruh baya yang disayanginya.
“Saat ini yang saya miliki hanyalah ijazah sarjana dan akta empat dari perguruan tinggi,” kenang Rieke pada peristiwa disobeknya kertas ijazah oleh ibunya sendiri. Itu terjadi sekitar lima tahun silam tak lama setelah Rieke mengajak rekannya ke acara ulang tahunnya.
Penampilan Rieke tampak seperti seorang pria, berambut cepak, mengenakan celana kain, kemeja berkerah, dan sandal. Pemandangan lain dari Rieke, sesekali jemarinya bergerak-gerak lincah. Pun pinggulnya bergoyang lunglai. Jika melihat sepintas susah untuk mengetahui kalau Rieke adalah seorang wanita pria atau waria.
Bermula dari kenangan muram tadi, Rieke yang bernama asli Ricky tampak antusias menjelaskan awal mula dirinya memutuskan menjadi transgender.
“Sehari-hari, dari pagi hingga sore saya mengajar di salah satu sekolah dasar di kota Manado. Malamnya saya mangkal di pasar 45,” tutur Ricky menyebutkan titik kumpul dia dan rekannya. Bukan hanya waria, ada juga orientasi seksual lain seperti gay, lesbian ataupun biseksual.
Ricky adalah ketua sekaligus penggagas komunitas Lesbian, Gay, Biseksual and Transgender (LGBT) Satu Hati Sulawesi Utara. Ia hadir selaku narasumber untuk 25 mahasiswa yang berasal dari berbagai Pers Mahasiwa (Persma) seluruh Indonesia pada sebuah workshop yang dihelat oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) di Ballroom Bunaken, Hotel Aryaduta Manado, Sabtu (21/5).
Tanpa ragu Ricky mengungkapkan jati dirinya akan orientasi seksualnya yang lebih feminin. Menurutnya hal tersebut adalah takdir dan jalan yang telah ia pilih. Meski seorang waria, profesinya sebagai guru mengharuskannya untuk tetap berpenampilan selayaknya seorang guru laki-laki di sekolah. Hal tersebut sama sekali tidak membebaninya. Ricky mengaku bahagia bisa menjadi dirinya sendiri, meskipun sebelumnya ia sempat berada di masa-masa sulit ketika memperjuangkan eksistensinya di tengah-tengah keluarganya.
“Sulit sekali. Ada tahapan yang cukup panjang yang harus saya lalui untuk membuat keluarga saya menerima saya apa adanya” kisahnya.
Terlahir di tengah-tengah keluarga muslim yang menentang keberadaan homoseksual tidaklah mudah bagi Ricky. “Saya mulai memiliki ketertarikan kepada sesama laki-laki sejak saya duduk di bangku SMP. Saat itu bisa dibilang saya berada dalam tahap coba-coba. Namun saya selalu dibayang-bayangi dengan reaksi orang tua saya jika mereka mengetahui keadaan saya yang sebenarnya,” tutur Ricky.
“Tiba ketika berada di kelas 2 SMU, saya mulai berani untuk mencoba-coba aksesoris wanita. Jadi saat Ibu saya sedang memasak di dapur, diam-diam saya mencoba mengenakan high heels miliknya di depan kaca,” Ricky berkisah di hadapan para jurnalis kampus yang tampak antusias menyimak.
Ketika Ricky mulai memahami orientasi seksualnya yang berbeda, seringkali ia berandai-andai: hendak memiliki rambut panjang, mengenakan high heels, perias wajah, dan seterusnya. Pada semester pertama di perguruan tinggi, Ricky mengaku berpacaran dengan seorang laki-laki, yang juga seorang waria. Ia tak bisa memendam keinginanya lagi untuk menyayangi seseorang. Namun hal ini masih dilakukannya secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya.
Masa pemberontakan
Pergeseran sosok Ricky menjadi diri yang terbuka pada pilihannya bermula di tahun 2007. Masa ketika pria kelahiran Gorontalo ini hijrah ke kota Manado untuk melanjutkan pendidikannya. Sejak itulah Ricky mulai memberontak.
“Saat itu saya merasa bahwa saya bisa berdiri sendiri tanpa orang tua saya” tutur Ricky. Sejak kecil Ricky memang memiliki prestasi yang baik dalam bidang akademik. Ketika mengenyam bangku sekolah dasar, ia bahkan dijuluki seorang kutu buku oleh orang-orang di sekitarnya. Waktunya pun lebih banyak dihabiskan di rumah untuk belajar. Hal tersebut ia lakukan sesuai arahan orang tuanya yang cukup disiplin mendidiknya.
Sudah sejak SMP hingga perguruan tinggi Ricky menerima beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikan. Hingga sempat berpikiran bahwa selama ini ia tidak pernah merugikan orang tuanya.
Pada umur 22 tahun, tepat pada acara ulang tahunnya, Ricky memperkenalkan teman-teman warianya kepada orang tuanya. Mereka pun shock melihat tingkah puteranya yang “tidak wajar”.
“Apa kamu sudah gila!?” hardik Ibu Ricky. Saat itu pun menjadi momen berharga Ricky untuk menentukan pilihanya. Dalam hatinya ia siap menerima apapun keputusan orang tuanya.
Di sinilah cerita penyobekan ijazah terjadi. Sejak itu hubungan Ricky dengan kedua orang tuanya sempat merenggang cukup lama. Ia sempat memutuskan pergi dari rumah untuk terus melanjutkan hidup seperti biasanya.
Namun lambat laun, ayahnya menjadi orang pertama di keluarganya yang memutuskan untuk menerima Ricky apa adanya. Langkah tersebut juga dilakukan oleh Ibu Ricky tak lama setelah ayahnya. “Alhamdulillah, akhirnya sampai saat ini seluruh keluarga saya telah menerima saya apa adanya” demikian Ricky bercerita.
Berbeda dengan Ricky, salah satu anggota dari komunitas Satu Hati, Ilyas, mengaku hingga sekarang belum diterima oleh keluarganya.
“Sampai saat ini saya masih mendapat penolakan dari keluarga saya” ucap Ilyas, yang membidangi dukungan kepada kaum LGBT yang positif HIV/AIDS di kota Manado, di tengah diskusi bersama jurnalis kampus yang merupakan rangkaian materi workshop tiga hari (20-22 Mei 2016) untuk pers mahasiswa.
Prinsip heteronormatif yang berkembang dalam masyarakat kita membuat keberadaan LGBT merasa terkekang. Hal yang sulit dipahami oleh orang-orang heteroseksual bahwa depresi sangat rentan terjadi kepada orang-orang homoseksual ketika mereka dibenci dan tidak dapat mengekspresikan dirinya. Demikian Ilyas memaparkan penyebab dasar dan bentuk-bentuk kerentanan yang menimpa kalangan LGBT.
Peserta, narasumber dan panitia Workshop SEJUK di Manado (20-22/5/2016)
Lawan Stigma
Berangkat dari berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi Ricky, Ilyas dan kalangan LGBT secara umum, tahun 2012 komunitas Satu Hati didirikan. Satu Hati memiliki beberapa kegiatan yang bertujuan untuk membantu kaum LGBT yang menghadapi masalah akibat diskriminasi, memahami model penyebaran penyakit, menyediakan konsultasi psikologis akibat trauma ataupun pergolakan untuk menyatakan diri sebagai LGBT, sampai pendampingan kasus kriminal. Kasus yang pernah diadvokasi di antaranya tindak kriminal yang dituduhkan kepada seorang waria di Manado. Pun kasus kriminal yang pernah menimpa seorang waria di Gorontalo.
“Satu Hati pernah mengadvokasi kasus pemberitaan di salah satu surat kabar Sulawesi Utara tentang LGBT yang dikaitkan dengan isu penularan HIV/AIDS. Dalam pemberitaan, LGBT dituduh sebagai sumber dari HIV/AIDS,” kata Ilyas menyampaikan bentuk advokasi lainnya yang dilakukan Satu Hati, sambil menjelaskan bahwa HIV/AIDS menjangkiti heteroseksual maupun homoseksual. Faktanya, banyak kalangan heteroseksual yang mengidap HIV/AIDS yang bisa menyebarkannya ke LGBT.
Ilyas menjelaskan bahwa untuk kasus seperti ini Satu Hati mengadvokasi dengan cara melayangkan surat terbuka kepada pemerintah, khususnya juga DPRD, dan tentu saja ke media terkait untuk mengoreksi pandangan-pandangan yang menyesatkan publik. Dengan cara begitu, media kemudian memperbaiki pemberitaan-pemberitaannya dan diharapkan tidak terjadi lagi ke depannya. Untuk bisa menyelesaikan berbagai masalah, tentunya tidak mudah jika tanpa bantuan orang lain. Karena itu Satu Hati berjejaring dengan lembaga-lembaga lain seperti KPA Provinsi dan Komunitas-komunitas LGBT lainnya.
Menurut Ilyas tujuan dari advokasi komunitas mereka ialah untuk menghindari pandangan atau stereotipi masyarakat kepada kaum LGBT yang dekat dengan perilaku negatif. Satu Hati bekerja keras untuk meluruskan stigma-stigma yang berkembang di masyarakat akibat cara pandang heteronormativitas dan homofobia.
“Kita mau lawan stigma bahwa banci itu penyebar HIV, suka makai narkoba dan free sex,” ungkap Ilyas.
Sebagai sebuah komunitas LGBT, Satu Hati memiliki nilai kebersamaan yang tinggi. Sebab itulah mereka turun langsung bertindak secepatnya untuk membantu rekan-rekannya supaya mendapatkan keadilan sebagaimana masyarakat pada umumnya. Satu Hati juga rutin mengunjungi teman-teman mereka yang positif HIV/AIDS dengan memberikan semangat serta dukungan kepada mereka untuk menjalani hidup.
Percakapan bersama Ricky dan teman-temannya malam itu mengundang rasa penasaran mahasiswa yang terlibat dalam workshop SEJUK untuk saling berbagi ide. Para peserta tampak antusias bertanya tentang komunitas yang oleh sebagian masyarakat disebut berperilaku “menyimpang”.
Hamdani, salah satu peserta pelatihan yang berasal dari Persma Go Pena, Universitas Khairun, Ternate, mendesakkan pendapatnya tentang kaum yang baru-baru ini di Amerika Serikat diperbolehkan Mahkamah Agung untuk menikah. Dalam pikiran Hamdani, saat itu, justru LGBT harus disadarkan bahwa apa yang mereka lakukan menyalahi kodrat ilahi. “Anda secara kodrat kan diciptakan sebagai lelaki, bukankah Anda melawan takdir Tuhan kalau begitu?” protes Hamdani saat sesi diskusi malam.
Dani, sapaan akrabnya, melanjutkan gugatannya bahwa saat ini kaum LGBT di Indonesia belum diakui keberadaanya oleh negara sehingga akan cukup sulit menerima mereka. “Asumsi negara tidak mengakui mereka karena negara akan mati ketika semua kaum LGBT diakui,” pungkas lelaki jurusan Antropologi ini. Meski demikian, dirinya enggan disebut tidak menerima kaum LGBT.
Berbeda dengan Dani, Pimpinan Umum Inovasi (Persma Universitas Sam Ratulangi) Lulu Ramadhani mengungkapkan keberadaan kaum LGBT justru harus diakui. Pasalnya, lanjut mahasiswi jurusan Ilmu Politik ini, semua manusia diciptakan sama dan setara.
“Sejak belajar feminisme dan bergaul dengan teman-teman gay, saya bisa menerima keberadaan LGBT karena bagi saya ini adalah soal cinta. Jatuh cinta itu karena alasan kita ini manusia. Manusia yang punya perasaan cinta, bukan karena jenis kelaminnya,” kata perempuan yang senang mengenakan topi.
Sementara itu pendiri sekaligus komisioner Komite Nasional (Komnas) Perempuan Andy Yentriyani mengungkapkan bahwa pandangan masyarakat Indonesia terhadap kaum minoritas ini telah dikonstruksi oleh masyarakat dan berlangsung bertahun-tahun sehingga akan sulit mengubah paradigma yang telah tertanam tersebut.
“Kita harus mengedepankan sisi kemanusiaan dan Konstitusi ketika melihat kaum minoritas,” kata Andy yang pernah menjabat Komisioner Komnas Perempuan periode 2010-2014, saat memberikan materi tentang penolakan masyarakat terhadap kaum minoritas di Indonesia dalam workshop yang terselenggara berkat kerjasama LPM Inovasi Universitas Sam Ratulangi Manado, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF).
Laporan dibuat:
Mustika Permata Sari Muchtar (LPM INOVASI Universitas Sam Ratulangi Manado), Hilary Ignacia F. Wungouw (UKM PERS Politeknik Negeri Manado), Akhmad Dani (LPM IDENTITAS UNHAS Makassar), Ahmad A. Gusti Tehuayu (LPM LINTAS IAIN Ambon), dan Husen Tuankotta (LPM TINTA HITAM FKIP Universitas Khairun, Ternate)