Pidato Malam Mimbar Budaya Gema Demokrasi
Oleh: Lini Zurlia
Selamat malam, salam perjuangan dan panjang umur perlawanan!
Kawan-kawan sekalian,
Perkenalkan saya Lini Zurlia, seorang queer feminist activist yang sehari-hari aktif bersama kawan-kawan di Arus Pelangi untuk terus mengupayakan terbukanya akses keadilan bagi individu dan komunitas LGBT. Rasanya saya terlalu muda untuk berpidato dan bersuara mewakili gerakan LGBT di Indonesia meski juga gerakan LGBT adalah gerakan yang masih sangat muda di tengah gerakan pro-demokrasi pada umumnya. Muda, dibanding gerakan perempuan, muda dibanding gerakan buruh, muda dibanding gerakan demokrasi lainnya.
Di era sebelum reformasi, gerakan-gerakan keberagaman gender dan seksualitas tercatat cenderung tidak mengalami tekanan dan cemooh baik dari masyarakat bahkan negara. Pada penghujung tahun 60-an sebuah organisasi waria Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) didirikan dan diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin. Di tahun 1973 LBH Jakarta melalui Bang Buyung berhasil membela Iwan Robbyanto Iskandar untuk mengubah status hukum, dari seorang lelaki menjadi perempuan bernama Vivian Rubianti Iskandar. Di akhir tahun 70-an Buya Hamka mengeluarkan fatwa MUI bahwa mengganti jenis kelamin adalah boleh. Di pangkal tahun 80-an pasangan lesbian Jossie & Bonie mengumumkan perkawinannya secara publik hingga diberitakan secara terang benderang oleh Majalah Tempo pada Mei 1981.
Pada era pra-reformasi, urusan seksualitas menjadi urusan kamar masing-masing. Negara tidak mencampuri urusan tersebut hingga cenderung menenggelamkan urusan gender dan seksualitas menjadi ranah domestik saja. Tahun-tahun sebelum tahun 2000-an beridiri bermacam organisasi seperti Lambda Indonesia di Solo, Jawa Tengah, GAYa Nusantara di Surabaya, Jawa Timur, Persatuan Lesbian Indonesia (Parlesin) dan lain-lain.
Paska Reformasi, tepatnya 16 tahun yang lalu pada Novermber tahun 2000 sebuah komunitas LGBT di Yogyakarta menyelenggarakan acara bertajuk ‘Kerlap kerlip warna kedaton,’ yang bertujuan untuk menginformasikan tentang pentingnya kesehatan reproduksi, diserang oleh kelompok muslim garis keras. Acara dibubarpaksakan, menyisakan kekacauan, luka fisik dan luka traumatis bagi komunitas. penyerangan tersebut tercatat adalah penyerangan pertama paska Reformasi. Sejak saat itu, komunitas LGBT kerap mengalami initimidasi, kekerasan hingga pembubar-paksaan diskusi-diskusi yang berlangsung.
Sejak saat itu pula individu dan komunitas LGBT merasa tidak nyaman dan tenang. Karena itu individu dan kelompok mulai merasa penting untuk memperkuat diri, mengkonsolidasi diri agar hak-hak mereka untuk berkumpul dan berserikat tak tercerabut oleh sekelompok kekuasaan.
Paska Reformasi lahirlah organisasi-organisasi LGBT seperti Ardhanary Innstitute, Arus Pelangi, Komunitas Sehati Makassar, GWL Ina, Suara Kita, dan ratusan organisasi lainnya yang tersebar di puluhan provinsi di Indonesia. Mayoritas dari organiasi-organisasi tersebut, jangankan mendapat dukungan dan disahkan oleh pejabat Negara, mendaftarkan diri sebagai sebuah perkumpulan ke Kemenkumham saja tidak bisa. Membuka akun bank atas nama perkumpulan saja ditutup. Kata para pemegang kekuasan, organisasi dengan akronim LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Intersex dan Queer) adalah organisasi yang berbahaya, mengancam negara setara dengan bahayanya Leninisme, Marxisme dan Stalinisme. Bahaya karena mengancam kemapanan para pemangku kekuasaan.
Akhir-akhir ini, kekerasan terhadap kami kian meningkat, dilakukan oleh kelompok intoleran dan bahkan disponsori oleh Negara. Bahkan negara terlibat langsung melalui peraturan-peratuan yang diskriminatif. Dalam UU tahun 2012 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, kami Lesbian Gay, transgender dikategorikan dalam kategori orang dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta No 12 Tahun 2007 waria tunasusila disebut sebagai penganggu keamanan dan ketertiban umum. Dalam Peraturan Daerah Yogyakarta No 1 Tahhun 2014, Waria dikategorikan sebagai pengemis dan gelandangan.
Teman-teman kami dari kelompok perempuan transgender (waria) adalah yang paling rentan mendapat perlakuan semena-mena dari negara maupun kelompok intoleran atas dasar agama.
Malam tanggal 26 Agustus kemarin, baru saja kami mewakili Forum LGBTIQ Indonesia mendapat penghargaan Tasrif Award oleh Aliansi Jurnalis Independen di Aula Pertemuan, Hotel Saripan Pacific. Sepulang dari pertemuan tersebut kami pulang dan singgah ke tempat dimana teman-teman waria kami biasa bekerja sebagai pekerja seks di Taman Lawang, hendak mengabarkan berita gembira dari award yang kami terima. Baru sebatang rokok yang kami bakar sambil berbincang dengan dua teman waria kami, tiba-tiba segerombolan orang yang kira-kira berjumlah 50 orang datang menyerbu seperti sedang memburu binatang buruan. Lima puluh orang tersebut terdiri dari jajaran pejabat Kecamatan Menteng, Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Sosial DKI Jakarta. mereka sedang melakukan sweeping atas orang-orang yang dianggap meganggu keteritban umum dan keamanan masyarakat.
Teman-teman waria kami yang bekerja sebagai pekerja seks dikejar dan diburu, diteriaki, ditangkap, dijambak, diperlakukan secara seksis. Pakaian mereka dipelorotkan hingga setengah telanjang. Kami tidak diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan, kami dinaikkan ke dalam mobil PMKS yang dikendarai selama patroli atas nama keamanan dan ketertiban. Saya dan dua orang lainnya kemudian dilepaskan karena ada bersama kami kartu identitas, sementara teman waria kami dibawa pergi ke panti Dinsos meski dia pemegang kartu identitas DKI.
Pekerja seks dan mengamen di jalan memang profesi paling tinggi yang dikerjakakan oleh teman waria kami. Data Sanggar SWARA misalkan, dari 224 waria remaja dampingan mereka, 70% di antara mereka adalah pekerja seks dan pengamen di jalanan. Profesi ini adalah profesi yang secara terpaksa mereka ambil dan kerjakan demi bertahan hidup barang sehari dua hari. Profesi ini terpaksa mereka lakukan karena tidak ada lapangan pekerjaan lain yang terbuka untuk mereka, menjadi buruh yang bekerja di sektor pabrik tekstil pun mereka tak boleh apalagi bekerja sebagai pegawai di instansi pemerintahan.
Kawan-kawan sekalian,
Situasi yang kami hadapi mungkin tak lebih berat dari situasi kelompok minoritas lain hadapi, karenanya kami sering dititipi pesan agar diam saja, tak perlu berteriak-teriak atau tak perlu melakukan kerja-kerja advokasi. Tapi, apakah kami menjadi benar jika berdiam saja di saat upaya kriminalisasi semakin menguat dilakukan?
Upaya Judicial Review yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menganggap ada kekosongan hukum pidana pada orang penyuka sesama jenis adalah upaya kuat untuk melakukan kriminalisasi pada kami. Haruskah kami diam?
Pembubaran diskusi dari satu tempat ke tempat lain saat kami ingin belajar memamhami hak kami sebagai warga negara dan manusia, kekerasan domestik seperti paksaan untuk konversi terapi, paksaan untuk kawin, perkosaan berupa corrective rape, pengurungan di dalam rumah hingga pengusiran dari rumah dihadapi oleh teman-teman kami di akar rumput. Haruskah kami diam?
Kawan-kawan sekalian,
Perjuangan ini bukan perjuangan yang berlebihan, apalagi kalau dituding sebagai perjuangan untuk legalisasi perkawinan sesame jenis. Perjuangan ini adalah perjuangan agar kami LGBTIQ dapat bersekolah sama seperti yang lain, bekerja sama seperti yang lain. Perjuangan ini untuk memastikan tidak ada kekerasan dan diskriminasi berbasis orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender. Perjuangan yang bukan menuntut hak istimewa melainkan hak-hak dasar manusia yang diatur dalam UUD 1945 dan Konvensi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Kami mengajak kepada seluruh elemen gerakan pro-demokrasi untuk senantiasa saling mendukung, hand in hand dalam perjuangan untuk mewujudkan hidup yang setara. Meminjam kata Abhipraya & Khanza Vina dalam pidato saat menerima Tasrif Award kemarin, mari berjuang bersama, bergandeng tangan dengan tulus tanpa kecurigaan untuk citai-cita dan harapan masa depan Indonesia, yang lebih baik dimana kita semua bersama bekerja merawat kemerdekaan dan kebhinnekaan.
Jakarta, 28 Agustus 2016