Gowes sepeda dari pengugsian Sidoarjo ke Jakarta menuntut Presiden SBY memenuhi hak warga Syiah Sampang (SEJUK, 16/6/2013)
Empat belas anak-anak kami di pengungsian tidak naik kelas. Sebelas murid PAUD tidak bisa melanjutkan ke tingkat SD.
Kabar itu disampaikan Rohah (26) dari lantai 4 pengungsian Rumah Susun Puspa Agro, Jemundo, Taman, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin malam (5/9/2016) saat dikunjungi Komisioner Komnas Perempuan Riri Hariroh, Litbang Kementerian Agama Pusat Adlin Sila, akademisi UGM Zainal Abidin Bagir, perwakilan masyarakat sipil AMAN Indonesia, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, KontraS Surabaya dan sebagainya.
Perempuan beranak satu ini bertutur bahwa setelah diusir dari Sampang pada 2012 lalu, anak-anak mereka yang duduk di kelas 1 sampai 4 selama ini belajar rata-rata satu hingga satu setengah jam setiap harinya di pengungsian bersama guru honorer dari Dinas Pendidikan. Sementara, di PAUD anak-anak tidak diberikan pelajaran baca, tulis dan berhitung. Mereka hanya bernyanyi dan menggambar. Sehingga sulit untuk mendapat nilai yang baik dalam kondisi pendidikan yang serba darurat.
“Kami menyekolahkan anak-anak agar tidak seperti orang tuanya yang tidak bisa membaca dan menulis, sehingga mudah dibodohi,” ungkapnya.
Untuk memperoleh pendidikan yang layak, beberapa anak yang kelas 4, 5 dan 6 mereka pindahkan ke SD Jemundo 1, meskipun pada awalnya anak-anak harus menanggung ledekan atau ejekan (bully) karena bahasa dan keyakinan mereka yang berbeda dari mayoritas murid di sekolah itu.
Rohah pun berandai-andai, jika tidak diusir dari Sampang, anak-anak mereka bisa sekolah di kampung halamannya dengan normal bersama-sama anak lainnya yang lebih leluasa mengejar cita-cita. Karena keterbatasan pelayanan pendidikan yang mereka terima di pengungsian dan keinginan kuat agar anak-anaknya pintar dan bisa sekolah lebih tinggi, masing-masing dari mereka mulai membeli papan dan spidol, menempelkan huruf abjad dan angka di tembok-tembok kamar untuk mengajari anak-anaknya.
Demi memenuhi mimpi itu, baberapa rela berhutang, menjual pohon, sapi, bahkan tanah di kampungnya dengan harga murah untuk biaya sekolah anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Kendati per-kepala mendapat jatah hidup dari pemerintah Rp. 709.000, mereka juga berusaha memperoleh penghasilan dengan menjadi buruh mengupas kelapa dan melepaskan daging dari batoknya. Namun, tidak semua dari mereka bisa bekerja setiap hari karena tidak selalu ada yang mengirimkan kelapa ke pengungsian.
“Seminggu kami kerja, tapi bisa dua bulan tidak bekerja karena kelapa tidak datang. Jadi, kalau kami terus ditampung di sini, semua yang kami punya di kampung akan cepat habis,” ujar Rohah yang mengkhawatirkan sekali harta benda di kampung milik para pengungsi. Sebab, banyak pohon milik mereka yang usianya 20 tahunan dijual orang lain, lahan digarap tanpa sepengetahuan para pengungsi, beberapa diserobot jengkal demi jengkal.
Salah seorang pengungsi lainnya Duriyah (30) juga sangat menghawatirkan hal tersebut. Terlebih, para pengungsi sudah dilarang ketemu langsung dengan kerabatnya yang ada di Karang Gayam, Omben, Sampang. Selain tidak bisa menengok harta benda, para pengungsi juga terancam terputus hubungannya dengan saudara-saudaranya di Sampang.
“Sebelumnya dari Sampang bisa berkunjung ke Rusun, sebaliknya dari kami juga bisa bertemu saudara di Sampang. Tetapi sejak Idul Fitri lalu, kami sudah dilarang berkunjung ke kampung. Begitupun jika dari Karang Gayam ketahuan datang ke Rusun diancam akan dibakar rumahnya,” kata Duriyah.
Perempuan pengungsi Syiah Sampang di Rusun Jemundo, Sidoarjo (SEJUK, 5/9/2016)
Dengan fakta semacam itu, Umi Kulsum (40), istri pemimpin komunitas Syiah Sampang Tajul Muluk, menuntut pada Pemerintah Pusat untuk memulangkan kembali para pengungsi ke kampung halaman.
“Kami ingin dipulangkan. Pemerintah juga harus memberikan hak-hak kami mendapat KTP elektronik, Kartu Keluarga (KK), Akta Kelahiran, Surat Nikah dan sebagainya,” pintanya seraya mengeluh karena Pemerintah Sampang sudah berjanji semua administrasi yang sudah diurus akan jadi semua di bulan Agustus. Padahal, Umi Kulsum mengungkapkan beberapa pengungsi ada yang sudah membayar sekitar 3 juta, namun belum juga jadi sampai sekarang.
Setelah kunjungannya dari Rusun Jemundo, Komisioner Komnas Perempuan Riri Hariroh menegaskan bahwa lembaganya akan mendorong pemerintah untuk segera memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) para penyintas Syiah Sampang. Komnas Perempuan secara khusus akan berkoordinasi dengan Kantor Staf Presiden (KSP) untuk penyelesaian kasus ini.
“Sudah 4 tahun komunitas Syiah Sampang menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Karena itu pemerintah harus memiliki peta jalan yang jelas untuk penyelesaian kasus Syiah Sampang dan kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan lainnya,” ungkap Riri.
Ia menceritakan bahwa kerentanan yang ditanggung para pengungsi di Rusun semakin memprihatinkan karena kondisinya yang tidak layak. Ruang tinggal sempit ditempati dua sampai tiga KK yang disekat triplek atau kain, sehingga baik perempuan maupun laki-laki tidak mempunyai privasi.
“Dengan satu kamar mandi digunakan lebih dari dua KK, maka kaum perempuan merasa sangat tidak enak, apalagi kalau mereka dalam kondisi menstruasi,” pungkasnya. (Thowik-SEJUK)