Romo Wiku bersama peserta Workshop Pers Kampus SEJUK (3/9/2016)
“Semua agama menebar cinta. Dari cinta kerukunan umat akan tumbuh. Lalu untuk apa agama masih diperdebatkan?”
– Romo Wiku Satya Dharma Telaga
Kabut putih mulai menyapu biru langit. Awan cerah malu-malu berubah menjadi gumpalan hitam, isyaratkan rintik hujan segera basahi bumi. Semesta pun tampak murung mengiringi perjalanan kami, rombongan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), menuju Pura Adya Dharma.
Tetapi tidak dengan kami. Justru panorama pegunungan Merbabu menyihir mendung menjadi gairah menghampar di hijau pepohonan yang berpadu dengan hembusan angin, seakan menjadi candu yang tak akan mampu terhapus dalam memori. Semangat inilah yang menyemat hati kami untuk mengunjungi rumah ibadah Hindu ini.
Sesampainya di Pura Adya Dharma Sabtu siang itu (3/9/2016), dua lelaki paruh baya menyambut kedatangan kami dengan senyum merekah. Sapa akrabpun terjalin di antara kami di Ruang Madya Mandala. Kemudian Romo Wiku Satya Dharma Telaga, yang merupakan Pandhita Pura Adya Dharma, mulai menjelaskan mengenai sejarah pendirian rumah ibadah ini beserta kehidupan harmonis di tengah pluralitas beragama di daerah tersebut.
Pura Adya Dharma adalah tempat peribadatan agama Hindu tertua di Salatiga. Bediri pada tahun 1995 kemudian diresmikan tahun 2000 oleh H. Mardianto, selaku gubernur Jawa Tengah. Pura ini berlokasi di Jalan Purasari, Desa Bendosari, Kecamatan Argomulyo, Salatiga.
“Adya Dharma berasal dari kata adhya yang berarti sedang dan dharma yang adalah kebenaran” kata Romo Wiku menjelaskan.
Makna dari dua kata tersebut mengisyaratkan bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani yang sedang menuju pada kebenaran untuk mencapai titik tertinggi, yakni kesejatian dalam hidup.
“Aku adalah kamu, kamu adalah aku, kita semua bersaudara,” Romo Wiku menambahkan.
Hal itulah yang selama ini dihidupkan agama Hindu dalam menjaga atmosfer keberagaman di Desa Bendosari. Romo Wiku menuturkan bahwa umatnya merasakan kehidupan yang damai meski berada di lingkungan yang mayoritas warganya memeluk Protestan dan Islam. Sehingga, toleransi dan kerukunan antar umat beragama makin mengakar kuat di wilayah di mana banyak gereja dan masjid mengelilingi pura.
Maka, bukan hal yang mengejutkan jika kemampuan keberagaman umat beragama dalam menghidupkan harmoni sebagaimana tercermin dalam sikap dan laku keseharian warga Bendosari dan wilayah lainnya, kemudian mendapat ganjaran dengan dinobatkannya Kota Salatiga sebagai daerah paling toleran kedua di Indonesia versi SETARA Institute, November 2015.
Di tengah maraknya intoleransi dan kekerasan yang mengatasnamakan suku, agama, ras dan golongan (SARA) yang dihadapi bangsa ini, masyarakat Desa Bendosari justru membuktikan bahwa mereka mampu merawat keberagaman yang berbasis pluralitas beragama. Wujud keberagaman tersebut mereka ekspresikan dengan saling menghormati dan menghargai satu sama lain, bahkan terjalin kebiasaan bekerjasama dalam kegiatan-kegiatan yang konstruktif.
“Saat membangun jalan di depan pura, masyarakat saling bergotong-royong menyukseskan program tersebut. Selain itu, warga non-Hindu juga turut membantu acara Wedalan (hari ulang tahun pura) dengan membuat arak-arakan,” ucap Romo Wiku.
Perayaan keagamaan antar-umat bahkan dijadikan media untuk memperkukuh persatuan. Romo Wiku menegaskan bahwa anjangsana, ikhtiar bagi para pemuka agama untuk berkumpul dan saling ketemu, kerap dilakukan guna mengeratkan solidaritas antar-tokoh agama.
“Kami ikut acara halal bi halal pada hari raya Idul Fitri. Jika ada perayaan Natal kami berkunjung ke rumah mereka,” imbuh Romo Wiku sambil duduk bersila.
Penuturan Romo Wiku ini dibenarkan oleh warga setempat yang tidak menganut Hindu.
“Berbicara mengenai toleransi di Kota Salatiga, memang tidak perlu diragukan lagi. Tidak jauh dari pura terdapat Gereja Salib Putih peninggalan Belanda, di depan gereja juga mau dibangunn masjid,” ujar Karmat, warga Bendosari yang tinggal tidak jauh dari pura.
Di tempat terpisah, salah seorang aparat juga mengakui betapa kebersamaan antarumat beragama sangat tampak terjalin di setiap acara yang melibatkan publik.
“Umat Islam dan Kristen biasanya turut serta memasang umbul-umbul sebagai bentuk solidaritas dalam merawat toleransi,” ungkap Nyoman selaku Kabag Humas di Polres setempat.
Keberadaan Forum Keberagaman Umat Beragama (FKUB) di Salatiga juga menjadi salah satu kunci sukses dalam merawat keberagaman. Pertemuan antar-pemuka agama maupun komunitas-komunitas pemuda juga sering dilakukan untuk memberikan kesadaran akan pentingnya toleransi antar-umat beragama. Sehingga gesekan-gesekan atas nama agama tak pernah muncul.
Rapat kelompok dalam merumuskan tulisan “Pesona Toleransi Beragama Desa Bendosari Salatiga” (3/9/2016)
Bahkan, Romo Wiku menjelaskan lebih lanjut bahwa sistem kepengurusan Pura Adya Dharma sendiri terbilang sangat unik. Hal ini gambaran nyata bahwa antar-pemeluk agama di Desa Bendosari, Salatiga, saling bahu-membahu dalam menjaga kebersihan dan keamanan pura.
Mulai dari perawatan dan kebersihan dilimpahkan kepada pemeluk agama Islam. Sementara, masalah keamanan dipasrahkan kepada pemeluk agama Kristen. Semua itu mereka kerjakan ikhlas tanpa mengaharap imbalan.
“Agama bukanlah aspek yang perlu diperdebatkan. Tuhan hanya satu, keyakinan manusialah yang berbeda. Biarlah perbedaan tetap tumbuh untuk memperkaya pengetahuan dalam konteks keragaman agama dan budaya,” tutur Romo Wiku yang telah didiksa atau disucikan ini.
Bagi masyarakat Bendosari, pluralitas beragama telah menjadi identitas yang melekat dalam kehidupan mereka. Perbedaan, bukan masalah yang perlu dipersoalkan, melainkan anugerah Tuhan yang perlu dirawat keberagamannya. Karena hakikatnya, semua agama menebar kasih sayang kapada semua mahluk.
***Tulisan ini buah Workshop Pers Mahasiswa SEJUK dan kunjungan peserta ke Pura Adhya Dharma Salatiga yang dilaporkan Roudlotul Choiriyah (Retorika, Universitas Airlangga, Surabaya), Grace Kolin (Pijar, Universitas Sumatera Utara), Laras Olivia (Aklamasi, Universitas Islam Riau), Rio Pratama (Mimbar, Universitas Tanjungpura, Kalbar), Andika Julianto Trilaksana (Kavling 10, Universitas Brawijaya, Malang), Teguh Waluyo (Badan Penerbitan Pers dan Mahasiswa, Universitas Negeri Semarang).
Workshop ini terselenggara berkat dukungan penuh Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) yang bekerjasama dengan SEJUK, LPM Lentera UKSW Salatiga dan The Asia Foundation.