Ketika masjid-masjid di India dilarang, diserang dan dirusak, apa yang dilakukan umat Islam di India?
Salah satu alasan mengapa orang-orang India masuk Islam karena agama yang dibawa Nabi Muhammad ini egaliter. Sementara Hindu mempercayai kasta, Islam tidak menganut sistem kelas ini. Tentu, Islam sangat menarik buat orang-orang yang berkasta rendah atau masyarakat India yang tak berkasta: Dalit.
Namun, sebagai minoritas tidak mudah bagi Muslim di India mendapatkan hak dan kebebasannya untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Mengapa pemeluk agama mayoritas sangat curiga dan takut kepada agama lain kemudian bersikap dan bertindak congkak, maunya menang sendiri (intoleran dan diskriminatif)?
Seperti umat Islam yang mayoritas di Indonesia dan kerap mempersoalkan atau mencari-cari kesalahan umat agama lain beserta keberadaan rumah ibadahnya, begitupun dengan mayoritas pemeluk Hindu di India yang tidak rela di lingkungannya dibangun masjid. Apakah ini alamiah atau mental yang sakit?
Jika selalu curiga dan memusuhi agama yang berbeda adalah manusia sakit, maka lebih parah lagi mental muslim-muslim di India dan para mualaf yang sudah meninggalkan Hindu namun tetap mempertahankan kastanya.
Setidaknya, dalam masyarakat Islam India terbentuk kasta: ashraf (kelas teratas); ajlaf (menengah); dan arzal (kasta terbawah dan dalit). Sekitar 85% dari seluruh umat Islam di India adalah masyarakat kasta terendah dan tak berkasta (dalit). Namun begitu, secara politik Islam kasta teratas yang mendominasi.
Ketika salah satu masjid dipersoalkan dan dirusak di suatu wilayah yang masyarakatnya berkelas rendah dan para dalit, jangan berharap muslim-muslim lain di sekitarnya bersolidaritas atas penindasan hak beragama yang menimpa sesama umat Islam ini.
Barangkali, alasan manusia bersolidaritas dan bergerak lebih karena terseret sentimennya, yang sama-sama satu ikatan identitas sekaligus kepentingan (politik). Sesama Islam belum tentu bersolidaritas, jika tidak merasa bagian dari kelasnya, bukan dari kastanya yang lebih terhormat.
Banyak orang beragama lupa bahwa yang diajarkan dalam kitab suci adalah berbuat adil dan beramal saleh (kebajikan) kepada manusia, ya, manusia, bukan karena baju yang melekat pada mereka (agama, etnis dan kelasnya). Maka, Islam pun mengajarkan untuk menghormati umat agama lain yang beribadah, tidak boleh mengganggu penganut Nasrani dan Yahudi yang beribadah dan melarang menyerang rumah ibadah.
Pasmanda ‘Muslim’ Movement kemudian menjadi gerakan dan pengarusutamaan yang memperjuangkan kesetaraan, keadilan dan demokrasi di kalangan Islam di India. Namun, seperti umat Islam Indonesia yang dari tahun ke tahun semakin intoleran, begitupun masyarakat Hindu di India. Bahkan, fundamentalisme Hindu ikut menaikkan Perdana Menteri India periode 2014-2019.
Sehingga tidaklah mengherankan jika menjelang pemilu tahun ini di India dan Indonesia, politisasi agama kian meruncing. Partainya incumbent, Bharatiya Janata Party (BJP) yang aspirasinya Hindu nasionalis penyokong Perdana Menteri Narendra Modi, kerap melakukan kampanye bernuansa agama. Begitupun Modi yang tidak sedikit menerbitkan kebijakan yang hanya “menyenangkan” umat Hindu dan mendiskriminasi aspirasi dan hak-hak umat Islam.
Jadi, haruskah sama-sama buta membela agama dan kepentingan kelompoknya atau mengikuti ketentuan agama: menyegerakan kebaikan, kesetaraan hak manusia sebagai sesama warga negara?
**Keterangan foto: Peserta Muslim dan Hindu dari India berpose di Kuil Chennakesava, Belur, beberapa juga dari Indonesia yang mengikuti International Summer School: Pluralism and Develpoment, Bangalore, India (15/7 – 9/8 2013)