Masyarakat Baha’i Pekanbaru mendapat kunjungan peserta workshop pers mahasiswa SEJUK “Jurnalisme Keberagaman Menghidupkan Toleransi” (28/7/2019)
Perdebatan konsep Tuhan antaragama sering terjadi. Tetapi penganut Baha’i meyakini semua agama merupakan bukti cinta Tuhan pada manusia. Maka kerendahan hati untuk menerima perbedaan harus dimiliki.
Nur Hamid (63), salah seorang penganut Baha’i, dengan tangan terbuka menyalami satu per satu tim Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) saat bersilaturahmi ke kediamannya di Pekanbaru, Minggu (29/7).
Para jurnalis kampus pun dipersilakan masuk ke dalam rumah dengan gaya minimalis yang menjadi tempat tinggal Nur Hamid. Ia memeluk Baha’i sejak kecil di Banyuwangi, sebelum pindah ke Pekanbaru.
Agama yang lahir dari daratan Persia ini masih terbilang baru berkembang di Indonesia. Agama Baha’i masuk ke Indonesia sejak 1885 dan sudah tersebar di 28 provinsi dengan mengajarkan konsep keesaan Tuhan.
“Hanya ada satu Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengirim utusan untuk membimbing manusia,” kata Hamid.
Semua agama yang dibawa utusan Tuhan adalah agama cinta
Rumah berlantai dua dengan konsep modern itu telah menjadi tempat perkumpulan penganut Baha’i yang disebut sebagai masyarakat Baha’i. Terdapat lima kepala keluarga yang tinggal di dalamnya. Para tetangga awalnya merasa khawatir bila diajak masuk ke dalam rumah tersebut.
“Karena belum kenal, ada tetangga yang masih khawatir,” tutur Faiza (50), saudara sepupu perempuan Nur Hamid, yang tinggal di rumah yang sama dan menjadi tempat masyarakat Baha’i Pekanbaru berdoa bersama.
Namun, sambung perempuan yang berbisnis jamu tradisional ini, dengan pendekatan secara ramah dan bersahabat, akhirnya para tetangga dan warga sekitar dapat menerima keberadaan keluarga dan masyarakat Baha’i. Sekarang relasi warga sekitar dengan masyarakat Baha’i semakin harmonis.
“Tuhan mengirimkan utusan dengan misi tauhid yaitu keesaan Tuhan. Agar manusia mengabdi kepada Tuhan,” jelas perempuan yang akrab disapa Iis ini.
Mulai dari zaman Zoroaster, Musa, Yesus, sampai Muhammad memiliki tujuan yang semuanya sama, yakni mengajarkan kebenaran.
“Sama seperti sekolah, ajarannnya itu untuk kebaikan,” ujarnya.
Konsep agama dalam Baha’i ia ibaratkan dengan sekolah. Pada saat kelas satu sekolah dasar, sambung Iis, murid belajar berhitung dan abjad. Lalu dilanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Kenaikan jenjang inilah yang meningkatkan ilmu. Namun, bukan berati pula murid tersebut meninggalkan pelajaran dasarnya.
Bagi Iis, seperti itulah seharusnya agama. Tuhan menurunkannya untuk terus berevolusi dan menjaga manusia di bumi. Tuhan menghadirkan agama sebagai bukti cinta-Nya kepada umat manusia.
“Kami juga mengakui para utusan Tuhan yang terdahulu, yang diyakini masing-masing agama,” tambahnya.
Kasih sayang dalam menyikapi perbedaan
Umat Baha’i memandang perbedaan dengan kerendahan hati dan penuh kasih sayang. Apabila seseorang telah memahami dengan sempurna tentang agamanya, maka ia akan semakin merendahkan diri di hadapan Tuhan dan umat manusia.
Konsep ketuhanan yang berbeda dari masing-masing agama kerap kali menimbulkan kecurigaan dan konflik. Berawal dari perdebatan konsep ketuhanan mana yang paling benar hingga tak jarang berujung pada kata-kata hinaan yang ditujukan kepada Tuhan, yang sebenarnya mereka imani juga.
Iis berpendapat bahwa seseorang mempunyai hak dalam menganggap agamanya yang paling benar. Namun ia percaya semua agama yang Tuhan turunkan ke bumi itu benar semua. Agama yang sah. Agama yang dibawa oleh rasul.
Karena itu masyarakat Baha’i tidak berkeinginan untuk berdebat dengan penganut agama lain. Karena semua agama yang dibawa utusan, papar Iis mencoba memberi penekanan kembali, berasal dari satu Tuhan Yang Mahas Esa.
“Apalagi yang kita perdebatkan. Semua agama yang diturunkan ke bumi untuk cinta dan kebaikan yang sesuai zamannya,” ungkap Iis.
Tidak perlu memaksa seseorang untuk menerima perbedaan. Berikan pemahaman. Kalau mau silahkan diterima, kalau pun tidak mau kita tidak perlu berdebat yang nantinya malah berujung pada pertikaian.
Agama mengajarkan kesatuan pada umat manusia
Iis yakin Baha’i merupakan agama dari utusan Tuhan, Baha’u’llah, yang mengajarkan tentang kesatuan umat manusia. Tentang perdamaian surgawi.
“Jadi, kita harus menyampaikannya dengan penuh cinta,” jelasnya.
Baha’u’llah sebagai utusan Tuhan Yang Maha Esa dalam Baha’i memerintahkan manusia berada dalam satu kemah. Kemah kesatuan umat manusia. Untuk menuju ummatan wahidatan. Umat yang satu.
Bergaullah dengan semua agama dengan penuh cinta dan persahabatan. Kutipan Baha’u’llah itulah dipegang penganut Baha’i saat berkomunikasi dengan penganut agama lain.
Iis menginginkan semua umat beragama untuk merefleksikan cinta dalam kehidupan sehari-hari. Pertama-tama dalam lingkungan keluarga dulu. Menunjukkan cinta dengan anak dan suami. Kemudian melebar ke lingkungan. Bergaul dengan semua agama, suku dan ras dengan penuh cinta dan persahabatan.
“Dengan cara-cara seperti itu kesatuan kita terwujud,” ujarnya.
Ia pun mengajukan pertanyaan: di antara dua pilihan, hidup dengan kesatuan dan cinta atau dengan permusuhan, mau memilih yang mana?
Sebagai masyarakat Baha’i Iis memilih hidup dengan penuh cinta dan keselarasan. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas dan tekad Iis selaku umat Baha’i mewujudkannya sesuai ajaran Baha’u’llah.
Perwujudan kesatuan tidak bisa hanya mengharapkan orang lain.
“Ketika kita dimusihi orang, bila kita membalasnya maka tidak terjadi kesatuan. Maka kita harus membalasnya dengan cinta,” pungkasnya. []
Penulis: Nadiah Azri Br Simbolon, Suara USU, UniversitasSumatera Utara.
Liputan di atas dilakukan dalam proses Workshop dan Fellowship Jurnalisme Keberagaman Menghidupkan Toleransi untuk Pers Mahasiswa di Pekanbaru, 26-29 Juli 2019, kerja sama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF), Kementerian Hukum dan HAM RI, Media Mahasiswa AKLaMASI Universitas Islam Riau dan Lembaga Pers Mahasiswa Gagasan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau.
Media partner: IDN Times & Magdalene.co